CakNun.com

Sarjana Masbuk Ber’CERMIN’

Didik W. Kurniawan
Waktu baca ± 4 menit

Shohibu Baiti mulai diperdengarkan di Maiyahan. Pertama kali mendengarnya di forum Mocopat Syafaat. Biasanya sebelum diperdengarkan, Cak Nun meminta pencahayaan yang ada dimatikan untuk sementara waktu. Mungkin agar kata-kata yang ada di dalam Shohibu Baiti meresap ke dalam pori-pori kehidupan setiap yang mendengarnya. Termasuk para malaikat.

Sampai suatu kali Cak Nun meminta hadirin untuk membentuk formasi 9 (sembilan). Untuk pertanyaan kenapa harus angka 9? Saya tidak punya jawaban yang tepat. Karena memang, sebagai orang yang hadir dalam acara ‘gratisan’ semacam ini ada baiknya saya menjaga etika dengan tidak melontarkan pertanyaan kenapa begini kenapa begitu. Karena bisa jadi jawabannya akan bermacam-macam antara yang satu dengan yang lain. Di waktu yang berlainan pula. Jadi memang saat itu yang bisa saya lakukan adalah mengalir saja.

Mencari sembilan orang terdekat kita untuk kemudian berdiri melingkar bersama mendengarkan lantunan Shohibu Baiti. Setelah selesai, kita dipersilakan duduk namun tetap menjaga keutuhan lingkaran masing-masing. Lalu Cak Nun memberi waktu agar setiap lingkaran saling berkenalan satu sama lain. Ngobrol kesana kemari. Dan yang paling sedikit membuat saya ‘gemes’ adalah…

“Aduh. Saya semester tiga belas. Ahahaha…”

“Saya juga. Mirip-mirip mas. Ahahaha…”

Dua orang laki-laki di samping saya sedang berkenalan. Dan entah apa yang terjadi, apa yang mereka sampaikan sedang saya alami juga. Dan sepertinya formasi 9 kami berisi mahasiswa-mahasiswa setengah dewa. Yang tak kunjung lulus kuliahnya.

Ada getir dalam hati. Ada rasa kesal yang mengganjal. Namun ada juga sedikit rasa syukur. Bahwa, di bumi ini, saya tidak sendiri. Saya tersenyum kecut.

Gusti, mosok kok isa pas kayak ngene? Karep Panjenengan pripun?” kata saya sambil melihat bintang-bintang di langit.

Dari panggung Cak Nun menyampaikan, “Kalau anda kuliah, jangan untuk mencari ilmu. Karena bisa jadi ilmu yang anda dapatkan di kampus akan membuat anda kecewa. Karena di universitas yang diajarkan justru juz’iyyah atau sepenggal-sepenggal yang dibagi menjadi fakultas-fakultas. Jadi kalau anda kuliah, niatkanlah untuk membahagiakan bapak ibu anda di rumah.” Intinya begitu kalau tidak salah ingat.

Saya melongo. Sebagai manusia yang berumur di atas dua puluh tahun dan masih menyandang gelar mahasiswa, saya tahu bahwa posisi saya amat sangat tidak mengenakkan di dalam koordinat kehidupan ini. Menjadi mahasiswa yang masih kebingungan dengan apa itu skripsi, bisa jadi tidak layak juga untuk mendapatkan istri. Semisal melamar anak orang pun, posisi kita tidak cukup kuat. Atau bahasa bisnisnya, selalu kalah dengan para pemilik modal.

“Masih sekolah atau sudah kerja?”

“Sekolah pak.”

“Oh anak saya baru lulus kemarin. Semester berapa?”

“Tujuh…”

“Berarti mau lulus?”

“…belaaaassss…”

“HA? TUJUH BELAS?!”

Saya pikir memang niat saya harus segera diubah. Titik tuju kenapa saya kuliah harus segera ketemu. Dan Cak Nun memberi alternatif penyelesaian yang tidak terpikirkan oleh saya sebelumnya. Atau karena memang saya yang kurang sering melatih diri untuk berpikir jernih. Saya memang ingin dan bahkan butuh untuk membahagiakan orang tua saya. Tapi tidak ada di benak saya sebelumnya bahwa menjadi sarjana adalah salah satunya. Pikiran saya tidak sampai kesana.

Alhasil sepulang dari Mocopat Syafaat, saya bertekad untuk segera menyelesaikan kuliah saya entah apapun hasilnya. Yang penting orang tua saya bahagia. Dan siapa tahu Tuhan semakin bermurah hari kepada saya karena kebahagiaan orang tua saya.

Sampai kosan, saya langsung,

Tidur.

