Tetesan Shadaqah Maiyah pada “Negeri Kesurupan Massal”

Tetes-tetes gerimis masih setia membersamai malam, ketika saya dan istri saya memasuki lokasi TKIT Alhamdulillah, di mana pada tanggal 17 setiap bulan majelis kegembiraaan, paseduluran, ilmu dan hikmah Mocopat Syafaat berlangsung.
Mas Islami dan Mas Imam terdengar sedang membimbing jamaah untuk melantunkan satu syair wirid, atau shalawat mungkin? Saya tidak sempat menyimak karena cukup terlambat tiba malam itu.

Saya dan istri mencari tempat yang cukup nyaman, di warung. Bisa berteduh. Kopi ada, bayar tentu saja.
Tetes-tetes gerimis sempat terhenti, untuk kemudian lanjut menemani. Tak ada keluh yang tampak, sedulur-sedulur JM tetap manusia-manusia yang selalu saya kenal seperti itu juga, ramah senang menyapa, sekadar menanyakan kabar dan sesekali mengajak bercanda-canda. Kekhusyukan dalam menempuh perjalanan sabil, syari’ dan thoriq di Maiyah, adalah kekhusukan yang gembira. Sudra dalam bercanda, mbegawan di dalam batinnya, satria pilih tanding bila diperlukan. Manusia Maiyah yang saya kenal seperti itu.
Pembaca yang budiman juga bisa memiliki spesifikasi sendiri mengenai apa, siapa dan bagaimana manusia Maiyah. Karena Jamaah bukan kumpulan massa, pun bukan gerombolan yang dimobilisasi atas dasar mitos, setiap unsur dalam jamaah adalah unsur pembentuk yang sama penting menurut perannya masing-masing. Maka membangun Jamaah, adalah membangun kedirian sendiri. Kedirian itu, bukan untuk ditunjuk-tunjukkan, bukan untuk pula dikenali, dalam hal ini sedulur JM punya maqom keikhlasan setingkat personel Sonata Band yang puluhan tahun membersamai Bang Haji tapi tak pernah ada yang mengenali.
Tetes-Tetes Bergetar
Mas Helmi dan Mas Jamal, dua punggawa redaksi Maiyah kemudian kembali menemani, rintik gerimis juga nampaknya tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut nimbrung dalam kemesraan kali ini. Rindu mungkin, setia pasti. Itu istri saya, sedang mencatat poin-poin ilmu Maiyah, dia juga setia.
Mas Helmi kemudian meminta relawan-relawan dari jamaah, untuk masing-masing membacakan kalimat-kalimat singkat Mbah Nun yang belakangan dimuat di web caknun.com dalam rubrik TETES.

Lima manusia Maiyah yang rela hati itu kemudian membacakan Tetes demi Tetes, dengan otentisitas masing-masing mereka. Mengenai apa isinya, tentu pembaca yang budiman bisa membacanya sendiri-sendiri di web kita ini.
Tapi yang sungguh-sungguh menyentuh adalah kesungguhan untuk menjadi diri sendiri. Peresapan atas Tetes itu begitu berbeda efeknya satu dengan lain pembacaan. Seorang membacakan dengan gaya aklamasi membahana, satu lagi menggaungkan Tetes-nya dengan lembut mengayomi, ada yang lantang, ada yang bersahaja. Tetes-tetes itu bergetar dalam aliran.
Kata. Al Qur`an sendiri sebagai mushaf memang adalah kumpulan kata dan kalimat berbahasa Arab. Tapi apakah dia hanya bisa diasyiki, didekati dan diakrabi, hanya dengan ilmu logika bahasa? Karena bila begitu, betapa rendahnya Qur`an itu dan betapa dia hanya akan menjadi ajang legitimasi aristokrat agamawan dengan segudang bekal ilmu yang mereka miliki.
Maka di manakah kesempatan kita yang sudra dan awam ini untuk mengasyiki getar-getar kalimat Qur`an bila dia selalu hanyalah sekadar tafsir dan terjemahan?
Bahasa tidak pernah universal, begitu itu yang menjadi keresahan Chaplin sehingga dalam sejarah perfilman dia menjadi manusia terakhir yang menolak film bersuara walau akhirnya, kalah. Tapi terhormat, Chaplin meneguhkan kedirian dengan caranya sendiri juga dengan mempertahankan idealismenya dalam perfilman.
Maka ketika sepuluh Tetes bergetar dari panggung Mocopat Syafaat pada 17 November 2017 malam itu, bukan soalan kata dan maknanya saja yang menembus dinding hati. Getaran Tetes itu merembet, ke gendang-gendang telinga, ke dalam sanubari, pada sel-sel tubuh, memantulkan diri kepada miliaran rintik gerimis, merembet kepada angin, kepada awan, kepada makhluk-makhluk materiil seukuran bakteri sampai pada makhluk non materi seukuran Merapi.

Sebagian partikel udara bahkan terlalu menikmati getar tersebut, disimpannya sendiri getar itu sehingga pada masanya, pada titi wanci yang tepat. Di waktu yang kapan entah, tak ragu lagi Tetes itu akan kembali terdengar oleh mereka yang berjodoh dengannya.
Shadaqah pada yang Kesurupan dan Silmi adalah Kunci
Mbah Nun ketika telah berada di atas panggung, memulakan bahasan mengenai konsep Shadaqah. Selama ini konsep shadaqah selalu dipandang dari kacamata materi saja. Hasil elaborasi belakangan, dikemukakan oleh Mbah Nun, bahwa shadaqah yang satu akar kata dengan shiddiq adalah kondisi batin. Secara sederhananya, ketika manusia telah mencapai kondisi batin yang shiddiq dan ikhlas, maka produk keluar dirinya itulah shadaqah. Produk keluar itu bisa saja pemberian materi, bisa sikap, perilaku dan sebagainya bahkan mungkin hal-hal yang tidak disadari sendiri bisa bernilai shadaqah.
Maka shadaqah tidak melulu soal memberi. Secara ekstrem, orang yang setiap nongkrong di kafe dan warkop selalu ditraktir oleh temannya, bisa saja dia sedang bershadaqah. Sudah bertahun-tahun saya mengamalkan hal tersebut dan alhamdulillah malam di Mocopat Syafaat kali ini mendapat legitimasi keilmuan untuk selalu minta ditraktir.
“Maiyah tidak ikut dalam kontestasi apapun yang sedang berlangsung di dunia saaat ini”, kata Mbah Nun.
Kita berada pada zaman di mana segala pengertian manusia terhadap sesuatu telah membaku, beku dan membatu. Maiyah hadir tidak dengan klasifikasi serta pemahaman zaman yang semacam sudah adanya.
Kita hidup pada era di mana ada negara, ada NU, ada Muhammadiyah, ada segala macam bentuk gerakan dan aktivisme, organisasi, ormas hingga tarekat. Era kita memang sedang pada maqom itu. Era kapan-kapan, mungkin manusia bisa hidup tanpa itu semua. Maaf kalau Maiyah menyalip duluan, toh menyalipnya juga dengan koridor etika dan akhlaq.
Maiyah tetap menjadi yang awam-awam saja, sudra. Bila memang harus ada klasifikasi semacam itu. Karena Maiyah tidak berlomba untuk menang atau unggul terhadap siapapun dan golongan apapun. Karena begitu kita masuk ke dalam arena kontestasi, kita sesungguhnya sedang mengakui keunggulan si empunya regulasi pertandingan. Satu-satunya perlombaan adalah dalam kebaikan, dan satu-satunya kemenangan adalah melawan diri sendiri. Bahwa ternyata Maiyah agak lebih jauh mendahului maqom zamannya, bukan karena memang berniat menang. Kemungkinannya hanya dua; Maiyah yang tanpa sadar terlalu lesat lajunya, atau dorang yang jalannya di situ-situ saja.

Mas Sigit, seorang yang sangat berdedikasi dalam menggali kekayaan-kekayaan leluhur, diminta oleh Mbah Nun untuk turut menyumbangkan poin-poin ilmunya.
Pak Eddot, dokter spesialis kanker pada anak, yang juga sudah akrab dengan para JM juga ikut menyumbang kemesraan, berkolaborasi dengan Kiai Muzammil dari sudut pandang kekhasannya sendiri juga. Tanpa sadar, kolaborasi yang ciamik ini justru melahirkan letupan-letupan ilmu, temuan-temuan dadakan yang baru tersingkap ma’rifat-ma’rifat pada saat itu juga.
Mas Sigit sendiri memang sempat berkata bahwa harta sesungguhnya dari kekayaan Nusantara tidak bisa disingkap bila bukan oleh orang yang berhak dan bukan pada masa yang tepat. Segala sesuatu, ada titi wanci-nya.
Seperti ketika Pak Edot sedang menjelaskan mengenai kedoteran modern dan pergeseran trend kesehatan sekarang, Kiai Muzammil malah mendapat khazanah-khazanah baru mengenai konsep shoum.
Pak Edot menjelaskan, kedokteran barat belakangan ini mulai berbenah diri. Metode pengobatan yang sebelumnya menyamaratakan manusia, mulai beranjak pada hal-hal yang individu. Mereka mulai menyadari bahwa setiap manusia berbeda. Metode yang cocok diaplikasikan ke seseorang, atau suku dan ras tertentu belum tentu cocok diaplikasikan ke manusia lain. Dalam hal ini, kedokteran barat memang kemudian mendapati dirinya mau tidak mau mesti bersedia merangkul kedokteran timur. Tidak lagi memandang sebelah mata, mencapnya klenik atau sekedar pengobatan alternatif. Sekarang posisinya menjadi sejajar, bahwa semua metode ya alternatif.
Ada kesambungan sebenarnya antara apa yang disampaikan dr. Eddot dengan Mas Sigit. Mas Sigit menjelaskan soal penyandian, kodifikasi harta-harta Nusantara yang terpendam. Pengkodean ini bisa dengan pola penamaan desa, upacara ritual atau legenda-legenda lokal. Pengkodean dari generasi leluhur kita ini begitu detil, rapi dan presisi sehingga butuh kehalusan sudut pandang.
Sesungguhnya, baik dr. Eddot maupun mas Sigit mengemukakan bahwa menjelang terbukanya peradaban baru, pemahaman Silmi menjadi kunci. Pemahaman yang ngemong, memperhatikan hal-hal yang terlanjur dianggap kecil dan sepele bahwa “robbana maa khalaqta haadza bathila” tak ada segala sesuatu yang diciptakan sia-sia. Silmi adalah kunci, ya kunci sejarah peradaban, kunci kesehatan sampai kunci menghadapi fenomena kesurupan.

Fenomena kesurupan ini ditanyakan oleh seorang jamaah pada sesi tanya jawab. Ada tiga penanya dengan keunikannya masing-masing. Selain soal kesurupan massal, ada seorang “Ki Ageng Caping Gunung” yang menanyakan sangkan paraning dumadi kehidupan, bahkan menanyakan sendiri soal pertanyaannya “apakah nanya terus dijawab, terus udah?” dan dilanjutkan seorang jamaah yang telah lama mendedikasikan hidupnya mendidik anak-anak dan sempat bermimpi ketemu Mbah Nun.
Mas Islami bercerita dan bapak-bapak Kiai Kanjeng pun kemudian silih berganti menceritakan kisah-kisah berkaitan dengan fenomena kesurupan, jin dan berbagai bentuk relasi dengan makhluk-makhluk di luar pengetahuan jasmani semacam itu.
Yang unik, tidak sekali dua kali saja kasus kesurupan yang sempat bersentuhan dengan Mbah Nun justru jinnya (atau apapun itu) malah merasa diemong, diayomi oleh Mbah Nun.
Namun pernah juga, seperti kasus waktu di Italia, walaupun bukan persoalan kesurupan, beberapa jin dimarahin habis-habisan oleh Mbah Nun sampai — menurut penglihatan Mas Is– makhluk-makhluk satu spesies di situ jadi ketakutan seperti anak kecil sedang diomeli orang tuanya.
Mungkin ini seperti konsep shadaqah yang dibabarkan oleh Mbah Nun juga. Soal fenomena kesurupan kita selalu berkonsentrasi pada ritual pengusirannya, ayat apa yang mesti dibaca, berapa kali wirid tertentu dan semacamnya. Kadang kita lupa untuk men-shiddiq-kan hati. Kita luput untuk mengingat bahwa para jin, para makhluk tersebut juga butuh diemong.
“Kenapa tidak ada ilmuwan yang menjadikan Sulaiman sebagai guru atau sumber rujukan, di mana para jin itu kan karyawan-karyawannya?” ujar Mbah Nun.
Bahwa terkadang produk shadaqah itu adalah membelai atau membentak, itu tentu bisa disesuaikan dengan situasi kondisi. Tapi yang terutama, bagaimana kita mencapai kuda-kuda batin yang shadiq itu dulu.
“Sepanjang berkhusnudhzon pada Allah, semua akan berada pada aura kasih sayang anda”, kata Mbah Nun lagi.

Indonesia sendiri sepertinya tidak jauh beda kondisinya dengan orang yang sedang kesurupan. Dia sadar tapi tidak punya kontrol atas dirinya, ingat tapi lupa dirinya, tidak jelas bicaranya. Arah pandangnya, kiblat pembangunannya, tolok ukur maju-mundur spiritualitas jelas bukan otentik dari dirinya sendiri. Maiyah sedang menghadapi NKRI harga kesurupan memang, dan Maiyah bershadaqah.
Tapi Indonesia bukan tema utama malam ini, segala karut-marut, pertikaian dan kepuyengan persoalan negeri sebrang itu tidak begitu menjadi soalan, apalagi beban pikiran. Maiyah asik dengan dirinya, membangun kuda-kuda shiddiq dalam batin. Manusia Maiyah menyadari ia “sempurna” menjadi dirinya.
Maiyah bergembira, apapun kondisinya. Kegembiraan yang mengajak pada kegembiraan lain, hujan diajak bergembira, manusia hewan dan tumbuhan diajak bergembira, makhluk-makhluk partikel sampai yang tak nampak mata, bunyi, gelombang, getar semua diajak ikut bergembira. Kegembiraan yang “sempurna”. (MZ Fadil)