Tak Untuk Dikenal
Tak jua jelas kemana ia bergerak.
Juga tak jelas apakah ia menuju kemusnahan ataukah sedang merintis peradaban.
Dari kejauhan ia hanya tampak terdiam.
Tapi mengapa ia tetap kelihatan meski dalam kegelapan?
Bukan Sebenarnya Pohon
Pohon itu tampak tumbuh liar di tanah bergelombang diselimuti udara dingin. Ia tak memilih tumbuh dari tanah subur yang dirawat oleh petani-petani tangguh, melainkan memilih tumbuh dari dataran cadas yang mungkin merupakan tempat berkumpulnya serpihan-serpihan bangunan hebat di masa lalunya.
Andai ia bisa bersuara di frekuensi 20-20 ribu Hertz, ia mungkin akan berkata bahwa ia tak mau disebut pohon. Karena ia tak sekokoh yang dibayangkan banyak orang, apalagi rindang hingga mampu memberi kesejukan dan suplai oksigen bagi siapa saja yang bernaung di bawahnya.
Andai ia memang benar tanaman, ia memilih rumput sebagai padanannya. Itu pun setelah memantas-mantaskan diri. Ia bukan rumput di Old Trafford Manchester atau Santiago Barnebeu Madrid yang amat bangga karena menopang orang-orang yang katanya bintang dunia. Tanaman ini tak cukup hijau menyegarkan sebagaimana rumput. Hanya saja ia memiliki satu kemiripan karakter, yakni memilih diinjak-injak, memilih untuk menyangga orang-orang di atasnya sekuat ketahanannya.
Ketika orang-orang riuh berdebat mempertanyakan identitasnya, apakah ia pohon ataukah hanya tanaman sebangsa rumput, ia memilih untuk tak memihak pada salah satunya. Ini hanya masalah jarak pandang, sudut pandang, resolusi pandang, dan cara pandang. Begitu benaknya perlahan mulai menjawab. Meski ia sadar sepenuhya, suaranya takkan didengar siapapun. Dan ia memang sama sekali tak berniat bersuara agar didengar orang lain. Ia hanya ingin menjaga dirinya sendiri agar senantiasa terjaga dan tak lena. Oleh karenanya, ia akan terus bergumam “mulutnya”. Hanya agar sekedar otaknya tetap teraktivasi dan tanpa jenuh berdialektika mandiri.
Ia melanjutkan jawaban atas keriuhan-keriuhan itu. Begini jawabnya. Bagi semut, rumput pantas disebut pohon karena mampu memberi keteduhan dari panas dan hujan. Juga mampu menopang tubuh semut saat dipanjatnya agar tak terhempas ke tanah keras. Tetapi pada saat yang sama pula, bagi para pemain sepak bola, rumput tak ubahnya alas atau keset yang berguna meredam tubuh-tubuh kekar itu agar tak remuk tatkala terjatuh. Itu saja jawaban yang bisa disumbangkan untuk meredam keriuhan. Meski ia sadar, ia sedang ditertawakan kawan-kawannya atas usahanya itu. Rumput ini hanya begitu terinspirasi mendalam kepada seekor semut yang mati-matian membawa setetes air embun dan hendak memadamkan api berkobar-kobar di atas tubuh Khalillullah.
Tanaman serupa rumput itu hanya ingin menunjukkan pada dirinya sendiri dan Tuhannya (yang sebenarnya ia tahu Maha Tahu), bahwa ia berpihak kepada kewaspadaan diri. Ia berusaha untuk “tak peduli” sementara waktu kepada dunia. Atau bahkan nantinya sepanjang waktu. Itu sama sekali tak berarti. Seolah ia tak mau mengurusi dunia. Dan mungkin, itu justru merupakan strateginya untuk menyelamatkan dunia. Yakni dengan berusaha menata ulang dari ke-chaos-an yang disebabkan terlalu banyaknya hukum-hukum alam yang tertabrak.
Terus Merambat
Sepertinya pohon kecil itu tak cukup percaya diri sekadar mengatakan bahwa dirinya sedang terus berjalan. Baginya, kalimat itu terlalu agung. Itu hanya untuk manusia-manusia yang telah menyadari sepenuh hati keberadaan kedua tungkai dan lengannya. Ia lebih suka mengatakan bahwa ia sedang terus merambat. Itu pun ia tampak tak sungguh-sungguh merambat. Alih-alih ia merambat di atas tanah mencoba menutupi tanah-tanah tandus yang sesekali tersirami air hujan, ia memilih merambat di kedalaman tanah yang seringkali resapan air hujan tak mencapainya.
