Sepanjang Usia Melestari Bahasa Arab
“Saya mempelajari Huruf Hijaiyah sebelum mempelajari Huruf Latin”. Begitu kira-kira secuplik terjemahan kalimat yang disampaikan oleh Cak Fuad pada saat ditanya proses awal mempelajari Bahasa Arab. Dalam sebuah video yang dirilis oleh Stasiun Televisi Al-Majd beberapa hari yang lalu, tampak Cak Fuad menceritakan secara snapshoot perjalanan hidup beliau mulai dari awal belajar Huruf Hijaiyah hingga akhirnya mencintai Bahasa Arab.
Dalam interview yang berdurasi sekitar 45 menit itu, Cak Fuad menceritakan sedikit demi sedikit, meskipun tidak benar-benar detail. Cak Fuad menceritakan poin-poin penting yang menjadi bekal utama sehingga hari ini beliau bukan hanya fasih berbahasa Arab, namun juga benar-benar memahami Sastra Arab.
Seperti yang diceritakan dalam interview itu, Ayah Cak Fuad, Muhammad Abdul Lathief adalah seorang petani di Sumobito, kampung kecil yang letaknya sangat jauh dari kota besar. Jangan membayangkan bahwa pada tahun 1950-an, Jombang adalah kota besar. Tentu saja saat itu yang disebut sebagai kota besar adalah seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Bandung, dan sebagainya.
Meskipun seorang petani di sebuah desa yang terpencil, Ayah Cak Fuad memiliki perhatian yang sangat tinggi terhadap pendidikan, utamanya pendidikan Islam. Seperti kita ketahui, Jawa Timur adalah basis pendidikan pesantren yang tradisional, yaitu pesantren yang mempelajari ilmu-ilmu Islam.
Sebagai seorang petani, tentu secara finansial tidak begitu memungkinkan jika harus mendirikan sebuah pondok pesantren apalagi sekolah resmi di pagi hari. Tetapi, karena begitu tinggi semangat beliau untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan, maka beliau bertekad mendirikan sebuah Madrasah yang fokus utamanya adalah pendidikan ilmu Islam, karena sekolah-sekolah milik pemerintah yang ada saat itu sama sekali tidak mengajarkan ilmu Islam kepada para siswanya.
Seperti yang kita ketahui, di Indonesia dahulu masih banyak madrasah yang menjadi tempat belajar bagi siswa-siswa SD dan SMP di sore hari, karena memang asupan ilmu pengetahuan Islam mereka tidak mungkin mereka dapatkan di sekolah pada pagi hari. Hal ini menjadi solusi yang paling memungkinkan saat itu, karena kedua orang tua mereka juga tidak memiliki kecakapan ilmu Islam yang mumpuni, sementara bekal ilmu Islam harus ditanamkan sejak kecil kepada anak-anak.
Melihat kondisi seperti ini, di mana ilmu Islam nyaris tidak diajarkan di sekolah pagi hari, maka ayah Cak Fuad pada tahun 1950-an berinisiatif mendirikan sebuah madrasah sebagai tempat belajar anak-anak kecil mempelajari ilmu-ilmu Islam seperti Fiqh, Aqidah, Al Qur`an, dan sebagainya. Madrasah sore hari yang hari ini sudah jarang kita temui.
Satu hal yang menarik yang diceritakan oleh Cak Fuad adalah, bagaimana huruf hijaiyah lebih dahulu diperkenalkan oleh Ayah beliau sebelum diperkenalkan dengan huruf latin. Melalui sebuah kitab Al-Qowaid Al-Baghdadiyah, sebuah kitab yang memang khusus untuk memperkenalkan huruf-huruf hijaiyah. Dan proses ini dijalani oleh Cak Fuad sebelum menjadi siswa Sekolah Dasar.
