Tanah Air Telanjang Bulat
Semua berpikir Mbah Shoimun sudah sampai pada akhir takallum-nya tatkala mengemukakan ini: “Simulasi futurologis, teknologi keserakahan jangka jauh ke masa depan itu, dilaksanakan harus dengan mengkongkalikongi substansi Negara, merobohkan pagar undang-undang perlindungan atas kepemilikan demokratis rakyat atas kekayaan tanah airnya. Dengan mencanangkan dusta bendera Pancasila dan mentalbisi Bhinneka Tunggal Ika. Zalitun kerja keras dibantu oleh A’wan yang membutakan mata dan hati para pejabat. Juga Walhan yang mengacaukan hakikat ibadah para Ulama, Kiai dan Ustadz…”
Ternyata masih terus. Gila. Jin kok Ustadz. Malah mengutip firman Allah: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya pula, dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam database atau main resources Lauh Mahfudz“. [1] (Al-An’am: 59)
“Tarmihim, kasih tahu anak-anakmu ini”, kata Mbah Shoimun terus mendesak Pakde Tarmihim, “Jangan dipikir sehelai daun yang menguning tidak ada kaitannya dengan lalu lintas peradaban manusia. Jangan disangka tutup botol hanyalah tutup botol, dan tak ada hubungannya dengan tahun-tahun keributan yang akan kalian hadapi”
“Saya pernah suruh Macan Guguh Grobogan, Lancur Blora dan Kala Prahara Lasem untuk mengantar Mbah kalian Markesot ke kubangan bawah tanah yang menyimpan kekayaan Indonesia yang luar biasa, utamanya sumber energi fosil. Kandungan minyak, gas, batubara dan lainnya. Supaya melihat sendiri hasil orogenesa, erosi dan karya gunung-gunung berapi. Juga pertigaan himpitan tiga lempengan besar bumi, yang menimbulkan cekungan-cekungan yang membentuk pegunungan Kapur Utara dan Kendeng. Di hamparan sekitar Grobogan, Blora, Bojonegoro, Tuban, bahkan hingga Kabuh Jombang, menyimpan kekayaan masa depan anak cucu kalian yang sekarang terjerembab di kubangan utang raksasa. Itu semua temanya bukan hanya peta harta karun, tapi juga konstelasi waktu dari nasib manusia dan bangsa di hari-hari esok”
“Markesot diajak jalan-jalan melihat Formasi Kerek, Kalibeng, Pucangan, Kabuh, Notopuro, dan Bengawan Solo. Sebenarnya petugas-petugas saya di sana, dalam koordinasi Bathili di Tuban, Ajidipo di Kendeng, dibantu oleh Caru Bawor Lamongan, Durgo Neluh Maospati dan Korep Ponorogo – pernah berikhtiar menutupi simpanan kekayaan itu seperti Nabi Khidlir menegakkan pagar bersama Nabi Musa. Tetapi terlambat, terlanjur ketahuan oleh Satelit-satelit bikinan manusia. Sebenarnya yang bisa bikin buta Satelit adalah high-tech Hud-hud Baginda Sulaiman, tetapi toh manusia tidak peduli kepada peradaban Sulaiman. Segalanya sudah terlambat… Sekarang Negeri kalian sudah makin ditelanjangi. Tanah air kalian sudah telanjang bulat. “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang ia ingini...”. [2] (Ali ‘Imran: 14) Dan manusia malah kenduri. Mereka justru merakusinya. Yang mereka maksud Pancasila sesungguhnya adalah pelampiasan keserakahan…”
Tarmihim berbisik ke telinga Brakodin: “Cak Sot pernah cerita itu, dan responsnya: Emangnya saya pengurus Indonesia, kok diajak sidak… Lastu ahadan wala syai`an”.
Yogya, 2 November 2017