CakNun.com

Sayur Tahu Kadipiro

Didik W. Kurniawan
Waktu baca ± 3 menit

Kalau main ke Kadipiro atau yang sekarang dikenal dengan nama Rumah Maiyah, bisa jadi kita ketemu orang-orang ‘terkenal’ dan ‘penting’ seperti catatan saya sebelumnya. Paling tidak, ketemu salah satu personel grup band Letto. Kalau tidak vokalisnya ya gitarisnya. Syukur ketemu personelnya secara lengkap dan utuh.

Sekarang begini. Apa yang sebaiknya kita lakukan ketika ketemu atau melihat ‘artis’ dari jarak kurang dari lima meter?

  1. Berdiri mematung dengan mulut menganga
  2. Teriak-teriak histeris
  3. Meminta foto bareng atau selfie bareng
  4. Ketiga ekspresi di atas dilakukan secara kontinyu dan terus-menerus

Sayangnya itu terjadi tidak pada saya. Entah kenapa, saya harus sebisa mungkin untuk bersikap sewajarnya. Memang ada hasrat untuk sekedar meminta foto untuk kemudian diposting di medsos dilengkapi dengan caption yang cukup bisa menarik perhatian khalayak ramai. Kalau di Kadipiro kesempatan seperti itu banyak sekali. Tapi yang saya rasakan, ini bukan tempat paguyuban artis berkumpul. Ini seperti rumah bagi banyak ‘manusia’. Manusia budaya, manusia politik, manusia ‘religius’, atau yang belum penuh betul menjadi manusia seperti saya.

Kok artis. Tokoh-tokoh yang mau mencalonkan diri menjadi pejabat saja, kalau pas waktunya, mungkin akan dengan mudah kita temui. Dari berbagai skala jabatan struktural. Sekedar Gubernur atau Presiden.

Bagi saya menahan dan mengendalikan ekspresi itu penting. Penting buat diri saya sendiri. Karena nanti kalau berlebihan dan tidak tekendali ekspresi kita, jatuhnya norak. Ngisin-ngisini. Meski cinta ada baiknya diekspresikan. Tidak mungkin juga ada pimpinan parpol sedang bertamu ke Kadipiro lantas saya ‘nyelonong’ begitu saja,

“Maaf. Bisa selfie dulu nggak? Nanti aku mention deh. Saya doakan semoga langgeng jadi ketua partainya ya.”

Kan nggak mungkin!

Pernah sekali waktu. Ketika itu Cak Nun dan KiaiKanjeng diundang ke kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta. Mengambil lokasi di GOR dan yang hadir banyak. Begitu acara selesai, teman saya seorang dosen, menghampiri.

“Sana minta foto.” Kata dia. Wajar karena dia sudah tahu saya sering pergi ke Mocopat Syafaat.

“Nggak. Biar yang lain saja.” Jawab saya.

“Kok nggak foto?”

“Nggak.”

Tak ada alasan pasti kenapa saya enggan berfoto bersama beliau atau para personel KiaiKanjeng yang saya kagumi kesungguhan bermusiknya. Yang jelas saya sendiri bukan orang yang senang difoto. Lha wong foto pernikahan saya saja satu pun tidak ada yang dicetak atau dipajang di dinding rumah. Selain itu, setiap selesai acara berjubel sudah ingin banyak yang bersalaman dengan beliau dengan niat dan maksud yang bermacam-macam juga. Dan mesti antrinya panjang. Daripada desak-desakan jadi saya mengurungkan diri untuk mendekat. Kalau cinta tidak mengenal jarak, aku pilih jarak yang jauh. Karena dengan jauh, akan selalu ada hasrat untuk selalu mendekat. Cieee...

Saya merasa beliau dan lingkaran di sekitarnya selalu dekat dengan semua kalangan. Pernah satu hari di sela-sela latihan beliau bersama KiaiKanjeng untuk pertunjukkan musikalisasi puisi ‘Presiden Balkadaba’ yang akan dipentaskan di Surabaya, saya dan teman saya Mas Lardi sore-sore datang ke Kadipiro. Niatnya masih sama. Mengambil data video untuk keperluan skripsi dan membuat video feature sebagai pelengkap prasyarat untuk mendapatkan gelar kesarjanaan. Setelah mewancarai Pak Nevi Budianto, salah satu personel KiaiKanjeng yang memiliki peran penting di dalam aransemen musik KiaiKanjeng di lantai dua (mungkin sekarang sudah menjadi Perpustakaan EAN), kami turun untuk mengambil stok gambar. Termasuk gambar-gambar alat musik yang digunakan KiaiKanjeng. Khususnya dari gamelan. Saron dan Bonangnya. Tentu hal ini kami lakukan setelah mendapatkan izin dari beliau-beliau. Sewajarnya tamu, tetap kami jaga tata krama.

Latihan berjalan hingga adzan Maghrib. Kemudian jeda sejenak karena sudah memasuki waktu shalat. Tak lama para personel KiaiKanjeng dan Cak Nun melanjutkan latihan. Kami manfaatkan momen itu untuk mengambil gambar menambah stok.

“Cukup.” Kata Lardi.

“Terus?” saya bertanya.

“Pulang. Ayo pamitan dulu.”

Kami sudah berniat untuk pamit. Ada satu hal yang membuat saya bahagia saat kami mau pamit. Mbak Novia Kolopaking menyiapkan makan malam di pendopo rumah Kadipiro.

“Kami pulang dulu.” Kata Lardi.

“Eh, mau kemana? Pulang?” tanya Mbak Novia. Kami mengangguk sambil tersenyum.

“Kemana? Solo?” tanya beliau lagi.

“Iya.” Jawab kami polos. Memang kami kuliah di ISI Solo. Jadi pulangnya ya ke Solo.

“Tunggu dulu. Sini makan dulu.”

Itulah kalimat yang membuat, kami, tepatnya saya, bahagia. Anugerah langit ini namanya. Saya dan mas Lardi saling tatap. Sepertinya dia merasa tidak enak. Saya, makan? Kenapa nggak?

“Nggak usah. Maturnuwun. Kami langsung pulang. Sudah malam.” Jawab mas Lardi diplomatis. Saya, basa-basi kau kawan!

“Ayo makan dulu. Jauh lho.” Mbak Novia masih menawari kami. Alhasil, saya mengambil sendok dan piring. Mengeruk nasi. Dan menyiduk sayur tahu berkuah santan.

“Ayo makan bareng-bareng.”

Kami makan bersama. Serasa di rumah. Apalagi kami sebenarnya anak kosan. Di mana ditawari makan adalah salah satu momen yang haram untuk dilewatkan. Saya makan cukup lahap. Mungkin karena sejatinya perut sudah berontak menuntut haknya untuk diisi. Dan yang kedua memang sayur tahunya, enak. Gratis kok. Apalagi ditambah teh hangat. Nikmat mana lagi yang akan saya dustakan?

“Ayo dek tambah.” Cak Nun menawari kami. Seringnya beliau memanggil kami dengan kata ‘dek’. Nah yang ini, jelas kami tidak lakukan. Bukan karena malu, tapi karena tadi kami sudah mengambil nasi lebih dari cukup.

“Njih sampun Cak.”

Setelah selesai, kami beristirahat sebentar sambil melanjutkan melihat latihan musikalisasi puisi “Presiden Balkadaba”. Karena akan sangat aneh jika begitu selesai makan kami langsung pamit pulang. Perlahan-lahan saya cermati. Karena bagaimana pun juga kuliah saya di etnomusikologi, tentu musik yang dimainkan KiaiKanjeng memiliki daya tarik sendiri bagi saya. Proses pertemuan antara karya sastra seperti puisi dengan musik tentu harus dikemas dan diolah sedemikian rupa agar menjadi entitas. Puisi lebur ke dalam musik. Musik melebur, nyawiji bersama puisi.

Dan sampai sekarang hati saya melebur bersama tahu yang disayur.

Suwun Mbak.

Lainnya

Exit mobile version