CakNun.com
Wedang Uwuh (18)

Seni Kuliner

Kedaulatan Rakyat, 14 Februari 2017
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 2 menit

“Dulu Yogya adalah mercusuar kesenian nasional”, Pèncèng menguraikan, “untuk waktu yang sangat lama, berpuluh-puluh tahun, Yogya adalah laboratorium utama dunia seni rupa, bersaing dengan Bandung. Yogya adalah barometer dunia teater dan kekuatan utama potensi dan aktualisasi kesusastraan Indonesia”

“Malioboro dulu adalah Kawah Candradimuka yang melatih para penyair, cepenis, dan novelis. Di era 1970-an ada poros kreatif Bulaksumur-Malioboro-Gampingan. Berlangsung pergesekan dan pergumulan kreativitas antara para ilmuwan Bulaksumur, dengan para sastrawan Malioboro, dan para pelukis di Akademi Seni Rupa Indonesia di Gampingan”

“Dialektika kreatif itu melahirkan genre-genre karya seni yang menggetarkan Indonesia. Dan merekalah yang merupakan garda depan karakter Yogyakarta sebagai Ibukota Kebudayaan Indonesia. Itu belum kesenian-kesenian yang tradisional: ketoprak, wayang kulit, atau mozaik kreativitas tari yang berhulu-hilir antara tradisionalitas dengan modernitas, yang kerakyatan hingga yang adiluhung Kraton”

“Apa hubungannya dengan ilat, Cèng?”, saya bertanya.

“Sabar, Mbah. Pelan-pelan, karena kita membaca alur waktu yang mengalir”.

“Semua dinamika kreativitas kesenian dan para senimannya kemudian berhadapan dengan pergolakan zaman. Ada era di mana mereka direpotkan oleh regulasi-regulasi politik terhadap karya-karya seni di zaman Orde Baru. Kemudian sejak awal 1990-an mereka mulai harus berenang di tengah arus industri, sungai deras yang merupakan bagian dari dahsyatnya kapitalisme global.…”

“Belum ada gejala ilat, Cèng.…”, saya kejar terus.

“Ada yang berenang dengan tangguh, sekurang-kurangnya sebagian dari dunia seni rupa bisa menaiki kapal-kapal besar industri kreativitas rupa. Tetapi dunia teater dan sastra terombang-ambing ke arah yang tak menentu. Sempat kehilangan mata angin. Ada yang tenggelam ke dasar arus besar itu. Ada juga yang terseret ke tepian sungai dan lautan zaman, kehilangan tempat, koordinat dan konteksnya di tengah tata nilai baru Peradaban Global yang satu kaki Indonesia sudah menapakinya, namun satu kaki lainnya masih terserimpung oleh sulur-sulur tradisi dan dekadensi”

Saya tertawa terkekeh-kekeh, tanpa bisa menyembunyikan di depan Pèncèng. “Katanya temamu sehari-hari, Cèng. Katanya sederhana. Uraianmu itu bagi banyak orang tampak seperti lukisan abstrak ekspresionis yang didominasi oleh kabut, awan, bulatan dan bercak-bercak yang tidak jelas.…”

“Yang tetap survive dan bahkan mengalami kebangkitan adalah seni kuliner”, Pèncèng merespons dengan suara agak keras dan ketus.

“Kuliner itu seni tho.…”

“Ya dong Mbah. Culinary Art. The Art of Culinary. Para senimannya ada yang level Cooks, ada yang Chefs. Mereka tergolong pahlawan kehidupan. Pejuang-pejuang penguak kenikmatan hidup. Tuhan menganugerahkan bahan-bahan alam, mereka mengiris misterinya, menyelami rahasianya, memahami peta zat-zat dan kandungan gizi maupun kenikmatannya. Kemudian meraciknya, menciptakan komposisi, harmoni, aransemen, memasaknya menjadi paket-paket kuliner. Kemudian masyarakat menikmatinya, untuk mendapatkan tidak hanya kelezatan makanan dan minuman, tetapi juga memperoleh kesadaran betapa Tuhan sangat menyayangi hamba-hamba-Nya. Betapa Tuhan sebenarnya jauh lebih cinta kepada makhluk-makhluk-Nya melebihi yang disadari oleh mereka. Sebab para Seniman Kuliner masih bisa menguak beribu cakrawala dan samudera rahasia kenikmatan berikutnya dari anugerah Tuhan….”.

Lainnya

Mana Stasiunku

Mana Stasiunku

Saya bercerita kepada Gendhon, Beruk dan Pèncèng:

“40 tahunan yang lalu selama hampir lima tahun setiap malam saya di Malioboro bagian utara, barat jalan, seberang Hotel Garuda.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib