Tertawa Itu Sungguh-sungguh
“Maaf, maaf…”, Tarmihim hampir terbatuk-batuk menghentikan tertawanya dengan setengah paksa, “Mudah-mudahan saya tertawa ini semata-mata karena jenis adonan perasaan atau formula kejiwaan saya berbeda dengan kalian semua”. Ia meng-Iqra` dirinya.
Tertawanya nongol lagi. “Maaf saya sedang merasa geli kepada diri saya sendiri. Kalau tidak salah ada ayat Allah, saya lupa surat dan ayat berapa, tapi intinya ”dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain”. [1] (An-Nisa: 32). Bagaimana mungkin saya tidak mentertawakan diri saya sendiri? Atas dasar sejarah keilmuan dan pengalaman yang mana saya kok menyebut ayat Al-Qur`an….”
Setelah agak lama diam, Brakodin terdengar suaranya: “Tapi maaf saya tidak ikut tertawa. Jenis perasaan dan nasab kejiwaan saya berbeda”
“Asal tidak melarang yang lain tertawa”
“Saya tidak pernah melarang. Hanya kaget dan belum paham”
“Saya tertawa ini sungguh-sungguh”, Tarmihim membela diri, “Tertawa itu suci, ia keluar apa adanya dari perasaan melalui mulut. Tertawa itu bukan bermain-main. Tidak semua tertawa itu bergurau. Tertawa itu murni sebagai akibat dari suatu sebab. Hubungan antara sebab dengan akibat yang berbentuk tertawa itu serius dan nyata. Bukan permainan. Bukan cengengesan. Bukan senda gurau”
“Saya juga tidak menuduh kamu main-main dan senda gurau”
“Meskipun Tuhan berfirman bahwa “tiadalah kehidupan dunia ini selain dari main-main dan senda gurau”, tetapi hidup saya sangat sungguh-sungguh. [2] (Al-An’am: 32). Entah siapa yang main-main dan senda gurau. Tapi saya tidak. Saya hanya tertawa karena bersyukur”.