Siapakah Selain Engkau
Hidup di dalam kurung beberapa puluh tahun ternyata tidak lantas membuat Mbah Sot menjadi tenang. Suara-suara gaduh dari luar parit tak henti melemparkan tuduhan-tuduhan yang menyalahkannya. Segala yang ia upayakan seakan selalu gagal berlangsung, atau sekurang-kurangnya selalu berlangsung tidak sebagaimana yang ia pikirkan.
Ia merasa tidak pernah mencapai kedewasaan dan kematangan hidup. Serta tak pernah sembuh dari merasa selalu sengsara dan menyalahkan dirinya sendiri. “Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan”. [1] (Fushshilat: 49). Keputus-asaan tidak berkurang meskipun secara naluriah ia sudah mencoba ber-Iqra` membela dirinya sendiri:
“Tingkat putus asamu atas Negeri Kegaduhan itu mencerminkan mendalamnya cintamu kepada Negerimu, serta menunjukkan kejernihan pikiran dan pandanganmu terhadap permasalahan-permasalahannya. Barang siapa tidak mengalami putus asa di tengah kegaduhan dan penyakit Negeri Kegaduhan ini, berarti ia tidak sungguh-sungguh mencintai dan memikirkannya”.
Dengan cengeng Mbah Sot berucap kepada-Nya: “Wahai Allah sesembahanku, tidaklah kepada rahmat-Mu putus asaku. Amat sangat melimpah kemurahan-Mu membahagiakan kami semua di dalam kurungan Khandaq kami. Putus asaku adalah putus asa atas ketidakberdayaanku terhadap kehidupan manusia. Siapakah selain Engkau yang mampu menyembuhkan penyakit yang memenuhi Negeri Kegaduhan ini. Seluruh ilmu runtuh, semua pengetahuanku luluh. Aku kehilangan keseimbangan. Sungguh setiap kali kumasuki detak-detik mengalirnya waktu-Mu: aku memohon hidayah-Mu”.