CakNun.com

Tak Pernah Kendur Nandur

Abdul Mubarak
Waktu baca ± 3 menit

Menyimak dan merenungkan betapa mengalirnya tulisan-tulisan Cak Nun yang beberapa bulan ini setiap hari dimuat caknun.com minimal dua tulisan perhari, di rubrik Daur dan Khasanah, di saat usia beliau yang makin sepuh, di tengah padatnya jadwal beliau keliling Indonesia Maiyahan, bahkan saat tulisan ini saya ketik hari ini beliau sedang berada di Australia. Terus terang sebagai anak muda generasi millenial saya merasa cemburu akan produktivitas Cak Nun yang saya anggap Guru dan Orangtua itu.

Coba bayangkan bagaimana bisa sosok yang begitu sibuknya hampir tiap hari non-stop berkegiatan dijadwal oleh masyarakat dengan durasi Maiyahan di malam hari sekitar 6-8 jam masih sempat menulis dua jenis esai di Daur dan Khasanah dengan tulisan-tulisan yang sangat berbobot beragam tema. Dari Rindu Tuhan, tentang Puasa, Pancasila, NKRI, kesucian Matematika, Revolusi Konstitusi, Bola tanpa Pemain (Qadla dan Qadar) dan lain-lain.

Saya menduga sebelum matahari terbit tulisan itu sudah selesai Cak Nun ketik memakai smartphone di mana sebelumnya terjadi proses pengembaraan pikiran menembus cakrawala ketika beliau mencuri waktu untuk memejamkan mata entah di pesawat atau di atas mobil yang dikendarainya. Sementara saya hanya bisa meng-update status setiap hari di medsos dan belum tentu dalam sebulan saya bisa menulis sesuatu yang bermutu dan seringkali hanya bermodalkan copas.

Cak Nun memang bukan mesin yang kenal aus dan terbukti apa yang dikatakannya ketika diwawancarai oleh seorang wartawan apakah ia tidak takut produktifitasnya menurun di usia yang semakin tua dan tentu saja dijawab tidak, hari ini kita bisa melihat semakin bertambah usi semakin bermutu dan berisi tulisan-tulisannya. Puthut EA dalam sebuah tulisannya menilai Cak Nun adalah penulis esai produktif dan mungkin paling produktif.  Dikutip dari Radio Buku lewat akun Twitter-nya Puthut tahun lalu menyatakan bahwa Cak Nun telah menulis 5000-an esai. Itu yang terdokumentasi, belum termasuk yang nyelip tak terdokumentasi dan tulisan-tulisan anyar khasanah Cak Nun dan kolom khusus Cak Nun bertajuk Wedang Uwuh (sudah edisi 45) dalam surat kabar Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta setiap hari Selasa.

Energi dan stamina Cak Nun yang seperti tak pernah padam semestinya menyulut api perjuangan orang Maiyah dan anak cucunya menjadikannya teladan, agar tak pernah kendor menanam dan terus menanam di tengah zaman yang semakin diliputi kegelapan. Saya haturkan banyak terima kasih kepada Cak Nun khususnya dan para guru kami di Maiyah atas teladan dan percikan ilmu yang ditransfer setiap waktu kepada kami lewat tulisan-tulisannya dan aliran ilmu di Maiyahan yang terus menerus mengalir dan bergetar menjadi penyeimbang zaman.

Energi Sulthan dan Pengembaraan Pemikiran Cak Nun

Menurut Cak Nun di Buletin Maiyah Jawa Timur, mata air energi sulthan adalah tantangan Allah kepada Jin dan Manusia: “Wahai jin dan manusia, kalau kalian sanggup menembus lapisan-lapisan langit dan bumi, maka tembuslah. Tetapi kalian tidak akan sanggup menembusnya kecuali dengan Sulthan”. Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi pasti dibekali dengan segala fasilitas dan kekuatan-kekuatan termasuk energi sulthan yang bersumber dari-Nya. Sehingga dengan ini orang Maiyah diajak masuk dalam bulatan kesadaran “La haula wa la quwwata wa la sulthana illa bilahil’aliyyil ‘adhim”.

Proses ijtihad yang berkonteks bumi-langit dan dunia-akhirat sekaligus selalu dicontohkan Cak Nun dalam berbagai tulisan Cak Nun dan perjuanganya. Dengan beragam tema dan universalitas pemikiran hasil pengembaraan Cak Nun kita dapat melihat dunia yang tidak terkotak-kotak tidak tersekat-sekat dalam pemikiran fakultatif yang parsialistik.

Keutuhan manusia terus digugah untuk menjadikan kehidupan yang lebih benar, lebih baik, dan lebih indah sesuai dengan “visi-misi” Allah menciptakan manusia sebagai khalifah-Nya. Allah menjaga setiap zaman dengan menghadirkan para kekasih-Nya yang melakukan perjuangan panjang dan penuh kesabaran. Kegelapan zaman harus diimbangi dengan cahaya yang berpendar dimana-mana.

Seringkali Cak Nun mengungkapkan mengapa ia rela keliling kemana-mana Maiyahan bahkan akhir-akhir ini seperti menyeterika pulau Jawa dari ujung timur pukul ujung barat alasannya adalah sebagai bentuk setoran kepada Allah dan agar semakin bertambah jumlah kekasih-Nya di negeri ini yang nantinya Allah punya alasan untuk membela kita kalau para kekasih-Nya disakiti oleh para penganiaya dan para penjajah.

Maiyah seperti yang disampaikan Syekh Nursamad Kamba adalah warisan dari Rasulullah Saw kepada Cak Nun, karena itu semestinya kita terus rawat dalam kebersamaan dan tetap istiqamah bergerak, tidak mudah digoyahkan oleh keadaan dan tidak mempan dibenturkan oleh siapapun. Beruntunglah kita mengikuti jalan sunyi ini di tengah gegap gempita dan hiruk pikuk dunia yang semakin materialistik individualistik.

Kita berhimpun karena memiliki gelombang yang sama dan perkenalan kita yang dipersaudarakan oleh Cak Nun terjadi jauh sebelum ini di alam arwah. Sebagaimana dalam sebuah hadits Nabi Muhammad Saw: “Ruh-ruh itu laksana tentara yang berkumpul, maka yang saling mengenal daripadanya niscaya mudah menyelaraskan dan yang bertentangan daripadanya niscaya saling menyelisihi“.

Tinambung Mandar, 22 September 2017

Lainnya

Mensyukuri Seratus Daur

Tidak terasa, sejak edisi pertama #Daur pada tanggal 3 Februari 2016, pendaran ilmu dari Cak Nun melalui tulisan-tulisan anyar di website ini tidak terasa sudah berlangsung tiga bulan lebih.

Redaksi
Redaksi

Topik