Tadabbur Pola-pola Daur Sejarah
Ketika membaca Daur II-206 – Tiga Bencana Besar, saya mendapat pengetahuan yang benar-benar baru tentang sosok pemuda Wali Kubro. Betapa kagumnya saya kepada perjuangan Kanjeng Sunan Kalijaga. Mbah Nun sendiri memuji perjuangannya dalam Daur II-219 – Seratus Orang Sekian Generasi — perjuangannya “mungkin hanya bisa dibandingkan dengan perjuangan seratus orang dalam beberapa generasi”.
Ya maklum saja, sebagai orang yang dilahirkan di Cirebon Jawa Barat, nama Syaikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati terdengar lebih akrab di telinga saya daripada nama Sunan Kalijaga. Pengetahuan saya tentang Sunan Kalijaga hanya sebatas ketika beliau dan Raden Sepat –salah satu punggawa Majapahit– diminta oleh Sunan Gunung Jati untuk mengarsiteki pembangunan Masjid Agung Kasepuhan atau Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Disebut-sebut bahwa masjid ini adalah versi feminim dari Masjid Agung Demak yang lebih maskulin. Persamaan di antara keduanya adalah menggunakan ‘saka tatal’ khas Sunan Kalijaga. Yaitu tatal atau potongan-potongan kayu yang dibentuk persis menyerupai tiang-tiang penyangga bangunan masjid lainnya.
Atas saran Sunan Kalijaga masjid ini tidak menggunakan memolo, melainkan menggunakan atap limasan. Rata. Tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang lebih rendah. Filosofinya bahwa tidak ada manusia yang unggul dibandingkan manusia yang lain. Ini sejalan dengan nasehat Mbah Nun di Maiyahan-maiyahan bahwa manusia hanya boleh mengungguli atau mentakabburi dirinya sendiri. Menggungguli nafsu dan masalah, tetapi tidak untuk mengungguli orang lain.
Berkaitan dengan tulisan Daur yang bertema sejarah, sudah sangat sering Mbah Nun mengingatkan, sampai-sampai hapal di luar kepala bahwa sejarah itu berulang, berdaur. Semacam siklus dengan pola-pola yang sama, meski tentu saja dengan pemain-pemain dan bentuk yang berbeda.
Sejarah menjadi teramat penting dalam perjalanan peradaban suatu bangsa. Ia bisa berguna sebagai pelajaran hidup, mengungkap jati diri suatu bangsa, juga bisa sebagai bahan perenungan atau instropeksi diri agar tidak menjadi keledai lestari yang selalu jatuh pada lubang yang sama.
Mengikuti Daur dan membacanya setiap hari membuat hidup saya menjadi lebih waspada dan juga menjadi rajin untuk mencari dan menggali apa yang menjadi isi atau daging buah dari pelok yang Mbah Nun tanam. Khusus Daur tentang tema “Tiga Bencana Besar” sampai “Ahlul Gua Sirna”, tulisan beliau seolah me-recall ingatan saya, menyuruh untuk segera menulis atau setidaknya mendata sedapat-dapatnya pola-pola dari daur sejarah sejak kedatangan bau busuk dari Barat yang oleh Kanjeng Sunan Kalijaga menjadi ancaman besar kedua dan mencari keterkaitannya dengan situasi dan kondisi saat ini. Menjelmalah saya menjadi Seger yang cekatan mendata dan mencatat pola-pola peristiwa sejarah.
Sedikitnya ada tiga hal yang saya dapatkan dan akan saya kemukakan tentang peristiwa sejarah pada zaman kolonial, yang mungkin ini menjadi awal terjadinya atau sebab berulangnya pola-pola yang sama dengan situasi dan kondisi saat ini.
