Spartanitas U-19 dan Realitas Sepakbola Indonesia
Sepakan Teerapat Laohabut dari titik putih sukses mengecoh Aqil Savik memastikan lolosnya Thailand U-19 ke babak Final turnamen Piala AFF U-18 2017. Sejenak kemudian sorotan kamera tertuju pada para pemain Indonesia U-19 yang tertunduk lesu, bahkan hampir seluruhnya meneteskan air mata. Saya menonton mereka dari layar televisi bersama seorang teman di Kenduri Cinta yang tidak paham-paham amat tentang bola.
Melihat raut wajah kekecewaan Egy Maulana Vikri dkk, saya kembali teringat bagaimana Evan Dimas dkk juga pernah mengalami hal yang sama pada gelaran Piala Asia U-19 tahun 2014 silam. Betapa berat beban yang harus mereka emban, ekspektasi 250 juta lebih rakyat Indonesia untuk menjadi juara di turnamen ini. Anak-anak yang baru saja memasuki masa-masa pubertas, usia ketika sebenarnya berhak mereka nikmati untuk bersenang-senang, bersenda gurau dengan teman mereka di café, nonton bioskop bersama kekasih mereka, tetapi mereka memilih untuk berjuang membela panji merah putih di kancah internasional melalui sepakbola.
Tak usah lagi kita pertanyakan nasionalisme adik-adik U-19 ini. Mereka tak perlu mengikuti program bela Negara, apalagi harus mengikuti Seminar Pancasila untuk membuktikan Nasionalisme mereka. Andaikan pun sekarang masih ada program Penataran P4, mereka tak perlu mengikutinya untuk membuktikan betapa Nasionalisnya mereka ini.
Mari kita berbicara fakta 90 menit bagaimana adik-adik U-19 asuhan Coach Indra Sjafri ini menampilkan permainan sepakbola yang sangat Spartan. Bahkan, ketika harus bermain dengan 10 orang pemain di 45 menit babak kedua, skema permainan mereka begitu cair, tidak berubah sama sekali. Berkali-kali pertahanan Thailand berhasil ditembus hingga kotak pinalti, beberapa kali situasi one on one didapat oleh adik-adik U-19 di depan gawang Thailand. Tetapi, Kantaphat Manpati memang harus kita akui ketangguhannya di bawah mistar gawang Thailand. Berjibaku ia menggagalkan setidaknya delapan peluang tepat sasaran yang dilancarkan Egy Maulana dkk. Bahkan ketika adu pinalti pun, ia mampu menepis 3 tendangan pinalti adik-adik U-19.
Kalah dan menang adalah keniscayaan dalam sebuah pertandingan sepakbola. Dan tidak ada yang mampu memastikan kalah atau menang sebelum melakoni 90 menit pertandingan di lapangan hijau. Bahkan, akurasi umpan, jumlah tendangan mengarah ke gawang, hingga berapa gol yang akan dicetak pun tak ada satu pun pemain sepakbola yang bisa memastikan. Bahkan kartu merah yang harus diterima oleh Saddil Ramdani di pertandingan kemarin pun tidak direncanakan sebelumnya baik oleh Saddil sendiri maupun oleh Coach Indra Sjafri. Begitu juga dengan kekalahan adu pinalti dalam pertandingan melawan Thailand pun demikian. Siapa pula yang merencanakan untuk kalah dalam sebuah pertandingan besar seperti kemarin?
Dan selalu, kekalahan dalam sebuah turnamen kompetitif adalah sesuatu hal yang menyakitkan. Tetapi, melihat bagaimana adik-adik U-19 meneteskan air mata di lapangan juga menyentuh hati kita. Betapa kita telah menitipkan beban yang teramat berat di pundak mereka, beban yang sebenarnya juga belum tentu kita mampu memikulnya.
Mereka adik-adik U-19 adalah generasi baru yang telah lahir untuk masa depan sepakbola Indonesia. Mereka adalah generasi yang Coach Indra Sjafri beserta staf pelatih yang mencarinya sendiri. Allah membimbing Coach Indra Sjafri untuk bertemu dengan Egy Maulana Vikri, Witan Sulaeman, Muhammad Riandy, Rachmat Irianto dan pemain-pemain lainnya yang tergabung dalam skuad Tim Nas U-19 ini. Coach Indra Sjafri telah mendobrak tradisi seleksi pemain Tim Nasional Sepakbola Indonesia, dan sejauh ini Coach Indra membuktikan kecemerlangan talent-scouting yang ia lakukan selama ini.
Dan inilah realitas sepakbola kita hari ini. Anda semua bisa membandingkan bagaimana kualitas turnamen liga domestik di Indonesia, jika pemain-pemain Indonesia yang berlaga di Liga Indonesia saat ini dipilih 11 pemain terbaiknya, kemudian diadu dengan adik-adik U-19 asuhan Coach Indra Sjafri, kualitas adik-adik U-19 saya kira tidak kalah, bahkan bisa jadi adik-adik U-19 unggul di segala lini.
Seorang teman saya yang juga penikmat sepakbola menulis sebuah postingan di media sosial miliknya. Menurutnya, sepakbola modern bukanlah sebuah cabang olahraga yang hanya mengandalkan skill semata. Seorang pemain sepakbola juga dituntut memiliki kemampuan IQ yang baik. Lebih dari itu, sisi emosional pemain pun juga menentukan kondisi psikis ketika ia bermain di lapangan. Menurut teman saya itu, seorang pemain sepakbola harus memenuhi unsur; Nalar, Naluri, dan Nurani. Bahkan persoalan mendasar yang harus dimiliki oleh seorang pemain sepakbola selain skill adalah karakter, pengusaan diri (emosi). Dan untuk menunjang itu semua, diperlukan dukungan dari banyak pihak untuk membina pemain sepakbola, sehingga menghasilkan pemain-pemain yang berkualitas. Dan saya melihat Indonesia masih sangat jauh dari itu.
Tetapi, melihat apa yang telah dilakukan oleh Coach Indra Sjafri, kita memiliki masa depan sepakbola Indonesia. Tinggal bagaimana PSSI sebagai federasi sepakbola Indonesia melihat peluang emas ini. Coach Indra Sjafri hanyalah menjalankan tugas yang sudah diamanatkan kepadanya, dan ia melakukannya dengan sepenuh hati.
Menyikapi kekalahan adik-adik U-19 kemarin, saya kembali teringat penutup esai Cak Nun yang berjudul “Siap-siap Kalah” yang terangkum dalam buku Bola-Bola Kultural. “Bagi Anda para fanatikus sepakbola siapkan diri untuk kalah. Sebab, kesiapan untuk menang sudah dikerjakan oleh naluri, tak usah Anda rancang. Amat susah untuk kalah. Menang itu gampang”. Saya memahami kalimat tersebut dengan; betapa kita sangat mudah menyikapi kemenangan, tetapi belum tentu kita telah siap menyikapi kekalahan yang kita terima. Bukankah Allah sudah menyatakan dalam Al-Qur`an; Wa ‘asaa an takrohu syaian wa huwa khoirun lakum, wa ‘asaa an tuhibbu syai’an wa huwa syarrun lakum.