Setetes Tinta Kekerdilanku
Yang benda saja pun, yang jasad dan kasat mata belaka pun, aku tak sanggup menjangkau biar hanya seserpih. Iqra`ku terbuntu.
Tak kunjung usai perdebatan tentang bumi ini bulat atau datar. Tentang kandungan yang sebenarnya ruang terdalam dari tanah yang kupijak. Tak terhitung jumlah debu dan zarrah tiada terhingga. Tak tersentuh bilangan terkecil dan tak terbayangkan angka yang terbesar, tertinggi atau terbanyak. Iqra`ku terbengkalai.
Manusia menyepakati satuan-satuan, namun ilmu dan pengetahuannya tak kan pernah menjangkau ujung ruang dan waktu yang manusia merekrut pemahamannya melalui satuan-satuan. Manusia dikurung di dalam penjara yang bernama cakrawala, angkasa, tak terhingga. Manusia berusaha meneropong jagat raya, yang terdekat dari keberadaan dirinya. Manusia memprasangkai tata surya, galaksi, satu ruang misteri alam semesta, kemudian diganggu oleh probabilitas bahwa jumlah alam semesta – yang satu sajapun tak terjangkau — itupun mustahil kalau hanya satu. Bagaimana jika ternyata tak terhingga pula. Demikianlah pencerapan akal dan ketakjuban jiwa serta rasa syukur kalbu.
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)” [1] (Al-Kahfi: 109). “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya. dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [2] (Luqman: 27).
Betapa kerdilnya aku. Setiap Iqra` mencerminkan kekerdilanku.