Sejalan dengan proses itu, Cak Fuad juga kemudian belajar tentang Tilawah Al-Qur`an. Sebuah kombinasi yang lengkap, ketika masih kecil belum mengenal huruf latin, Cak Fuad belajar dasar-dasar Bahasa Arab dan Al-Qur`an. Saya menebak, proses ini pula yang juga dialami oleh Cak Nun saat masih kecil, sehingga jika kita mendengar Cak Fuad atau Cak Nun membaca Al-Qur`an, maka kita akan mendengar alunan tilawah yang khas, karena beliau berdua sudah mempelajari makharijul huruf hijaiyah sejak masih belia.
Di sini saya mendapat satu poin lagi, bahwa memang sebenarnya sebagai seorang muslim, maka bekal yang harus diberikan kepada anak-anak adalah pengetahuan dasar tentang bahasa Arab dan Al-Qur`an. Kita melihat realita saat ini bagaimana anak-anak kecil sudah sangat akrab dengan perangkat elektronik, mulai dari televisi, laptop, handphone hingga game console yang hampir setiap hari mereka mainkan setelah pulang sekolah. Sementara kurikulum pendidikan di Indonesia saat ini tidak benar-benar menanamkan ilmu Islam sejak dini.
Tentu saja, bukan berarti bahwa kurikulum yang ada saat ini itu salah dan tidak berguna, hanya saja kesadaran orang tua seperti yang dirasakan oleh Ayah Cak Fuad pada tahun 1950-an sangat jarang kita temui hari ini. Mayoritas orang tua hari ini mempercayakan sepenuhnya pendidikan anak-anak mereka ke sekolah yang sudah mereka bayar setiap bulannya.
Kita melihat hari ini ada banyak sekali model pendidikan anak-anak, mulai dari Play Group, TK, SD, SMP hingga SMA yang tidak sedikit pula menerapkan sistem full day school, ada juga yang menerapkan sistem boarding school. Sebuah sistem yang memang bertujuan agar anak-anak tidak terlalu banyak memiliki waktu kosong untuk bermain, sehingga kegiatan mereka selama satu hari terkontrol. Dan hasilnya pun memang menghasilkan banyak anak-anak yang kompeten di beberapa ilmu pengetahuan, bahkan tidak sedikit dari mereka yang menjalani sistem percepatan kenaikan kelas, tentu saja karena memang kecerdasan mereka mendukung itu.
Dan tidak sedikit pula dari mereka yang menjadi juara di berbagai Olimpiade ilmu pengetahuan, baik tingkat lokal, nasional atau internasional. Tetapi, berapa persen dari mereka yang memiliki pondasi ilmu Islam yang kuat? Mayoritas dari masyarakat kita hari ini hanya menilai, yang penting bisa membaca Al-Qur`an, shalatnya rajin, ketika bulan puasa ya berpuasa. Sebuah pencapaian yang sebenarnya tidak bisa disebut sebagai prestasi, karena hal tersebut memang sudah seharusnya dilakukan oleh seorang muslim. Pondok Pesantren menjadi sebuah solusi yang menjadi pilihan utama masyarakat saat ini agar anak-anak mereka memiliki bekal ilmu Islam yang mencukupi.
Kembali kepada Cak Fuad, kita melihat beliau adalah orang yang sangat fasih dalam berbahasa Arab, dalam interview di video tersebut, Cak Fuad berbincang-bincang dengan santainya dengan pembawa acara yang memang asli orang Arab. Jika orang Arab, lahir dan besar di Arab, fasih berbahasa Arab itu sudah semestinya. Tapi jika ada orang Indonesia, yang lahir di sebuah desa terpencil di Jawa Timur, jauh dari peradaban kota di tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia, kok fasih berbahasa Arab, tentu ini adalah hal yang luar biasa.
