CakNun.com
Wedang Uwuh (21)

Seonggok Ratu Emas

Kedaulatan Rakyat, 7 Maret 2017
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 2 menit

Di ujung presentasi Pèncèng, tiba-tiba saya lihat Beruk mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Semua tanpa sadar menoleh kepadanya. Bertanya-tanya apa barang besar yang dikeluarkan oleh Beruk. Ia mengambil dengan satu tangan, tapi kemudian mengeluarkannya dengan dua tangannya.

Seonggok benda besar. Kira-kira tiga kali lipat setangkep gula kelapa, dan tampaknya cukup berat. Benda itu berkilau-kilau, berwarna kekuning-kuningan, memancar pantulan cahaya dari sisi-sisi dan gigir-gigirnya.

“Apa itu, Ruk?”, saya bertanya.

“Katanya sih emas”, jawab Beruk, “tapi saya tidak tahu persis. Mungkin saja sekadar batu akik. Tapi karena makna dan nilainya, ini semacam seonggok Ratu Emas”

“Ratunya emas ini masih utuh atau sudah kamu thithili tadi dan kamu jual….”, celetuk Gendhon.

“Saya masih tegang ini, nDon”, jawab Beruk, “soalnya ini menyangkut peristiwa besar dan sangat mendasar”

“Punya siapa emas itu?”, saya bertanya.

“Titipan dari salah seorang Direktur sebuah Perusahaan raksasa di seberang pulau jauh”

“Kok bisa nitipnya ke kamu?”

“Ndoro saya yang dititipi, Mbah”, jawab Beruk, “saya ditugasi untuk menjaga dan merawatnya”

“Lha kok kamu bawa-bawa sampai ke sini?”

“Saya sudah minta izin….”

“Ini benda apa to?”, Pèncèng memotong

“Bagaimana juntrungannya, punya siapa, untuk apa, dan apa pentingnya kamu bawa ke sini?”, saya mendesak juga.

“Direktur itu yang memberikannya kepada nDoro saya, untuk tanda kesaksian bahwa sejarah di Pulau Jawa yang sudah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu sedang diubah….”
.
“Wah, kok serius, Ruk”, sekarang saya yang memotong, “sejarah apa, diubah bagaimana?”

“Direktur Perusahaan seberang pulau jauh itu ditugasi ke sini untuk mengantarkan uang beberapa puluh juta dollar Amerika. Sesudah ia laksanakan tugasnya, ia kaget sendiri. Ternyata uang yang dia bawa itu dikeluarkan oleh Perusahaan sebagai hasil perundingan dan kesepakatan dengan sebuah lembaga besar internasional yang bermarkas di Italia.…”

“Lhadalah”, Pèncèng yang sekarang bereaksi, “itu tenanan?”

“Itu biaya untuk mengumumkan semacam statemen untuk mengubah dasar konstitusi, penguasaan atas struktur otoritas, yang ujungnya adalah penggantian teologi. Dengan demikian tatanan panggung dan susunan aktornya juga akan berubah drastis, misalnya tidak harus lelaki, bisa juga perempuan, tidak sebagaimana Paugeran berabad-abad sebelumnya.…”

“Wah semakin abstrak penjelasanmu, Ruk”, Pèncèng memprotes, “apa hubungan emas dengan cowe cewe segala.…”

“Saya berbicara kepada kecerdasan, kawaskithan, daya imajinasi dan kemampuan asosiasi”, Beruk membela diri, “ibarat teater, cukup mulut saya ngoweh-ngoweh, tidak perlu literasi teknis teks skenario di mana menjelaskan bahwa saya barusan makan sambal, dan sambal itu terdiri atas lombok rawit campur bawang dan tomat, di-uleg dengan cowèk atau layah….”

“Wah lha kok tekan sambel barang.…”, Gendhon nyeletuk, “jadinya makin abstrak dan samar”.

Lainnya

Cahaya dan Sampah

Cahaya dan Sampah

Seorang Sangat Tua (OST), yang dari wajahnya sangat sukar dipastikan berapa usianya, berjalan memimpin sebuah rombongan yang jumlahnya tidak sedikit tapi juga tidak terlalu banyak, untuk melihat-lihat Bumi.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Lalu Lintas Manthiq Keindahan Hidup Manusia

Lalu Lintas Manthiq Keindahan Hidup Manusia

Pesan agar saya menulis dengan judul atau tema “Membebaskan dan Membawa Sastra Kemana Saja”, membuat saya merasa agak malu karena teringat pada tulisan saya di waktu saya masih muda dulu yang kemudian menjadi judul buku “Sastra Yang Membebaskan”.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib