Syar’i, Halal, dan Saleh
Seangkatan dengan generasi Junit, Toling, Jitul, saya merasakan benar atmosfer perayaan kesalehan di abad ini sebagaimana pada Daur 243 – Perayaan Kesalehan. Semua produk berlomba-lomba menambahkan kata yang berbau keislaman, seperti “halal”, “syar’i”, “sesuai syariah”. Ini menyebabkan saya bertanya-tanya apakah jika saya tak memakai produk itu maka saya tak sesuai syari’ah dan apakah produk yang saya beli ini haram.
Sekolah-sekolah dengan label “Islam plus”, “berbasis Islam”, “anak saleh” bertebaran dan bermunculan dimana-mana. Sebagai seorang yang ingin berkecimpung di dunia pendidikan, atmosfer itu tidak terelakkan. Hal itu bukan sebatas slogan karena sekolah ingin memperoleh banyak murid, karena para orang tua berambisi tinggi untuk mensalehkan anaknya. Rekrutmen guru pun sangat ketatnya untuk memaksakan guru menjadi seorang yang saleh. Wawancara guru tak lagi substansial apakah guru bersedia menemani murid-murid menemukan bahan belajarnya sendiri, tetapi juga menyangkut privasi ibadah seperti shalat tahajud dan rawatib.
Orang tua sibuk memasukkan anaknya ke sekolah Islam dan membuat anak semakin jauh dari adat budayanya demi tuntutan agama yang hanya dari permukaan atau penampilan. Anak anak dipaksa orang tuanya mengenakaan atribut islami, peci, surban, jubah, jilbab semenjak bayi, yakni sebelum ia mampu membedakan yang baik dan buruk, sehingga di saat dewasa ia pun belum bisa menemukan dan berpikir mengapa ia harus seperti itu. Ketika ia ingin mencoba menemukannya, yang ia dapat hanyalah tumpukan ayat-ayat dan naskah-naskah yang memaksanya untuk beratribut Islam. Orang tua juga memaksakan anaknya ikut lomba pidato, baca Al Qur`an, kaligrafi, dan menghafalkan Al Qur`an.
Ceramah-ceramah tak lagi menentramkan hati. Sebab tujuan ceramah kebanyakan agar dianggap sebagai orang saleh, atau ingin populer, atau ingin dianggap hebat. Tidak lagi kita dapat menyimpulkan bahwa orang yang sering berceramah adalah orang yang dapat kita teladani. Banyak kasus sudah terbongkar maupun belum terbongkar. Kalau sudah begini membuat saya semakin tidak ingin menonton dan mendengar acara-acara ceramah di televisi, radio, dan dimanapun. Padahal sebelum era generasi saya dan Junit Toling Jitul, yang terjadi adalah sebaliknya. Mauidloh hasanah dulu masih merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu dan masih bisa membuat tentram hati.
Hari ini, tujuan ibadah dipampang di mana-mana, yaitu agar rezeki lancar, mendapatkan anak saleh, dan bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan ruhaninya. Orang-orang “bukan santri” semakin terpojok, malu, menyesal, dan merasa bersalah mengapa tidak menjadi bagian dari santri sedari dulu. Yang mana diklaim sudah teruji bahwa santri adalah seorang dekat dengan kebenaran. Apalagi beberapa pesantren sudah mengklaim bahwa hanya pondok pesantren yang dapat memenuhi tuntutan zaman yang semakin tak karuan. Padahal, orang bukan santri ini bisa jadi lebih ikhlas karena mereka rela dianggap awam, dianggap bodoh, dipaksa diam, dan mendegarkan ceramah.
Dalam artikel “Daur Pancasila dan Tajalli Tuhan” tertulis bahwa kita hendaknya kembali menengok apakah kita benar-benar berpijak kepada sila ke-1. Kita syukuri memang kita sedikit demi sedikit “mendekat” ke pasal 1 tersebut. Tetapi semakin hari mengapa kehadiran Tuhan itu disempitkan menjadi hanya sebuah merk, nama, lambang, simbol, julukan, dan atribut.
Bersyukur dan beruntunglah di saat Islam di-merk-kan ini saya menemukan Maiyah. Kegelisahan, kesumpekan, kejenuhan melihat ini semua dapat tercairkan dengan membaca tiap edisi daur, dan rubrik-rubrik lain di caknun.com. Meskipun saya tak bisa mengikuti Maiyah secara langsung ataupun YouTube karena keterbatasan, tetapi kehadiran website ini dapat mendetoks dan menyaring segala kejenuhan terhadap ambisiusitas kesalehan generasi saya dan Junit Toling Jitul. Semoga website ini dapat terus menemani dan mencerahkan generasi ini, sehingga generasi selanjutnya dapat merayakan kesalehan tak hanya luarnya saja, tetapi juga isi atau substansinya.
Mojokerto, 05 Januari 2017