Tanah dan Kesewenang-wenangan
Adalah tanah partikelir, tanah yang mula-mula muncul ketika Jayakarta jatuh ke tangan Kumpeni kemudian berganti nama menjadi Batavia. Tanah partikelir dijual tidak hanya tanahnya tetapi juga penduduk di dalamnya. Seperti negara di dalam negara. Di tanah partikelir itulah sering terjadi kesewenang-wenangan oleh para tuan tanah dan pejabat setempat. Walaupun pejabat tersebut merupakan orang pribumi tetapi seringkali kepentingan pemodal, eh… tuan tanah maksud saya lebih diutamakan dibanding kepentingan petani.
Ditambah lagi ketika Gubermen Hindia Belanda memberlakukan UU Agraria yang memberikan Hak Erfpacht, semacam Hak Guna Usaha kepada para pemodal asing. Hak tersebut menggusur tanah pertanian rakyat karena adanya asas domein verklaring bahwa tanah yang tidak bisa dibuktikan milik seseorang dianggap milik negara, dan negara berhak melemparkan hak pengelolaan kepada para pengusaha.
Rakyat pribumi tidak bisa bersaing banyak dengan orang-orang kaya Eropa dan Tionghoa, sehingga tanah sering kali menjadi sumber konflik, oleh karena tanah dikuasai oleh perusahan-perusahaan asing dan penduduk pribumi dijadikan buruh. Pola semacam ini tidak hanya terjadi saat zaman Kumpeni, tetapi berulang-ulang, berdaur sampai saat ini. Rakyat pribumi semakin kehilangan kedaulatan atas tanah airnya sendiri. Kalau meminjam lirik lagunya Mas Leo Kristi, “Padi-padi telah kembang, ani-ani seluas padang, tapi bukan kami punya”.
Minoritas perantara
Dalam masyarakat yang multi etnis, selalu ada etnis yang menduduki status perantara (middle status) di antara kelompok dominan yang berada di puncak kekuasaan dan kelompok subordinat yang berada di bawah. Golongan minoritas perantara tersebut sering berfungsi sebagai mediator antara kelompok yang dominan dan kelompok subordinat. Mereka biasanya menduduki bidang ekonomi, memainkan berbagai peran dalam mata pencaharian selaku pedagang, pemilik toko, rentenir, dan lain-lain. Mereka melakukan tugas-tugas ekonomis yang bagi kelompok dominan yang berada di puncak kekuasaan dianggap sebagai hal yang dianggap kurang bermartabat. Sehubungan dengan posisinya tersebut, golongan ini sangat rentan terhadap permusuhan dari luar kelompok etnisnya, baik yang muncul dari kelompok dominan maupun subordinat. Ketika masa-masa tegang, merekalah yang otomatis menjadi kambing hitam alami. Sadar akan posisinya yang lemah secara politis, minoritas perantara akan memberikan loyalitasnya kepada siapapun yang bisa menjamin keselamatan mereka. Sehingga sulit untuk mengharapkan loyalitas total dari minoritas perantara.
Di Nusantara, sudah sejak lama golongan Tionghoa dimanfaatkan sebagai perantara sekaligus sebagai “mesin pencetak uang” baik oleh raja-raja maupun oleh Kumpeni. Ambil contoh misalnya, ketika berdirinya Kesultanan Yogyakarta, perlunya mengisi kekosongan kas keraton yang baru berdiri tersebut memanfaatkan jasa seorang kapitan Cina untuk menjalankan tugas sebagai penarik pajak gerbang tol. Terbukti dalam beberapa puluh tahun saja pajak yang disetorkan naik tiga kali lipat.
Kumpeni yang melihat bahwa orang-orang Tionghoa bisa menjadi penghubung antara mereka dengan orang pribumi, memanfaatkan kelompok ini dengan menjual berbagai macam Pacht atau hak pengelolaan kepada pengusaha-pengusaha Cina, seperti gerbang tol dan candu. Dengan dukungan penguasa, para pengusaha tersebut memeras rakyat dan menjadi sangat kaya karena kedudukannya. Oleh karena itu, golongan Tionghoa diposisikan menjadi minoritas perantara yang kedudukan ekonominya cukup mapan, tetapi secara politis dibenci oleh rakyat. Kedudukan seperti inilah yang memang diinginkan oleh Penguasa, mereka ingin menempatkan etnis Tionghoa sebagai perisai, atau kambing hitam jika suatu saat terjadi kerusuhan. Pola sejarah ini terus berulang, sampai yang terakhir terjadi saat pemilihan kepala daerah di Ibukota Jakarta.
