Sinau Bareng Milad FPSB UII
Ini adalah zaman di mana kehancuran itu mencapai puncaknya sedemikian rupa. Kebenaran tidak bisa dengan mudah ditangkap dalam berlapis-lapisnya fenomena manusia. Parameter-parameter berjungkir balik. Kebenaran-kebenaran justru saling bertentangan secara vulgar dan aneh.
Generasi yang hidup di masa yang demikian itu, bagi Mbah Nun justru sangat beruntung karena tidak punya pilihan lain selain membangun kebaikan dan cara hidup baru, sebab kehancuran itu tidak logis berlangsung terus. Itulah generasi sekarang. Termasuk para mahasiswa UII yang berkumpul malam ini di pelataran barat Masjid Ulul Albab UII.
Setting “kehancuran nilai” inilah yang melandasi Mbah Nun untuk menegaskan optimisme dan keyakinan bahwa merekalah yang kelak akan memimpin di masa depan dengan kualitas yang baru. Dengan terminologi ulil albab dalam tema Sinau Bareng Mbah Nun mengapresiasi bahwa mahasiswa FPSB sedang mempersiapkan negara dengan kelengkapan-kelengkapan yang tidak ada pada kepemimpinan sekarang ini.
Malam ini Mbah Nun dan KiaiKanjeng hadir di Kampus UII Jalan Kaliurang KM 14 Yogyakarta untuk memenuhi undangan Sinau Bareng dalam rangka Milad Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII ke-22 sekaligus Milad ke-74 serta dalam rangka menyambut datangnya Bulan Ramadhan.
Pada awal acara kita mendengarkan sambutan yang sangat rendah hati dari Dekan FPSB Arief Fahmi, “Meskipun digelar di sini, sebenarnya kita bukan tuan rumah, Cak Nun dan KiaiKanjenglah tuan rumahnya dan kita yang bertamu kepada Beliau untuk bisa sinau, tetapi dengan kerendahan hati Beliau, perjumpaan ini dipandukan menjadi Sinau Bareng alias belajar bersama.”
Terminologi Sinau Bareng yang diintroduksi oleh Mbah Nun dan KiaiKanjeng pelan-pelan semakin dikenal dan dipahami oleh banyak kalangan. Dan tidak sulit dipahami bahwa konsep itu diserap oleh Pak Dekan FPSB UII Yogyakarta. Tidak boleh dilupakan juga bahwa para mahasiswa UII ini merupakan salah satu yang setia hadir di Mocopat Syafaat.
Kita menyaksikan di sini suasana yang asik dan nikmat. Para mahasiswa yang merupakan generasi yang lahir dari rahim zaman yang penuh kemajuan dan berlimpahnya kesejahteraan ngaji atau sinau bareng dengan concern kepada nilai-nilai dan hal-hal mendasar dalam kehidupan. Bagaimana tidak Mbah Nun memberikan selain keyakinan dan optimisme akan Indonesia yang lebih cerah. Sinau Bareng terasa sebagai thariqat untuk “nyawuk” mutiara dari zaman yang dipenuhi oleh runtuhnya nilai-nilai kehidupan bahkan yang paling elementer sekalipun.