Subjek Pengharaman
Dalam catatan dan ingatan semua sahabat-sahabat Markesot, yang didengar oleh Junit dan teman-temannya — tekanan utama wanti-wanti Mbah Sot adalah bahwa manusia sebaiknya sejauh mungkin menghindar dari kesombongan untuk mempasti-pastikan sesuatu yang belum tentu pasti. Memutlakkan sesuatu yang relatif.
Sejarah pemelukan Islam yang penuh oleh perseteruan antar madzhab, aliran, golongan, dan perbedaan antar pemahaman — sesungguhnya merupakan konstelasi peperangan pemikiran antara orang-orang atau golongan-golongan yang di tangannya membawa kepastian-kepastian.
Satu aliran mengharamkan sesuatu, lainnya menghalalkannya. Satu golongan memakruhkan sesuatu, lainnya memubahkannya. Satu kecenderungan membid’ahkan sesuatu, lainnya melepaskannya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Padahal, menurut Mbah Sot, posisi masing-masing dan semuanya adalah “mudah-mudahan”, “semoga”. Mudah-mudahan pendapatnya benar, semoga pendapat yang lain tidak salah.
Bahkan dengan bekal kerendahan hati di antara sesamanya, serta tawadlu’ di hadapan Allah, suatu golongan bisa memosisikan diri pada kecenderungan untuk lebih menyalahkan dirinya dibanding menyalahkan yang lain. Jadi: semoga pendapatku yang salah, dan pendapat yang lain yang benar. Itulah semangat mencari kebenaran, bukan fanatisme dan kekerdilan mempertahankan pembenaran atas dirinya sendiri.
“Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu. Kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Penyayang” [1] (At-Tahrim: 1). Bahkan Nabi ditegur langsung oleh Allah jika menggampangkan pengharaman atas sesuatu hal. Apalagi para sumber primer, yakni para Ulama yang pada generasi berikutnya dimadzhabkan oleh para pengikutnya, sangat menunjukkan kerendahan dan toleransi satu sama lain. Para Ulama itu sama sekali tidak pernah bermaksud membikin madzhab. Kebenaran yang diyakini oleh seorang Ulama, tidak serta merta merupakan klaim bahwa pendapat Ulama lain itu salah.