CakNun.com

Shummun-Bukmun di Balik Seribu Lilin

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 6 menit

Pengantar buat Anak Cucu dan JM :

Jamaah Maiyah sudah lama melatih dialektika di rentang antara “yang tersurat dan yang tersirat”, “yang jahr dan sir”, “yang diungkapkan dan yang diauratkan”. Atau terminologi tentang probabilitas treatment Allah kepada manusia: “Hidayah, Indzar, Istidraj, Tark”, “Ujian, Peringatan, Hukuman” serta banyak lagi.

Sekian tulisan yang dilempar keluar dari Negeri Maiyah ke Negara Indonesia, mungkin feedback-nya tergambar di kalimat ini: “NKRI-mu itu disuntik dengan cairan ilmu, tidak mempan. Disuntik dengan kasih sayang dan kebijaksanaan, tidak mempan. Apa Azazil disuruh nyuntik dengan hawa panas kehancuran?” 

Kalau anak cucuku Jamaah Maiyah diridlai Allah untuk masuk kategori “Qoumun yuhibuhu wa yuhibbunahu” (Al-Maidah 54), insyallah ditempatkan oleh Allah secara khusus di wilayah “yuhibbuhu”. Tetapi betapa mengerikan kalau ternyata NKRI adalah pihak yang Allah nyatakan “Sama saja bagi mereka kamu beri peringatan atau tidak, tetap tidak percaya. Allah telah menutup hati dan telinga mereka, dan hukuman dahsyat untuk mereka. Mereka itu pekak, bisu tuli, dan tak bisa kembali dari keadaan itu…”

Maka berikut ini adalah pantulan dari tulisan Seribu Lilin Cinta, Persembahan Untuk Bangsa.

1.
Lega hatiku Pilkada Jakarta berlalu tanpa tetesan darah, meskipun masih tetap berlumur kebencian, dendam dan permusuhan. Rumahtangga Bangsa Indonesia sedang penuh hawa panas, demam dan amarah. Begitulah memang yang harus dilewati oleh semua keluarga yang sedang berproses memperbarui nikahnya, agar naik tingkat ke derajat kematangan baru dan kedewasaan yang lebuh tangguh.

Maksudnya sudah 71 tahun merdeka kita tidak mencapai kematangan dan kedewasaan sebagaimana yang seharusnya.

2.
Aku ucapkan selamat kepada rakyat Jakarta yang memiliki Ahok dan Anis, juga kepada bangsa Indonesia yang memiliki Jokowi, Prabowo, Habib Riziq, Gatot Nurmantyo, Ibu Begawan Megawati, dan banyak lagi. Saudara-saudaraku hidup dengan pikiran mantap, hati tenang, mental tangguh dan tekad baja — karena serasa dipimpin langsung oleh “Nabi” mereka, dalam mengabdi kepada Ibu Pertiwi dan Bangsa Indonesia.

Karena semakin jauh dari Tuhan dan para Nabi, padahal di dalam jiwanya sangat membutuhkan, maka kita serampangan mengambil siapa saja untuk dijadikan Tuhan atau Nabi.

3.
Saudara-saudaraku berhimpun di belakang idolanya masing-masing, tangan mengacung tinggi dengan teriakan “Merdeka!”. Mereka meyakini Kebenaran masing-masing. Sementara aku tidak berani dan dilarang menyatakan kebenaranku. Sebab Kebenaran adalah bekal masakanku yang letaknya di dapur. Sedangkan hidangan yang harus kusuguhkan adalah Kasih Sayang, Kebaikan, Keamanan dan Pengamanan, Kenyamanan dan Penggembiraan, serta ketepatan Nada dan Irama dalam Keseimbangan hidup bersama.

Kita tidak pernah mencari tahu bagaimana menata dan meletakkan secara tepat di mana kebenaran, kebaikan, keindahan, kasih sayang, dan keseimbangan di dalam pola perilaku kita.

4.
Tetapi aku bergembira saudara-saudaraku punya idola yang dikagumi dan tokoh yang ditakdzimi. Betapa bersinar hati bangsaku yang berpegangan pada Latta hari ini dan Uzza di masa depan. Siapapun pemimpin mereka hari ini, kemarin atau esok lusa, semua adalah representasi kuasa Tuhan buat rakyat Indonesia. Sebab tak ada yang ber-tajalli dan memanifestasi kecuali Ia. Itulah sebabnya hakikat itu dipasang sebagai Sila Pertama, meskipun tak perlu dipersoalkan dari mana pencipta Pancasila dulu kok bisa tahu bahwa Tuhan itu Maha Esa.

Kita sebenarnya adalah kaum Jahiliyah penyembah berhala Latta dan Uzza.

5.
Sementara aku sibuk belum merdeka dari diriku sendiri. Aku sedih tidak memiliki mereka semua idola-idola itu. Aku juga punya Tuhan dan Nabi, tapi alamatnya nun jauh di seberang kerinduanku. Habis waktuku utuk bertengkar melawan kebenaran di dalam diriku sendiri, sebab kami berdua sama-sama tidak mutlak. Tuhan Yang Maha Absolut bilang “Sampaikan kebenaran dari-Ku, biarkan yang mau percaya, silahkan yang mau membangkang”. Sesekali aku menyampaikan Kebenaran dari Tuhan, tetapi tak kuat hatiku untuk dipercaya, dan masih muncul amarah di batinku jika aku diingkari dinista.

Diam-diam atau terang-terangan kita akan terus saling menista di antara sesama manusia, karena tidak pernah mau tahu bahwa musuh sejati kita adalah nafsu di dalam diri kita sendiri.

6.
Aku turut berbahagia karena saudara-saudaraku aman sandaran dan harapan masa depannya. Aman hartanya dari korupsi, aman martabatnya dari penghinaan, dan aman nyawanya dari pembunuhan. Bahkan sinar cakrawala Demokrasi membuat siapa saja bisa menjadi apa saja. Setiap warga bisa menyiapkan biaya, persiapan jenis mental tertentu, serta mengemis kendaraan, untuk berjuang menjadi Presiden, Menteri, Gubernur, Penguasa atau apapun. Sementara aku adalah penakut yg berjuang menjadi diri sendiripun belum pernah jelas hasilnya. Nabiku bilang “kalau engkau yang berinisiatif menjadi pemimpin, Allah tidak melindungimu dan tidak mempertanggungjawabkan langkah-langkahmu”.

Demokrasi yang sedang kita jalani menghasilkan ancaman permanen terhadap keamaan harta benda rakyat dan Negara, terhadap martabat Bangsa dan manusia, juga tidak aman bagi nyawa di antara sesama warganegara. Tapi Demokrasi sudah terlanjur berposisi Tuhan Yang Maha Esa.

7.
Puji Tuhan bangsaku bergelimang modernisme dan kemerdekaan, berlaga dalam kompetisi karier, persaingan jabatan, lomba kekayaan, turnamen pencitraan dan pertandingan keunggulan. Bangsaku sangat mampu menikmati kemegahan dunia, mengenyam kesementaraan dan hologram-hologram kemewahan. Sedangkan hidupku dirundung rasa takut untuk kalah, tidak berani menang, sebab diriku sendiri yang sangat rewel ini belum benar-benar mampu kukalahkan. Kami belum pernah benar-benar siap untuk memasuki babak berikut sesudah kehidupan yang ini. Kami sangat sibuk berlatih dan mensimulasi untuk bersiaga menjalani hidup kekal abadi, yang kami tidak mungkin mengelak sama sekali.

Kita ini nafsu untuk terus dan selalu menang, tetapi tidak pernah mengolah makna dan manfaat kemenangan. Kita sangat tidak mau kalah, sangat ketakutan untuk kalah, tanpa pernah mau belajar apa sesungguhnya menang-kalah dalam kehidupan.

8.
Maha Esa Tuhan yang telah memperkenalkan bangsaku meneguhkan Bhinneka Tunggal Ika, pengakuan dan penerimaan bersama atas siapa saja penghuni Negeri Nusantara. Aku merasa aman, karena pasti termasuk di dalamnya, meskipun andaikan aku memeluk Agama yang tidak begitu disukai. Atau aku tidak sama dengan siapapun.  Atau tidak bertempat tinggal di koordinat nilai manapun. Bahkan aku dilindungi oleh Bhinneka Tunggal Ika meskipun andaikan aku hanya seonggok batu, sehelai daun, setetes embun, Jin, Setan, Hantu, air ataupun angin.

Kita tidak pernah sunguh-sungguh memahami proporsi antara bagian dengan keseluruhan, antara pecahan dengan keutuhan, antara Fakultas dengan Universitas, antara entitas dengan identitas, antara bumi dengan langit, antara dunia dengan akhirat. Sehingga kita bergerak dan berjuang untuk memonopoli NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Islam, Khilafah, bahkan Nabi dan Tuhan.

9.
Aku bersyukur saudara-saudaraku berjaya dengan kariernya masing-masing, duduk di kursi-kursi sejarah. Mereka adalah pejuang-pejuang nasional dan patriot-patriot bangsa. Sementara skala perjuanganku sangat sempit dan di dataran yang rendah, hanya berkaitan dengan sejumlah orang di seputarku. Aku mewajibkan diriku sekadar untuk mampu membesarkan hati siapapun di sekitarku, menjadi ruang kemerdekaan dari mereka, menyebarkan rasa nyaman dan teduh, bersama-sama berlatih untuk memiliki mental, akal dan batin yang tidak keder atau guncang ditimpa oleh keadaan macam apapun.