Dan proses bagaimana Cak Fuad hingga pada akhirnya menguasai Bahasa Arab dan Ilmu Al-Qur`an bukan berlangsung secara instan dan tiba-tiba. Beliau menjalani proses yang panjang. Video interview tersebut bisa dikatakan sebagai mini biografi Cak Fuad dalam kaitannya kecintaan beliau terhadap Bahasa Arab yang begitu mendalam. Karena mustahil dalam durasi 45 menit, Cak Fuad mampu menjelaskan detail setiap proses perjalanan beliau mendalami Bahasa Arab.
Setelah beliau memahami huruf hijaiyah dan menguasai Qiroah Al-Qur`an, beliau masuk Sekolah Dasar Negeri yang hampir tidak ada ilmu Islam di dalamnya. Beliau mengimbangi pengetahuan ilmu umum dengan belajar ilmu Islam pada sore harinya di Madrasah milik ayahnya. Salah satu kekuatan Madrasah milik Ayah beliau adalah sebuah perpustakaan yang saat itu memiliki tidak kurang dari seribu buku. Untuk ukuran sebuah perpustakaan pada tahun 1950-an, dan berada di sebuah desa yang terpencil, tentu saja itu juga merupakan hal yang sangat menakjubkan.
Pasca pendidikan dasar enam tahun tersebut, Cak Fuad kemudian melanjutkan pendidikannya ke Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo. Di Pondok ini, kecintaan Cak Fuad terhadap Bahasa Arab semakin tinggi. Kemampuan berbahasa Arab beliau semakin terasah. Di Gontor pula, Cak Fuad untuk pertama kalinya mengenal Sastra Arab melalui kitab Tarikh Adab-i-Lughoh Al-Arabiyah, yang saat itu diajarkan oleh guru yang merupakan jebolan dari Al Azhar, Mesir.
Di Gontor, kurikulum yang disusun oleh KH. Imam Zarkasyi adalah kurikulum yang berbeda seratus persen dengan kurikulum sekolah-sekolah maupun Pondok Pesantren di Indonesia pada umumnya. Gontor memiliki kurikulumnya sendiri, kurikulum yang dikalahkan oleh presentasi di hadapan Departemen Agama pada saat itu.
Di Gontor, siswa baru dipaksa untuk mampu berbahasa Arab dalam waktu tiga bulan pertama. Maka buku Tamrin Lughoh yang disusun oleh KH. Imam Zarkasyi adalah buku yang memang disusun secara khusus untuk mengondisikan siswa baru agar mampu berbahasa Arab dalam waktu kurang dari enam bulan untuk digunakan sebagai bahasa percakapan sehari-hari.
Didukung dengan sistem displin yang tinggi, nyaris tidak ada celah bagi siswa untuk tidak berbicara dalam bahasa Arab. Siapa yang berani melanggar aturan main ini, maka hukuman displin sudah menanti. Dan Cak Fuad sendiri mengakui, bahwa sistem disiplin bahasa yang diaplikasikan oleh Gontor ini merupakan salah satu bekal yang sangat penting bagi siapa saja yang ingin menguasai bahasa asing.
Setelah selesai belajar di Gontor, Cak Fuad melanjutkan pendidikan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (dulu masih IAIN) menyelesaikan program Sarjana. Sistem pendidikan tinggi saat itu belum seperti sekarang, Cak Fuad harus menempuh kuliah selama lima tahun untuk mendapat gelar “Drs”. Setelah dari UIN Sunan Kalijaga, Cak Fuad sempat mengajar di kampus tersebut dan di UGM, sebelum akhirnya beliau diterima sebagai dosen tetap Pegawai Negeri di Universitas Negeri Malang (IKIP Malang) di Fakultas Pendidikan Bahasa Arab.
Cak Fuad juga menempuh program Magister di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Bagi orang yang baru pertama kali mendengar kefasihan Cak Fuad dalam berbicara bahasa Arab, tentu akan meyakini bahwa Cak Fuad adalah lulusan dari kampus ternama di timur tengah. Pada kenyataannya, Cak Fuad justru sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan di luar negeri.
