CakNun.com

Sambutan Prof. Barbara dan Barikade Keta’dziman

Liputan Khusus Padhangmbulan Fuadussab’ah, Jombang 8 Juli 2017-Bag 3
Redaksi
Waktu baca ± 3 menit

Padhangmbulan malam hari tadi dihadiri secara khusus oleh para sahabat Cak Fuad di antaranya Prof. Barbara Michalak Pikulska dari Polandia. Termasuk hadir pula Dr. Mustofa dari Lampung.

Prof. Barbara adalah sahabat Cak Fuad yang bersama-sama berada di Dewan Pengawas Penjaga Bahasa Arab Di Yayasan Abdullah bin Abdul Aziz, Saudi Arabia. Prof. Barbara menyampaikan sambutan dengan diantar langsung ke Panggung oleh Cak Fuad. Kepada seluruh hadirin, Prof. Barbara mengatakan belum pernah menghadiri acara dengan jumlah audiens sebanyak ini. Ia mengatakan, Ustadz Fuad berhak dan pantas mendapatkan semua itu malam ini.

Prof. Barbara sangat senang bisa hadir di Padhangmbulan. Foto: Adin
Prof. Barbara sangat senang bisa hadir di Padhangmbulan. Foto: Adin

Bagi Prof. Barbara, Ustadz Fuad bukan sekadar dosen, guru, dan penggerak pendidikan Bahasa Arab, melainkan seorang ulama. Ke mana pun dalam acara-acara Majelis Umana’, Prof. Barbara selalu bersama Ustadz Fuad untuk berdiskusi terlebih keduanya adalah dua orang anggota yang datang dari negeri non-Arab. Juga bahwa Cak Fuad bukan hanya milik Indonesia, melainkan milik dunia. Untuk memudahkan jamaah memahami apa yang disampaikan Prof. Barbara, Cak Fuad meminta Mbak Kiki untuk menerjemahkannya.

Sebagai penghormatan kepada Bahasa Arab di mana Cak Fuad adalah sosok yang kita banggakan karena kiprahnya dalam pengembangan dan pelestarian Bahasa Arab yang notabene Bahasa Al-Qur’an dan juga untuk memudahkan pemahaman kepada tamu istimewa dari Bolandy ini tentunya–Sebutan Polandia dalam Bahasa Arab, segmen awal Padangmbulan yang dihost-in oleh Kiai Muzammil dibawakan bil lughotil arobiyyah-menggunakan Bahasa Arab.

Semakin istimewa Padhangmbulan tadi malam karena KiaiKanjeng membawakan dengan begitu apik musik dengan genre Timur Tengah khususnya lagu-lagu Umi Kultsum. Spesial lagu Attini dipersembahkan oleh Cak Fuad sendiri yang malam hari ini kita bersama-sama memperingati ulang tahunnya yang ke-70.

Dr. Mustofa turut memberikan ucapan selamat kepada Cak Fuad, juga memberikan wejangan kepada Jamaah Maiyah yang hadir. Yang menarik Beliau juga memberikan sebuah sharing, bahwa Beliau pernah mendapat dhawuh dari Mbah Lim agar beliau ngabdi kepada Mbah Nun.

Lewat pukul 23.00 tiba saatnya Mbah Nun hadir di tengah-tengah Jamaah. Butuh selantunan Sholawat Thola’al Badru untuk mengiringi perjalanan 20 meter perjalanan Mbah Nun dari ruang dalam menuju panggung.

Perjalanan Mbah Nun menuju panggung tersendat oleh begitu rapatnya ‘barikade keta’dziman’. Membelah jamaah yang sudah berjubel dan Mbah Nun menyambut jabat tangan demi jabat tangan jamaah.

Pemandangan barikade keta’dzhiman seperti yang terjadi di tengah-tengah Jamaah, juga apa yang diungkapkan oleh Dr. Mustofa tentang pengabdian, semua itu adalah hal-hal yang asing dan aneh keberadaannya di zaman ini.

Foto: Hariadi

Syukur Alhamdulillah, Mbah Nun menyampaikan bahwa kita hari ini sedang dalam masa peralihan dari zaman lama ke zaman yang baru. Kita sedang bersama-sama menyongsong zaman baru yang masing-masing kita belum memahami bentuk persisnya.

Di antara yang saya bayangkan, kelak di zaman yang baru, ilustrasi ‘Demokrasi Tawon’ yang disampaikan Mbah Nun akan benar-benar hadir pada kontestasi kepemimpinan masa depan.

Ketika zaman baru tiba, andai harus tetap ada kontestasi kepemimpinan tidak hanya ditentukan oleh manusia, tetapi juga alam, termasuk hewan-hewan. Tawon misalnya.

Menggelitik yang disampaikan Mbah Nun tersebut. Mbah Nun menyampaikan misalnya pada tahap akhir pemilihan, calon pemimpin dihadapkan pada kerumunan tawon.

Mungkin ada kandidat yang akan kalah oleh sengatan kerumunan tawon. Berarti dia tidak qualified sebagai pemimpin. Atau mungkin ada kandidat yang tahan diserang kerumunan tawon, tetapi ia mengintimidasi tawon-tawon itu. Artinya ia juga tidak layak.

Lalu seperti apa kandidat yang memenuhi syarat? Mungkin dia yang diserang kerumunan tawon tetapi ia tidak tersakiti. Juga ia tidak menyakiti tawon-tawon itu. Sebuah ilustrisi futuristik tentang demokrasi yang menarik. (Rizki Dwi Rahmawan)

Lainnya

Exit mobile version