Simpan Dulu Sila Pertama
Sebelum saya ketik tulisan ini, ada teman yang mencegat dengan pertanyaan yang meneruskan pertanyaan anak saya kemarin: “Apakah tulisanmu ini bermaksud ngomongin Indonesia, atau urun mengatasi masalah Indonesia?”.
Saya japri dia: “Menurut Sampeyan apakah Indonesia bisa diomongin? Apakah ada yang didengarkan oleh Indonesia selain nafsu dan kepentingannya masing-masing? Apakah Indonesia sudah mengerti kebenarannya dan menyatakannya secara nasional? Kalau makhluk belum matang kebenarannya, apakah Sampeyan berani mengharapkan darinya kebaikan, keadilan, dan kebijaksanaan? Apakah menurut Sampeyan Indonesia berpendapat bahwa ia punya masalah? Apakah ia merasa sakit dan sedang berobat? Kalaupun dia sadar sedang sakit, berobatnya pasti ke pihak yang justru memberinya penyakit…”
“Jadi?”
“Tidak. Saya tidak ngomongin Indonesia. Apalagi urun mengobatinya. Semua tulisan tentang Indonesia ini sekadar setoran pribadi saya kepada pihak satu-satunya yang punya kemampuan untuk menyembuhkan Indonesia. Saya melangkah berjalan di tengah riuh rendah Indonesia ini, tetapi yang saya lakukan adalah perjalanan kesunyian yang sangat privat. Saya sudah dua tahun berada di depan pintu rumahnya. Hanya dia yang bisa mengatasi masalah Indonesia, dan saya bersila, membungkuk, memohon kepadanya…”
Setoran saya hari ini: Seandainya untuk sementara kita anggap tidak ada Sila Pertama, insyaallah (lho kok pakai insyaallah, katanya Sila Pertama dianggap tidak ada): Indonesia bisa tetap bercahaya dan (entah di dunia atau akhirat) menjadi mercusuar dunia.
Asalkan bangsa Indonesia, terutama Pemerintahnya, adalah manusia beneran. Manusia sungguh-sungguh. Sungguh-sungguh manusia. Bukan ayam dan musang berakal, karena meskipun berakal tapi tetap ayam dan musang. Bukan pula lintah penghisap darah, atau heyna predator, atau tikus pemakan apa saja, dari roti, besi, karat, hingga kepala dan nasib manusia.
Andaikan tidak ada Tuhan sehingga tidak ada pernyataan “mereka itu seperti hewan, bahkan lebih hina” — tetap tidak sukar menemukan fenomena itu, bahkan mungkin kita ini sendiri.
Tetapi pada hakikatnya manusia itu potensial untuk adil dan beradab sebagaimana disebut oleh Sila Kedua. Lantas menyaring calon kepemimpinan di Sila Ketiga, mengaplikasi pengelolaan Negara di Sila Keempat, kemudian mencapai goal Sila Kelima.
Katakanlah manusia berpendapat bahwa dirinya adalah hasil ciptaannya sendiri, bukan anugerah Tuhan, hingga mantap merasa punya Hak Asasi Manusia. Tak apa. Asalkan manusia berperilaku sebagai manusia, maka Catur Sila saja cukup untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kalau batu, gunung, kerikil, padang pasir, hutan rimba, angin dan cahaya, tidak mungkin gagal. Alam tidak salah, meskipun kalau ia benar: kebenaran itu bukanlah yang mereka upayakan dan sadari. Alam sepenuhnya merupakan bagian dari organisme yang solid dan utuh. Mereka pasti benar pada organisme itu. Gunung tidak jahat dengan letusannya dan air tidak kejam dengan hempasan banjirnya. Hanya kepentingan manusia yang membuat mereka disebut bencana.
Kayu, logam, tanah dan air tidak terancam akan masuk neraka, atau tergiur untuk masuk sorga. Karena mungkin mereka sendiri adalah komponen sorga: sungai mengalir di bawahnya, sungai susu, kebun berwarna hijau tua, cahaya berpendar-pendar memancarkan keindahannya.
Atau lupakanlah sorga dan neraka. Karena yang utama dalam Catur Sila adalah memastikan setiap manusia berlaku sebagai manusia. Rakyat berlaku tidak sebagai kumpulan kambing ternak. Pemerintah berlaku tidak sebagai binatang buas pemangsa. Pelaku media massa bukan hewan pemakan bangkai. Medsosnya bukan makhluk Ahmaq yang kalap. Konglomerat tidak berperilaku Iblis, pejabatnya bukan Dajjal. Politisinya bukan lintah. Ulamanya pembelajar alam, fisika, biologi, mekanika, IT, logika, antropologi, sosiologi dll.
Setiap manusia memastikan dirinya berperilaku manusia. Berakal manusia, berhati manusia, berperasaan manusia, berkepekaan dan kecerdasan manusia, berdaya kreatif dan inovatif manusia, serta berkelembutan dan kemurahan jiwa manusia.
Memang agak mengherankan bahwa di dalam khazanah nilai peradaban manusia dewasa ini — kalau orang berbuat buruk, berdusta atau melakukan korupsi, bahkan kalap dan membunuh: disebut “manusiawi”. Sementara kalau manusia berbuat baik, memperjuangkan kesucian diri, menyebarkan kemashlahatan tanpa kepentingan: itu disebut “malaikati”.
Bahkan kalau rajin beribadat, dituding sok suci. Kalau ketahuan berbuat mulia, dituduh gila pujian. Kalau benar-benar memimpin, dan bukan berkuasa, dicurigai sebagai setengah dewa atau sok ke-malaikat-malaikat-an. Kalau ada manusia Zahid yang keputusan hidupnya penuh zuhud (tidak menomorsatukan ego dan keduniaan), sampai lebih setengah abad ia setia pada prinsipnya itu — tetap khalayak menyimpulkan “tidak mungkin ada manusia seperti itu”.
Entah bagaimana asal-usul alamiahnya atau proses pengalaman sejarahnya, sehingga manusia tidak percaya kepada manusia. Manusia merendahkan potensi kemanusiaan. Manusia mengejek ketulusan hati manusia. Manusia melecehkan keikhlasan hidup manusia. Manusia meremehkan niat baik manusia. Manusia bersikap sombong kepada kebaikan. Manusia menghina kepolosan jiwa. Manusia menghardik fithrah atau kefitrian. Manusia membuang jauh-jauh khittah orisinal kemanusiaan.
Maka renungkan untuk simpan dulu Sila Pertama. Sementara konsentrasi berlatih jadi manusia, seperti Muhammad remaja hingga 40 tahun: belum ada Al-Qur`an tapi lulus Sarjana Kemanusiaan bergelar Al-Amin: yang sangat bisa dipercaya.
Jangan libatkan Tuhan dulu. Sebab Tuhan itu benar-benar Maha Kuasa. Kalau penghinaan yang kita lakukan kepada ciptaan-Nya sampai pada tingkat Tuhan sendiri merasa dihina, apa kita siap menghadapi tindakan-Nya. Apalagi kalau kekasih-Nya disakiti dan kehidupan dimunafiki. Ya kalau sekadar ditabrak mobil di depan rumah sendiri, mbrodol usus, kaku lidah, pethot mulut atau pètor kaki. Tapi kalau 18 gunung berparade wahing, gimana dong. Saya tidak bilang itu “iya”, tapi jangan pernah bilang “tidak”.