Dunia kampus semakin mengasah lagi kemampuan bahasa Arab beliau. Kecintaan beliau terhadap bahasa Arab, beliau salurkan dengan menerbitkan beberapa majalah yang kesemua isinya berbahasa Arab. Al-Wahdah dan An-Nadwah adalah majalah yang pernah diterbitkan oleh Cak Fuad semasa kuliah di Yogyakarta. Kemudian, ketika menjadi dosen di Malang, Cak Fuad menerbitkan majalah Al-Lisan, yang tidak hanya tersebar di Jawa Timur saja, tetapi ke seluruh Indonesia. Melalui majalah inilah Cak Fuad kemudian dikenal luas oleh para pengajar bahasa Arab di Indonesia. Hingga akhirnya, pada akhir 90-an, Cak Fuad mendirikan IMLA (Ittihaadul Mudarrisiin Lughoh al-Arabiyah). Dari organisasi inilah kemudian Cak Fuad berkali-kali mengikuti berbagai pertemuan pengajar bahasa Arab di berbagai negara.
Jam terbang tinggi Cak Fuad inilah yang kemudian juga membantu beliau menerbitkan beberapa buku-buku tentang ilmu dasar pendidikan bahasa Arab. Cak Fuad sendiri yang sebenarnya bukanlah lulusan dari fakultas Pendidikan Bahasa Arab, pada awalnya tampak canggung ketika harus mengajar di fakultas Pendidikan Bahasa Arab. Beliau pun mengakui sempat mempelajari metode pengajaran Bahasa-Inggris untuk kemudian diadaptasi dalam metode pengajaran Bahasa Arab.
Dari berbagai muktamar yang beliau ikuti, pengetahuan baru selalu beliau dapatkan, untuk kemudian beliau kembangkan dalam sebuah metode yang baru dalam mengajarkan bahasa Arab. Perjuangan panjang inilah yang pada akhirnya mengantarkan Cak Fuad menjadi salah satu anggota Majelis Umana’ King Abdullah bin Abdulaziz International Center of Arabic Language sejak tahun 2013 lalu. Sebuah lembaga yang fokus utamanya adalah menyebarkan Bahasa Arab seluas mungkin di dunia. Cak Fuad layaknya ikan yang menemukan sungai yang tepat. Kecintaan beliau terhadap bahasa Arab pada akhirnya mengantarkan beliau pada posisi yang memang sudah seharusnya beliau berada di tempat itu.
Saat ini di Indonesia setidaknya ada 168 fakultas di berbagai perguruan tinggi yang berhubungan dengan Bahasa dan Sastra Arab, tidak kurang 3000 dosen pengajar bahasa Arab tersebar di berbagai kampus di Indonesia. Sudah pasti, hasil tersebut bukanlah perjuangan Cak Fuad seorang diri di Indonesia. Ada banyak orang lain yang juga ikut berjuang dalam proses pengembangan bahasa Arab di Indonesia. Tapi setidaknya, dari perjalanan Cak Fuad sendiri saya dapat mengambil pelajaran bahwa bekal utama ilmu Islam adalah bahasa Arab.
Man Jadda Wajada. Barang siapa bersungguh-sungguh, maka dapatlah ia. Dari Cak Fuad saya belajar bahwa perjuangan panjang dengan kesungguhan yang tinggi, akan mengantarkan kita kepada hasil yang maksimal. Dari perjalanan Cak Fuad juga, saya semakin menyadari bahwa selama ini kita selalu didoktrin bahwa buta huruf itu apabila kita tidak mampu membaca huruf latin, sementara jika kita yang notabene seorang muslim tidak bisa membaca huruf hijaiyah, kita tidak dianggap buta huruf. Maka tidak mengherankan jika banyak orang Islam yang gagap ketika membaca Al-Qur`an, karena memang mereka tidak memiliki bekal yang mumpuni untuk membaca Al-Qur`an. Mereka buta huruf hijaiyah.