Tafsir Kursi di Neraka
Aku bertanya kepada Allah dan Baginda Rasulullah, tidak kepada yang bukan Allah dan Baginda Rasulullah. Sangat mungkin aku tidak punya kepantasan dan derajat untuk itu, juga tidak tahu bagaimana cara dan bentuk kuterimanya jawaban itu, andaikan Allah dan Baginda Rasulullah berkenan menjawab.
“Man fassaral Qur`ana biro`yihi, falyatabawwa` maq’aduhu minannar”. “Barang siapa menafsirkan Al-Qur`an dengan menggunakan pendapatnya sendiri, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya yang terbuat dari api neraka”. At-Tirmidzy menyatakan bahwa hadits ini hasan dan sahih, meskipun Al-Hafidh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini lemah atau dlo’if. Beliau yang mana yang kupercaya dan kuambil pendapatnya?
Itulah sebabnya aku bertanya kepada Allah dan Baginda Rasulullah. Sebab ini urusan tempat duduk yang terbuat dari api neraka. Itu simbolisme yang membingungkan: kalau tempat dudukku terbuat dari api neraka, bagaimana mungkin aku jenak duduk di atasnya. Dan kalau diketahui bahwa orang tidak bisa duduk di atas api, maka kenapa formula hukumannya adalah tempat duduk?
Meskipun hatiku menjadi waswas untuk menggunakan logika, tetapi tak bisa kuelakkan pikiranku yang mengatakan bahwa tidaklah logis kalau aku tidak takut pada kursi api neraka. Sebagaimana tidak logis juga kalau karena para Ulama banyak bertentangan pandangan satu sama lain, lantas aku tidak berlari untuk langsung memohon jawaban kepada Allah dan Baginda Rasulullah.
Andaikan kepercayaan mutlakku hanya terhadap jawaban Allah dan Baginda Rasulullah adalah keputusan yang lemah, karena merupakan hasil dari logika, sungguh aku tidak punya kemungkinan lain kecuali menolak pemutlakan kecuali terhadap Allah dan Baginda Rasulullah. Aku mengharamkan diriku menyama-derajatkan ucapan para Ulama dengan maqamat firman Allah dan sabda Baginda Rasulullah.