“Si Tampan” yang Masih Lebih Baik Karena Bingung dan Bertanya

Dengan diiringi tepuk tangan jamaah, Pak Sukriyanto AR dan Pak Mustofa W Hasyim meninggalkan panggung. Layar yang tadi dipakai menayangkan thriller film karya LSBO Muhammadiyah sudah diturunkan.
Mas Helmi dan Mas Jamal menepi, dan panggung kosong. Belum begitu jelas, apa yang akan berlangsung selanjutnya.
Tapi, dari arah belakang jamaah, seseorang berjalan menuju ke depan. Tak semua orang punya sudut atau angle buat melihat adegan ini secara langsung terutama yang berada di jalan utara maupun selatan, atau yang berada di samping kiri panggung.
Sampai benar-benar semua jamaah menyadari bahwa di atas panggung telah ada sosok manusia berambut gondrong hebat, lebat dan kelabu yang sudah mulai beraksi dengan komposisi gerak dan kata-kata.

Sosok di atas panggung itu bingung, bagaimana dia bisa ada di sini. Lalu kalau dia di sini, dia yang di sana mana? karena tadi dia ada di sana. Sosok di atas panggung itu kemudian memecah tanya, membelah-belah dia tiba-tiba seperti ada di mana-mana dan saling bertanya satu sama lain tentang siapa dirinya, sedang yang ditanya juga akan bertanya pada dirinya sendiri sesungguhnya mana yang diri sendiri?
Pada awalnya terasa sebagai hiburan yang menyenangkan untuk hadirin, namun lama-lama suara tawa makin lirih. Bukan karena sosok yang membelah-belah diri di atas panggung itu kurang lucu. Tidak. Hanya saja sepertinya para sedulur Jamaah mulai menyadari bahwa kebingungan sosok berambut perak di atas penggung itu rupanya mewakili banyak kebingungan diri mereka juga.
Pun adegan ini seakan mengingatkan pentingnya bangsa ini untuk punya rasa bingung, bingung yang membawa pada pertanyaan tentang jati dirinya, tentang asal-usulnya, tentang arah langkahnya, tentang siapa dirinya.
Pertanyaan berkembang, membelah diri dari satu yang tak terjawab melahirkan tanya dan kebingungan lain. Dan ending-nya, Gareng tak bisa mengelak bertanya, “Aku bingung bangsa Indonesia itu Garuda tapi kok emprit? Bangsa indonesia itu Gaaruudaa…. meong”
Lho kok meong? Lho kok langsung selesai? Sosok ini sepertinya belum tuntas dalam kebingungannya, tapi keburu menyudahi, dan pamit meninggalkan panggung. Seakan ia adalah sekelebatan makhluk yang datang menginterupsi pikiran jamaah, untuk bertanya dan mempertanyakan.
Jadi, siapa yang tadi di atas panggung itu? Oh, dia hanya sekilas memperkenalkan diri, namanya Gareng. Selidik punya selidik, Gareng ini dulu pernah ikut serta memerankan Tapel dalam pementasan drama Tikungan Iblis.

Gareng dulunya juga eksponen Teater Dinasti, dan saat ini ketika Perdikan Teater sedang punya gawe bedah naskah bersama Pak Fajar Suharno, Simon HT, Tanto Mendut, dan lain-lain, Gareng ada juga di dalamnya. Di situ, Mbah Nun menjawil Gareng buat hadir di tengah-tengah jamaah: mengingatkan kembali akan sesuatu yang sudah mereka mengerti, tapi mungkin bisa sedikit demi sedikit terlupakan, atau tersisihkan dari kesadaran.
Pak Sukriyanto AR yang tadi berbicara tentang seni dan budaya, mungkin mendapatkan apa yang diharapkan. Dari dalam rumah, Beliau boleh jadi menyaksikan suatu formula kesenian yang lain. Dan ini adalah peristiwa gayung bersambut yang tak terencanakan sejak awal, tapi terjadi dan berlangsung secara alami connected.
Tapi lebih dari sekadar momen kesenian dan kebudayaan, kehadiran Gareng justru mewartakan dirinya barangkali lebih “waras” dan sadar kahanan karena masih punya ruang-waktu dan kesungguhan untuk bertanya tentang hal-hal mendasar, sementara mungkin yang lain masih nikmat dan enggan meninggalkan zona nyaman (berlimpah kesejahteraan tapi sejatinya tak berdaulat, tak bermartabat, dan rela dijajah) walau sejenak pun. (Muhammad Zuriat Fadil)