Inginnya saya menyalakan komputer, tapi perjalanan Solo-Yogya menyisakan rasa kantuk yang luar biasa. Tidurlah saya.

Saat itu medio tahun 2011-2012. Saya masih dalam tahap meluruskan niat untuk apa saya kuliah. Apa yang disampaikan Cak Nun ketika saya ikut dalam salah satu formasi 9 masih terngiang. Bahwa saya harus selesai. Bahwa saya harus bergegas. Karena tanpa saya sadari orang tua saya sedang merasa cemas. Anak ragilnya yang diharapkan mampu mengharumkan nama keluarga, belum terlihat batang hidung kesuksesannya.

Dan apa yang saya lakukan saat itu? Adalah bermain facebook. Adalah menuliskan cerita sehari-hari yang saya alami ke dalam note facebook. Adalah malah lupa apa itu skripsi. Adalah siapa nama dosen pembimbing saya. Adalah kehidupan yang cukup amburadul karena yang terpikirkan adalah menulis menulis dan menulis catatan di facebook. Yang saya tulis adalah semacam curhat universal, karena setiap orang dari belahan dunia mana pun asal memiliki account facebook dan berteman saya atau saya tag semua bisa membaca apa yang saya tulis.

Tulisan yang seperti apa? Tulisan yang masih jauh dari idiom akademis ilmiah. Tulisan yang tidak mungkin menjadikan saya seorang sarjana. Tidak mungkin.

Sampai di satu siang di gedung jurusan, adzan Dhuhur berkumandang dari masjid kampus. Salah seorang teman saya pamit pergi untuk mengurus sesuatu.

Sek ya. Aku ndhisiki.” Dia pamit sambil menyalakan mesin motor.

Ora sholat sek sisan?” tanya saya.

Ora. Masbuk ora papa lho. Ahahaha…”

“Ahahaha….” kami tertawa bersama.

Saya berdiri. Membersihkan bagian belakang celanan karena tadi kami duduk lesehan di beranda gedung jurusan. Saya berjalan menuju parkiran. Sampai di parkiran, beberapa kalimat ini memenuhi kepala saya.

Masbuk nggak apa-apa?

Kalau saya lulusnya telat? Nggak apa-apa?

Kalau sarjana saya masbuk? Nggak apa-apa? Yang penting sarjana?

Sarjana Masbuk?

Sampai di kosan segera saya nyalakan komputer. Posisi ON. Koneksi internet bagus. Kemudian saya menulis…

Skripsi?… Bukan.

Saya menulis catatan dengan judul Sarjana Masbuk. Yang beberapa bulan kemudian dilirik oleh penerbit mayor dan kumpulan catatan saya diterbitkan ke dalam sebuah buku dengan judul yang sama Sarjana Masbuk. Saya promosi? Bukan. Buku itu saya tidak tahu rimba nasibnya seperti apa sekarang. Saya juga tidak terlalu berbangga diri karena orang tua saya masih mengharapkan saya menjadi sarjana yang lumrah. Sarjana yang sewajarnya. Sarjana yang tidak aneh-aneh. Sarjana kok Masbuk? Universitasnya mana? Orang tua saya belum sepenuhnya bahagia karena baru dua tahun kemudian saya lulus.

Namun ada berita yang menjadi pengobat rasa gelisah ini. Ketika itu tahun 2013. Berati satu tahun setelah diterbitkannya buku Sarjana Masbuk. Saya mendapat berita bahwa markas besar Kadipiro akan membangun perpustakaan. Perpustakaan itu diberi nama Perpustakaan EAN. Saya yang mulai menekuni dunia tulis menulis, senang mendengar kabar itu. Dan lebih senang lagi ketika Kang Sarji mengirim pesan singkat kepada saya.

Aku wes tuku buku Sarjana Masbuk. Saiki wes tak deleh perpus EAN.”

Mak deg. Mak tratap. Ada sedikit air hangat keluar dari mata. Bukan apa-apa. Karena saya merasa universitas-nya Sarjana Masbuk itu ya di Kadipiro. Saya belajar tulis menulis salah satunya juga dari sana. Meski tidak secara terang-terangan saya belajar. Datang membawa laptop atau apa. Tidak. Saya belajar dari lingkar Kadipiro. Saya sering menjumpai penulis di sana. Entah itu penyair, kolumnis, jurnalis, atau novelis seperti mbak Hanum Rais.

Bahkan itu bukan hanya universitas, melainkan rumah bagi Sarjana Masbuk. Rumah yang luas yang dibangun oleh pengisi acara ‘CERMIN’ itu.

Selamat bertambah tahun Perpustakaan EAN. Barokah barokah barokah. Suwun Cak.

Lainnya

Exit mobile version