Seribu Lilin Cinta
Persembahan Buat Bangsa
1.
Lega hatiku Pilkada Jakarta berlalu tanpa tetesan darah, meskipun masih tetap berlumur kebencian, dendam dan permusuhan. Rumahtangga Bangsa Indonesia sedang penuh hawa panas, demam dan amarah. Begitulah memang yang harus dilewati oleh semua keluarga yang sedang berproses memperbarui nikahnya, agar naik tingkat ke derajat kematangan baru dan kedewasaan yang lebih tangguh.
2.
Aku ucapkan selamat kepada rakyat Jakarta yang memiliki Ahok dan Anies, juga kepada bangsa Indonesia yang memiliki Jokowi, Prabowo, Habib Rizieq, Gatot Nurmantyo, Ibu Begawan Megawati dan banyak lagi. Saudara-saudaraku hidup dengan pikiran mantap, hati tenang, mental tangguh dan tekad baja — karena serasa dipimpin langsung oleh “Nabi” mereka, dalam mengabdi kepada Ibu Pertiwi dan Bangsa Indonesia.
3.
Saudara-saudaraku berhimpun di belakang idolanya masing-masing, tangan mengacung tinggi dengan teriakan “Merdeka!”. Mereka meyakini Kebenaran masing-masing. Sementara aku tidak berani dan dilarang menyatakan kebenaranku. Sebab Kebenaran adalah bekal masakanku yang letaknya di dapur. Sedangkan hidangan yang harus kusuguhkan adalah Kasih Sayang, Kebaikan, Keamanan dan Pengamanan, Kenyamanan dan Penggembiraan, serta ketepatan Nada dan Irama dalam Keseimbangan hidup bersama.
4.
Tetapi aku bergembira saudara-saudaraku punya idola yang dikagumi dan tokoh yang ditakdzimi. Betapa bersinar hati bangsaku yang berpegangan pada Latta hari ini dan Uzza di masa depan. Siapapun pemimpin mereka hari ini, kemarin atau esok lusa, semua adalah representasi kuasa Tuhan buat rakyat Indonesia. Sebab tak ada yang ber-tajalli dan memanifestasi kecuali Ia. Itulah sebabnya hakekat itu dipasang sebagai Sila Pertama, meskipun tak perlu dipersoalkan dari mana pencipta Pancasila dulu kok bisa tahu bahwa Tuhan itu Maha Esa.
5.
Sementara aku sibuk belum merdeka dari diriku sendiri. Aku sedih tidak memiliki mereka semua idola-idola itu. Aku juga punya Tuhan dan Nabi, tapi alamatnya nun jauh di seberang kerinduanku. Habis waktuku utuk bertengkar melawan kebenaran di dalam diriku sendiri, sebab kami berdua sama-sama tidak mutlak. Tuhan Yang Maha Absolut bilang “Sampaikan kebenaran dari-Ku, biarkan yang mau percaya, silahkan yang mau membangkang”. Sesekali aku menyampaikan Kebenaran dari Tuhan, tetapi tak kuat hatiku untuk dipercaya, dan masih muncul amarah di batinku jika aku diingkari dinista.
6.
Aku turut berbahagia karena saudara-saudaraku aman sandaran dan harapan masa depannya. Aman hartanya dari korupsi, aman martabatnya dari penghinaan, dan aman nyawanya dari pembunuhan. Bahkan sinar cakrawala Demokrasi membuat siapa saja bisa menjadi apa saja. Setiap warga bisa menyiapkan biaya, persiapan jenis mental tertentu, serta mengemis kendaraan, untuk berjuang menjadi Presiden, Menteri, Gubernur, Penguasa atau apapun. Sementara aku adalah penakut yang berjuang menjadi diri sendiripun belum pernah jelas hasilnya. Nabiku bilang “kalau engkau yang berinisiatif menjadi pemimpin, Allah tidak melindungimu dan tidak mempertanggungjawabkan langkah-langkahmu”.
7.
