Tabi’it Tabi’in Pangkat Seribu
“Sangat mudah dipahami bahwa tataran kebodohan dan keawamanku membuat tak siapapun mempercayai apapun yang kuimpresikan dari Al-Qur`an. Ayat-ayat Al-Qur`an saling menjelaskan satu sama lain. Saling menjadi rujukan tafsir satu sama lain. Padahal hanya berapa biji ayat yang pernah kusentuh?”
“Belum lagi sangat bisa diterima akal bahwa Al-Qur`an seyogyanya ditempuh pengertiannya melalui pedoman-pedoman dari Hadits dan Sunnah, rujukan para Sahabat Nabi, Tabi’in dan Tabi’it-Tabi’in. Terlebih lagi rasanya tak mungkin terjangkau berapa jauh dan panjang kata dan batas kualitas Tabi’ itu: Tabi’it Tabi’it Tabi’it Tabi’it Tabi’it Tabi’in? Bagaimana kalau kata itu seratus atau seribu kali lipat? Sehingga sampai pada seorang kuli pasar atau tukang becak? Jangankan lagi klausul bahwa untuk bersilaturahmi dengan Al-Qur`an kita harus menguasai Bahasa Arab serta berbagai Ilmu yang berkaitan dengan Tafsir, Asbabun-nuzul, Ilmu Naskh-Mansukh, Al-’Aaam wal-Khash, Al-Mujmal dan Al-Mubayyan...”
“Wahai Kanjeng Nabi, betapa mungkin Al-Qur`an terjangkau oleh keawamanku. Alangkah jauhnya Islam dari kebodohanku. Belum lagi aku disiksa oleh kenyataan berapa jarak antara memahami, memaknai, dengan menafsirkan. Kalau di pelosok dusun sekelompok Muslimin berjamaah shalat di Mushalla, apakah Imam maupun jamaahnya harus memahami seluk beluk Surah-surah yang dibacakannya? Kalau seorang tukang becak merasa berat mengayuh becaknya dan mengeluh “la haula wa quwwata illa billah” : apakah ia harus asbabun-nuzul-nya?”
“Sangat bisa dipahami bahwa Para Ulama menyatakan Al-Qur`an harus dipahami secara menyeluruh, tidak sepotong-potong. Tatkala Allah berfirman “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut Allah kepadanya, tergetar hatinya, dan jika dilantunkan ayat-ayatNya maka bertambahlah imannya” [1] (Al-Anfal: 2). Mungkin satu ayat-Nya saja, bisa menambah iman seseorang? Tak harus keseluruhan ayat-ayat Qur`an?”.