Eits… Tunggu dulu. Saya tidak menggiring pembaca untuk menjadi anti-Cina, bukan pula bermaksud menggeneralisir bahwa semua orang Tionghoa itu sama. Di saat yang lain, fakta yang terjadi di Lasem banyak juga orang-orang Tionghoa yang membantu perjuangan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa. Tulisan ini sekadar tadabbur tentang daur sejarah, agar hidup menjadi waspada dan tidak terjerembab pada lubang yang sama.
Mereduksi peran Islam
Setelah berlakunya politik etis yang dicetuskan oleh Van Deventer, berdirilah sekolah-sekolah di berbagai daerah. Mereka (para pencetus politik) berusaha “menyadarkan”, dengan kata lain menanamkan pemikiran kepada pribumi untuk mengembangkan diri menurut model Barat. Bahwa pribumi adalah bangsa terbelakang, yang disebut maju dan modern adalah mengikuti jejak mereka dan tanpa disadari sedikit demi sedikit kita mulai kehilangan jati diri kita sebagai bangsa yang memiliki peradaban yang adiluhung.
Tidak perlu waktu lama, hanya dengan pendidikan setengah abad sudah cukup untuk memecah belah pemikiran dan aliran politik bangsa kita serta memutus akses dengan sejarah masa lalu. Coba tengok misalnya, ketika para Founding Fathers kita mengadakan sidang BPUPKI tentang bentuk negara, tidak ada satupun yang mengambil konsep dari sejarah leluhur-leluhur kita terdahulu. Kita sudah madep mantep meninggalkan masa silam.
Tapi ah, mungkin saya yang terlalu lebay mempersoalkan ini. Toh, apapun bentuk negaranya, yang penting seluruh rakyat Indonesia sama-sama makmur secara berkeadilan.
Di sepertiga awal abad ke-20 diwacanakan ordonansi atau peraturan tentang (ulama) guru. Mirip seperti wacana sertifikasi ulama beberapa bulan yang lalu. Seorang guru agama harus memiliki keterangan mengajar atau izin tertulis sebelum dia mengajar. Peraturan ini dimaksudkan untuk mengawasi aktivitas para guru agama yang selama ini menentang penguasa. Secara khusus dimaksudkan untuk membatasi gerakan guru-guru tersebut, tetapi secara umum dimaksudkan untuk menghambat kemajuan Islam. Dengan kata lain, pemerintah kolonial melalui kebijakannya tersebut bersikeras menolak peran Islam dalam kehidupan rakyat. Bisa kita lihat misalnya buku-buku karya Belanda lebih banyak menulis tentang sejarah-sejarah pra-Wali Songo dan paska Mataram Islam–mungkin perbandingannya satu berbanding seratus buku. Tentunya hal tersebut dimaksudkan untuk mencerabut akar-akar yang berkaitan dengan Islam.
Pola ini mungkin diawali oleh Amangkurat I, ketika ia menilai bahwa adanya ulama atau santri dalam pemerintahannya akan sangat berbahaya bagi tahtanya. Sehingga ia memerintahkan para punggawanya untuk melenyapkan para ulama di seluruh yuridiksi Mataram.
Ternyata ini sangat panjang, seperti diuraikan Mbah Nun dalam Daur II.
Datangnya para perompak dari benua lain, yang tujuannya tidak sekadar menjambret harta benda kekayaan alam Nusantara. Tetapi juga menjajah manusianya, menguasai politiknya, mengebiri keperwiraan prajuritnya, mengikis harga diri kebangsaannya. Sehingga tersedia segala persyaratan untuk memutus hubungan langit-bumi yang sudah berabad-abad menjadi karakter utama peradaban Nusantara” –Daur II-218 – Detauhidisasi.
Jakarta, 29 September 2017