Tafsir Logika Kehati-hatian
Disebutkan oleh Abu ‘Ubaid dalam Al-Fadhoil dengan sanad yang sahih, bahwa Baginda Rasulullah bersabda: “Ittaqut tafsira, fa innama huwar-riwayah ‘anillah”. “Berhati-hatilah menafsirkan Al-Qur`an, karena ia adalah riwayah dari Allah”.
Sungguh tidak logis bagi dan pada siapapun kalau atau untuk tidak berhati-hati ketika mencoba memahami dan memaknai Al-Qur`an. Sungguh yang tidak berhati-hati itu tidak logis untuk disebut sebagai makhluk manusia, karena fadhilah utama manusia adalah anugerah akal dari Allah. Atau, makhluk semacam itu, sekurang-kurangnya ia adalah manusia yang kurang berlaku sebagai manusia.
Kehati-hatian adalah kewaspadaan. Kewaspadaan adalah mengetahui batas di antara kurang dengan lebih. Kehati-hatian adalah regulasi, kemampuan untuk menakar dan mengindentifikasi ketepatan antara keluasan dengan kesempitan, antara kemerdekaan dengan keterbatasan.
Salah satu alat kehati-hatian adalah regulasi yang dikerjakan oleh logika. Logika merupakan tulang punggung dari fungsi akal. Kalau syarat penafsiran yang juga merupakan hasil anjuran dari logika, lantas justru mencurigai dan menegasikan logika, maka itulah pertanyaan dan keluhan utamaku kepada Allah dan Baginda Rasulullah.
“La’allakum tatafakkarun” [1] (Al-Baqarah: 219, 266). “Afala tatafakkarun” [2] (Al-An’am: 50). “Afala ta’qilun” [3] (Al-Baqarah: 44, 76. Ali ‘Imron: 65. Al-An’am: 32). “La’allakum ta’qilun” [4] (Al-Baqarah: 73, 242. Al-An’am: 151). “In kuntum ta’qilun” [5] (Ali ‘Imron: 118). Dan banyak lagi Allah menekan-nekankan penggunaan akal dan logika berpikir. Jangankan menafsirkan Al-Qur`an, menyeberang jembatan sebatang bambu saja tidak logis kalau tidak hati-hati. Jadi jangan terburu menyalahkan orang yang bertanya: kenapa kehati-hatian tafsir harus memberikan ancaman terhadap logika?