Terus Bersyukur dengan Mentadabburi Daur
Setelah sebelumnya kita Jamaah Maiyah mensyukuri putaran pertama Daur 01-309 yang hadir sepanjang tahun 2016 lalu dengan mentadabburinya dalam Tadabbur Daur, berikutnya kita bersyukur lagi atas diterbitkannya Daur pertama tersebut dalam buku seri Daur.
Tadabbur Daur sendiri merupakan sebuah rubrik di caknun.com yang muncul menyusul selesainya putaran Daur pertama. Ungkapan rasa syukur banyak diungkapkan Jamaah Maiyah sebagai respons ragam ilmu yang diperoleh dari Daur. Setidaknya lebih dari lima puluh ungkapan rasa syukur disampaikan kepada redaksi dalam bentuk tulisan esai dengan ragam tema sesuai apa yang didapat Jamaah Maiyah dari Daur.
Seperti yang didapat Achmad Syaifullah Sahid asal Jombang dari Daur 36 – Rimba Gelap di Depanmu Loncat Masuk dan Daur 38 – Bukan Sorga Berakibat Tuhan yang menemukan setidaknya tiga kunci yang menguatkan dirinya ketika mengambil satu keputusan besar dalam hidupnya. Tiga kunci itu: Bismillah, Nekad, dan Loncat Masuk.
Atau bagaimana Hanifah Mustika Wati asal Mojokerto belajar dari Junit, Toling, dan Jitul di Daur 243 – Perayaan Kesalehan. Guru MI ini mengkritisi pelabelan Islam dalam produk-produk industri dengan kata halal, syar’i, dan sesuai syari’ah. Lain lagi dengan Dailanayya Ratuviha dari Surabaya yang mengingatkan kita akan Digitalisasi Talbis Informasi dengan merujuk pada Daur 109 – Bainal IT wal OT.
Senada dengan Hanifah, rekan kita Andre Wicaksono dari Jakarta tidak hanya belajar dari Junit, Toling, dan Jitul, tapi juga dari Tonje, Kasdu, dan tentunya Mbah Markesot yang menggugah kesadarannya bahwa hidup di dunia tidak ada kaitannya dengan pencapaian dunia. Mereka semua mengingatkan Andre bahwa dunia ini bukan kampung halaman sejati dan hendaknya terus mendekat kepada Allah dan Rasulullah dalam Daur 51 – Apa yang Perlu Direnungi dari Nasib dan Daur 52 – Peradaban Bayi-Bayi.
Jauh dari kota Xiamen di negeri Cina, seorang mahasiswa, Ahmad Syaiful Rizal mendapat ketenangan atas frustasinya melihat Indonesia yang karut-marut. Daur 07 – Anak Asuh Bernama Indonesia ditadabburinya dan memperoleh optimisme Indonesia yang ber-Maiyah. Dan tak mau kalah, Mukhamad Khusni Mutoyyib, pelajar Islamic Home Schooling Fatanugraha Wonosobo mentadabburi Daur 62 – Revolusi Tlethong dan merefleksikannya kepada Tari Topeng Lengger Wonosobo. Melalui pintu Daur itu, ia memperoleh kesadaran akan sangkan parannya manusia. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.
Dan masih banyak lagi tadabbur sebagai ungkapan rasa syukur Jamaah Maiyah dari Daur putaran pertama yang bisa dibaca dalam rubrik Tadabbur Daur.
Keseluruhan 309 Daur itu oleh penerbit Bentang Pustaka dibukukan dalam empat jilid menjadi sebuah tetralogi Daur. Masing-masing sesuai urutan satu hingga empat diberi judul: Anak Asuh Bernama Indonesia; Iblis Tidak Butuh Pengikut; Mencari Buah Simalakama; dan Kapal Nuh Abad 21.
Senin 12 Juni 2017 ini, Bentang Pustaka mengajak kita untuk terus bersyukur atas terbitnya buku Daur dalam acara Tadabbur Daur bersama Mbah Nun. Selain Mbah Nun, mas Salman Faridi yang merupakan CEO Bentang Pustaka akan mengupas buku Daur bersama Rizky Dwi Rahmawan, penggiat Majelis Ilmu Maiyah Juguran Syafaat yang juga salah satu pentadabbur Daur, dan Fahmi Agustian seorang penggiat Majelis Ilmu Maiyah Kenduri Cinta Jakarta.
Adapun informasi lengkap mengenai acara ini sebagai berikut:
Hari: Senin, 12 Juni 2017
Waktu: 20.00 wib – selesai
Tempat: Taman Bentang Pustaka
Jl. Plemburan No.1, Sinduadi, Sleman, Yogyakarta
Pendaftaran dan info ketik: CakNun_Jogja_Nama
Kirim ke Whatsapp 0812-1673-0405 atau LINE di @bentang_pustaka
(dilayani pada pukul 09.00 – 17.00)
Mari terus bersyukur dengan mentadabburi Daur.