Sikap Lembut Terhadap Al-Qur`an
“Maka hendaklah kita semua membiasakan diri bersikap lembut terhadap Al-Qur`an”, kata Cak Sot pada suatu malam kepada Tarmihim dan sejumlah temannya, beberapa lama sesudah Cak Sot menemui Saimon entah siapa itu di ruang dalam Patangpuluhan.
Tentu saja mereka belum mengerti persis apa maksud Markesot. Tapi beberapa lama tak ada yang bertanya. Mereka semua menunggu, karena yakin penjelasan Cak Sot akan ada lanjutannya. Ternyata Cak Sot tidak meneruskan.
“Lembut bagaimana, Cak?”, akhirnya Sapron yang ketika itu tak sabar.
“Misalnya ambil saja tiga kemungkinan sikap”, jawab Cak Sot, “pertama, membuat ruang di dalam ruang pemahaman kita bahwa Al-Qur`an, dengan setiap suratnya, ayatnya, kalimatnya, bahkan kata dan hurufnya, bukanlah padatan-padatan. Kalau dalam komunikasi budaya kita kenal kata ‘batu’, maka jika Qur`an menyebut suatu kata: tidaklah ia mengandung pengertian padat dan baku sebagaimana pengertian budaya kita tentang batu”
Sapron merespon lagi, “Tapi kan ada kemungkinan bahwa terdapat kata yang memang baku di Al-Qur`an yang pengertiannya tidak jauh dari pemahaman baku dalam budaya manusia. Misalnya ‘syaithan’, ‘bumi’, atau ‘langit’, meskipun dalam tiga kata itu bisa juga terdapat kemungkinan konotasi dan pemaknaan lain yang sangat luas…”
“Memandang kemungkinan pemaknaan lain yang sangat luas itulah yang saya maksud dengan sikap lembut kepada Al-Qur`an”, jawab Cak Sot, “kalau Allah berfirman “Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi” [1] (Shad: 18), kita tidak boleh bersikap kaku dan padat dengan mambayangkan bertasbihnya gunung-gunung itu sama dengan cara dan perilaku tasbih manusia”.