Sebenarnya yang kita tempuh adalah egoisme, egosentrisme, perjuangan untuk kepentingan pribadi, bekerja untuk “keuntunganku”. NKRI, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika untuk keuntunganku. Mengaku pegang amanah tapi jabatan untuk keuntunganku. Demokrasi, Pilpres Pilkada, Agama, Qur`an, Nabi, Tuhan untuk keuntunganku. Kalau ada keuntungan golongan, itu karena “aku” itu tidak sakti, sehingga bergerombol.

10.
Hatiku berbinar-benar menyaksikan saudara-saudaraku hidup kokoh dengan kebenarannya masing-masing. Sementara aku mengalami Bumi adalah suatu tempat di mana kebenaran kabur wajahnya. Dunia adalah suatu bangunan kimia nilai di mana kebenaran bisa berwajah kebatilan, dan kebatilan sangat mudah menyamar tampil sebagai kebenaran. Di Dunia ini Sorga seseorang adalah Neraka bagi lainnya, sehingga batal fungsinya sebagai Sorga. Maka tak pernah berani aku mensorgakan diriku, karena khawatir menerakakan orang lainnya. Yang berani kulakukan hanyalah sedikit mencipratkan komponen-komponen kecil yang membuat orang di sekitarku merasakan Sorga Dunia dan bergerak menuju Sorga Sejati.

Kita semua ini berpikir statis dan sok tahu tentang kebenaran. Tidak pernah membaca fakta “Alhaqqu min Robbika”, keniscayaan bahwa kebenaran itu baku milik Tuhan dan hanya sedikit dipinjamkan kepada manusia. Maka anjuran kepada manusia bukan “berbuatlah benar”, melainkan “berbuatlah, baik, amal saleh, pilihlah kemuliaan, pertahankan keseimbangan”.

11.
Lega hatiku saudara-saudaraku meneguhkan keyakinan bahwa “Ini Negara Pancasila, bukan Negara Agama”, “Ini Indonesia, bukan Jawa, Batak, Bugis, Sunda atau Madura”. Berdebar hatiku menantikan jalannya zaman di mana Indonesia akan menguburkan Agama, menumpas Jawa dan bukan-bukan lainnya. Kusimpan di lubuk hati kebenaran yang kudapatkan, bahwa Indonesia itu ya Bugis ya Tolaki ya Dayak dan semua kandungan sejarah yang membuat Indonesia ada. Bahwa Pancasila itu ya Hindu ya Budha ya Gatoloco ya Darmogandhul ya Islam ya Kristen dan semua yang menjadi sumber nilai sehingga Pancasila menjadi wujud nyata.

71 tahun Indonesia bergerak menjadi lebih buruk, lebih hancur, lebih kerdil, lebih miskin, lebih menderita, lebih tidak aman, lebih kampungan, lebih lebai, lebih sempit, lebih dangkal – salah satu sebabnya karena sejak awal salah memahami Bhinneka Tunggal Ika.

12.
Aku persembahkan seribu lilin cinta kepada bangsa Indonesia di seluruh Nusantara. Aku sangat mencintai kalian, bukan sekadar cinta. Cinta hanya kondisi batin, tetapi Mencintai adalah komitmen, pembuktian dalam kerja, serta ketulusan dan kesetiaan. Jika kalian bergembira, aku meneteskan airmata bahagia. Apabila kalian menderita, sangat berat menusuk hatiku dan seluruh jiwaku dipenuhi rasa tidak tega. Sedemikian tunainya cintaku kepadamu, sehingga jika kalian sakit, aku tak berani mengemukakannya, sebab khawatir membuatmu lebih terluka.

Sesungguhnya NKRI sedang sakit amat sangat parah, komplit, kompleks. Bagian-bagiannya sakit, keseluruhannya sakit. Dan penyakitnya yang paling parah adalah karena ia tidak tahu bahwa ia sakit. Bahkan marah dan terluka kalau dikasih tahu bahwa ia sakit. Maka Indonesia tidak mencari kesembuhan, melainkan terus- menerus memperparah sakitnya. Kalaupun ada yang sadar bahwa sakit, ia minta tolong tidak kepada yang punya kemampuan, yang menyayangi dan mengobatinya, melainkan kepada yang se-golongan dengannya, yang se-suku, se-agama, se-ideologi, se-partai, se-gerombolan, se-aliran – meskipun memperparah sakitnya.

Yogya 19-30 Mei 2017.

Lainnya

Revolusi Hulu-Hilir

Revolusi Hulu-Hilir

Mafaza lahir dan tumbuh di wilayah mataair peradaban modern dunia. Beda dengan Maiyah yang lahir di lembah tersembunyi di ujung Timur.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Yang Percaya, Percayalah Yang Ingkar, Ingkarlah

Yang Percaya, Percayalah
Yang Ingkar, Ingkarlah

Untuk anak cucuku Jamaah Maiyah saya meminta workshop Sinau Bareng Agustus-Oktober 2019 karena cinta saya mendorong mencarikan jalan, wilayah, sabil dan maqamat yang menurut saya minimal mudlaratnya untuk masa depan kalian.

Redaksi
Redaksi