Bagi kebanyakan orang, mungkin ia disebut sedang melakukan kebodohan optimal karena memilih cara dan jalan yang tak biasa. Tetapi ia tak peduli dengan itu. Ia justru menemukan kebanggaan dan kebahagiaan dengan pilihan jalan hidupnya. Ia bangga hingga detik ini tak kehilangan semangat sedikit pun untuk merambat membuat jalan hidupnya sendiri. Bahkan ketika harus menembus tanah cadas yang sama sekali tak berair, ia justru menemukan nikmatnya kesunyian sebuah jalan, alih-alih ia mengeluhkan kondisi itu.
Jalan sunyi bukanlah jalan tersulit untuk dilalui, karena sesungguhnya menembus jalan riuh jauh lebih sulit. Meskipun tampak sangat gelap laksana rimba perawan, melangkah di jalan sunyi takkan banyak godaan atau gangguan yang berpotensi mengalihkan pandangan menjauh dari tujuan sejati. Sebaliknya, betul bahwa jalan riuh seringkali lebih terang benderang dan penuh sorak-sorai, tetapi ia sangat berpotensi mengalihkan fokus siapapun yang melangkah menerjangnya. Bahkan ketika sorak-sorai itu lantang berteriak tentang nilai-nilai kebenaran, itu tak menghilangkan potensi hilangnya fokus. Oleh karenanya, ia tak heran menyaksikan fenomena-fenomena sorak-sorai meneriakkan kasih sayang tetapi menggunakan intimidasi kekuasaan dan kekuatan.
Kalaupun pohon kecil itu memilih jalan sunyi, sebagaimana yang ia serap dari akar induknya, itu sama sekali bukan representasi kekerdilan jiwa atau ketakutan akalnya melewati jalan riuh. Melainkan itu sebuah strategi (yang menurutnya brilian) guna menertibkan dan mengarahkan jalan riuh itu agar bermuara pada satu tujuan sejati. Pikiran matangnya mengatakan bahwa nyaris tidak mungkin menata jalan yang terlanjur sangat riuh itu dari jalan itu sendiri. Maka ia memilih merambat secara ajeg atau istiqomah menembus tanah-tanah cadas di bawah jalan riuh.
Tatkala menghadapi situasi yang tampak tak tentu arahnya, hal pertama dan utama yang paling rasional adalah meningkatkan pertahanan diri agar tak ikut terbakar situasi yang kian memuai. Melakukan hibernasi sebagaimana Kepompong, memilih terbang dan bersemayam di setinggi-tingginya gunung sebagaimana Rajawali merupakan pengejewantahan dari meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran diri. Sekilat itu tampaknya menyiksa diri, tetapi sesungguhnya sama sekali tidak. Sang Rajawali itu tak hanya berpuasa dari makanan, tetapi juga dari kekuasaan. Bahkan untuk menjamin puasanya berlangsung sebagaimana mestinya, ia mesti mematuk-matukkan paruhnya hingga tak bisa digunakan. Ia juga mencengkeramkan cakarnya sekuat-kuatnya ke bebatuan cadas hingga patah tak berfungsi. Ia tak sedang bunuh diri, melainkan mengharap tumbuh berkembangnya paruh dan cakar sejati.
Itulah mengapa pohon kecil itu “memilih” berpuasa dari keriuhan. Bukan dalam rangka putus asa, melainkan benar-benar menyiapkan diri berpacu dengan waktu, bila sewaktu-waktu dirinya memang dibutuhkan untuk menerjang jalan penuh keriuhan itu.
Membantu Mengenali
Lima tahun tak terasa pohon kecil itu telah terus merambat. Saking asyiknya merambat, ia mungkin benar-benar tak paham bagaimana wujudnya saat ini. Ketika banyak orang mengingatkan agar ia tegas akan wujudnya, itu tak membuatnya gelisah akan eksistensinya. Akan tetapi, justru dikonversinya menjadi segumpal energi tambahan yang membantunya merambat lebih jauh.