Puji Tuhan bangsaku bergelimang modernisme dan kemerdekaan, berlaga dalam kompetisi karier, persaingan jabatan, lomba kekayaan, turnamen pencitraan dan pertandingan keunggulan. Bangsaku sangat mampu menikmati kemegahan dunia, mengenyam kesementaraan dan hologram-hologram kemewahan. Sedangkan hidupku dirundung rasa takut untuk kalah, tidak berani menang, sebab diriku sendiri yang sangat rewel ini belum benar-benar mampu kukalahkan. Kami belum pernah benar-benar siap untuk memasuki babak berikut sesudah kehidupan yang ini. Kami sangat sibuk berlatih dan mensimulasi untuk bersiaga menjalani hidup kekal abadi, yang kami tidak mungkin mengelak sama sekali.
8.
Maha Esa Tuhan yang telah memperkenalkan bangsaku meneguhkan Bhinneka Tunggal Ika, pengakuan dan penerimaan bersama atas siapa saja penghuni Negeri Nusantara. Aku merasa aman, karena pasti termasuk di dalamnya, meskipun andaikan aku memeluk Agama yang tidak begitu disukai. Atau aku tidak sama dengan siapapun. Atau tidak bertempat tinggal di koordinat nilai manapun. Bahkan aku dilindungi oleh Bhinneka Tunggal Ika meskipun andaikan aku hanya seonggok batu, sehelai daun, setetes embun, Jin, Setan, Hantu, air ataupun angin.
9.
Aku bersyukur saudara-saudaraku berjaya dengan kariernya masing-masing, duduk di kursi-kursi sejarah. Mereka adalah pejuang-pejuang nasional dan patriot-patriot bangsa. Sementara skala perjuanganku sangat sempit dan di dataran yang rendah, hanya berkaitan dengan sejumlah orang di seputarku. Aku mewajibkan diriku sekedar untuk mampu membesarkan hati siapapun di sekitarku, menjadi ruang kemerdekaan dari mereka, menyebarkan rasa nyaman dan teduh, bersama-sama berlatih untuk memiliki mental, akal dan batin yang tidak keder atau guncang ditimpa oleh keadaan macam apapun.
10.
Hatiku berbinar-benar menyaksikan saudara-saudaraku hidup kokoh dengan kebenarannya masing-masing. Sementara aku mengalami Bumi adalah suatu tempat di mana kebenaran kabur wajahnya. Dunia adalah suatu bangunan kimia nilai di mana kebenaran bisa berwajah kebatilan, dan kebatilan sangat mudah menyamar tampil sebagai kebenaran. Di Dunia ini Sorga seseorang adalah Neraka bagi lainnya, sehingga batal fungsinya sebagai Sorga. Maka tak pernah berani aku mensorgakan diriku, karena khawatir menerakakan orang lainnya. Yang berani kulakukan hanyalah sedikit mencipratkan komponen-komponen kecil yang membuat orang di sekitarku merasakan Sorga Dunia dan bergerak menuju Sorga Sejati.
11.
Lega hatiku saudara-saudaraku meneguhkan keyakinan bahwa “Ini Negara Pancasila, bukan Negara Agama”, “Ini Indonesia, bukan Jawa, Batak, Bugis, Sunda atau Madura”. Berdebar hatiku menantikan jalannya zaman di mana Indonesia akan menguburkan Agama, menumpas Jawa dan bukan-bukan lainnya. Kusimpan di lubuk hati kebenaran yang kudapatkan, bahwa Indonesia itu ya Bugis ya Tolaki ya Dayak dan semua kandungan sejarah yang membuat Indonesia ada. Bahwa Pancasila itu ya Hindu ya Budha ya Gatoloco ya Darmogandhul ya Islam ya Kristen dan semua yang menjadi sumber nilai sehingga Pancasila menjadi wujud nyata.
12.
Aku persembahkan seribu lilin cinta kepada bangsa Indonesia di seluruh Nusantara. Aku sangat mencintai kalian, bukan sekedar cinta. Cinta hanya kondisi batin, tetapi Mencintai adalah komitmen, pembuktian dalam kerja, serta ketulusan dan kesetiaan. Jika kalian bergembira, aku meneteskan airmata bahagia. Apabila kalian menderita, sangat berat menusuk hatiku dan seluruh jiwaku dipenuhi rasa tidak tega. Sedemikian tunainya cintaku kepadamu, sehingga jika kalian sakit, aku tak berani mengemukakannya, sebab khawatir membuatmu lebih terluka.
Yogya 19 Mei 2017.