Pun manakala seseorang bertanya mengapa ia tak mengenali sebuah pohon yang telah 5 tahun tumbuh, pohon kecil itu seolah menjawab bahwa tak penting ia dikenal atau tidak. Ia justru mengatakan bahwa 5 tahun itu masihlah waktu yang teramat singkat.
Terpenting dari itu, pohon kecil itu sekali lagi menekankan bahwa keberadaannya tak penting untuk dikenal. Bahkan hingga tak penting ia berwujud atau tidak. Pohon kecil itu, hingga detik ini masih teguh memegang Janji Koral-nya, bahwa kalaupun ia ada maka ia akan membantu siapapun yang berada di dekatnya untuk mengenali Sang Wujud Sejati. Itulah janjinya. Tak penting orang mengenalnya atau tidak. Kebahagiaannya adalah bila suatu ketika ia bisa membantu seseorang untuk mengenal Sang Keindahan Sejati, hari ini atau esok.
Tak peduli apakah ia kemudian akan menjadi rumput yang terinjak-injak, bahkan andai yang menginjak-injak akan menjadi bintang dunia sebagaimana para bintang sepak bola, itu sama sekali tak mengganggu mentalitasnya untuk ikut-ikutan mengejar popularitas.
Itulah mengapa hari ini pohon kecil itu sujud begitu lamanya. Ia benar-benar bersyukur karena tak terlepas dari janjinya, dan ia masih saja memiliki motivasi untuk terus merambat.
Bahkan hari ini syukurnya kian menjadi-jadi karena ia baru saja mendapat inspirasi baru dari induk akarnya yang terdengar agak gila (baca: extraordinary). Kau tahu apa inspirasinya? Walau ia pohon dengan dominasi akar, itu sama sekali tak memangkas cita-citanya untuk suatu saat menjadi pedang. Ya, sebuah pedang yang terbuat dari akar. Tidak masuk akal? Ya jangan dimasukkan akal.
Pohon kecil itu hanya bergumam, mari terus merambat, menyerap setiap cahaya kebaikan yang dilalui agar tetap senantiasa memancar menerangi siapapun yang berada di sekitarnya. Akar kita akan kokoh bila secara konstan menyerap terus-menerus kebaikan-kebaikan itu. Dan suatu saat akan pada satu titik akar ini sekokoh pedang platinum. Tinggal berani yakin atau tidak.
Bila suatu saat kau sedang berjalan-jalan di Kota dingin yang tak datar berhias pegunungan, menjelajahlah di malam Rebo Legi, siapa tahu engkau bertemu pohon kecil yang tak begitu jelas wujudnya. Panggil saja ia dengan ReLegi.
Talames Ngalu Nuhat ReLegi yang ke-5.
Kepada Sang Induk Akar Pohon Maiyah, Cak Nun, selamat Ulang tahun, tak ada ucapan, ungkapan ataupun kado terima kasih yang bisa kami berikan. Karena tak ada yang pantas, yang bisa kami persembahkan atas kesabaran, kerendahan hati dan ketelatenanmu menyorongkan Cahaya Sejati kepada kami.
Doa panjang umur pun tak mampu kami ucapkan. Kami hanya bisa bersuara lirih dalam sunyi,
Ya Allah, kami tak pantas memohon kepadaMu atas umur seseorang. Hari ini kami berdoa untuk diri kami sendiri, berilah kami izin dan kesempatan, biarkanlah kami para akar serabut ini tumbuh mentunas, berkembang, berbuah hingga berbiji disaksikan oleh induk akar kami. Kami tak hendak menyenangkan hati pada induk akar itu, melainkan itu akan menjadi kebanggaan dan kebahagiaan kami karena pada akhirnya bisa mempersembahkan terima kasih kepada Beliau, Cak Nun, walau itu hanya janji.
Sambil terus bergumam menirukan suara-suara renyah Mas-Mas Letto,
Ku menanti sang kasih
Dalam sunyi ku bersuara lirih
Yang berganti hanya buih
Yang sejati takkan berdalih
Kutepiskan semua keraguan jiwa
Dan ku ganti dengan kepastian hatiku ini
Yang mulai mengerti dan berani
Tuk menyambut janji...
Malang, 6-6-2017, 15.50 WIB.