CakNun.com

Sadar Hidup di Hutan Rimba

Dani Ismantoko
Waktu baca ± 2 menit

Pada Mocopat Syafa’at bulan November lalu dalam guyonannya, Mbah Nun menyampaikan bahwa beliau menemani orang menengah ke bawah. Disampaikan dengan guyonan khas Mbah Nun yang saat itu membuat para hadirin tertawa, bahagia, termasuk saya.

Dan saya bersyukur dengan adanya guyonan tersebut. Pertama, karena membuat banyak orang bergembira. Bahkan hujan yang turun menemani kami tidak menganggu kebahagiaan kami. Justru malah ikut menambah kebahagiaan.

Kedua, membuat saya menjadi berpikir, lebih baik menjadi masyarakat menengah ke bawah tetapi pikirannya sehat, logikanya jalan, akalnya berfungsi, daripada menjadi masyarakat menengah ke atas tetapi pikirannya sakit, logikanya mandek, akalnya tidak berfungsi.

Berita populer di media mainstream sudah cukup menunjukkan itu semua. Sebagian kalangan menengah ke atas sangat percaya diri dengan kesakitan pikirannya, kestatisan logikanya, ketidakberfungsian akalnya. Sayangnya, masyarakat justru memuja-muja itu semua. Diyakini sebagai uswatun hasanah melebihi kekasih-Nya.

Di dunia politik mereka hanya memikirkan dirinya sendiri. Kendaraan-kendaraan partai hanya dipakai untuk memantapkan surga dunia yang sedang mereka bangun. Tidak peduli rakyat kerengan, rumah digusur, penghidupan sulit. Sudah seperti itu, dengan tega mereka memukul-mukul dengan penthung-penthung Perppu kek, anti Pancasila kek. Juga menghipnotis masyarakat untuk membela-bela para pemukul itu bukan malah membela yang tertindas, yang dipukul.

Di dunia pendidikan, manusia diyakin-yakinkan bahwa manusia-manusia yang lahir dari kampung halaman Nusantara derajatnya rendah. Maka patut dinamai Negara Berkembang atau Negara Dunia Ketiga. Kemudian diyakin-yakinkan untuk tidak menjadi dirinya sendiri.

Di dunia kebudayaan yang masih ada kesinambungannya dengan dunia pendidikan, terjadi sebuah absurditas yang melenggang jauh melebihi normalnya sebuah absurditas. Ada seorang pekerja seni dari negeri yang kita cintai ini dengan percaya diri mencatatkan namanya di sebuah pasar global. Jargon andalannya adalah “Go Internasional”. Begitu bangganya dia. Setelah dilihat karyanya baik berupa audio maupun video, kalimat ini yang terbersit di benak saya, “Itu Indonesia atau Amerika?”. Berlanjut dengan kalimat berikutnya, “Oalah, kalau mau diakui secara Internasional ternyata harus menanggalkan identits ke-Indonesiaannya to, harus jadi Amerika”. Dan untuk menutupi itu semua, dibawa-bawalah nama batik.

Pada kesempatan lain ada sebuah kompetisi yang katanya sebagai simbol kesetaraan gender. Katanya sebagai bentuk dari kualitas, kehormatan perempuan. Perempuan yang mengikuti kompetisi tersebut dianggap sebagai perempuan yang berkualitas, terhormat. Padahal berbagai mitos tentang harga diri, kehormatan, kemandirian perempuan dalam kompetisi tersebut hanyalah topeng untuk menutupi perendahan harkat dan martabat perempuan. Dengan logika dan akal sehat mana seorang perempuan dikatakan berkualitas, terhormat dan berharga diri tinggi setelah mengikuti kompetisi yang di dalamnya harus berjalan lenggak-lenggok dengan busana yang mohon maaf, setengah telanjang.

Panganan opo iki. Logika dari kehidupan mana yang dipakai. Bahkan, mungkin di Galaksi Andromeda pun tidak ada jenis logika yang seperti itu.

Maka benar lah apa yang dikatakan Mbah Nun dalam Tetes yang berjudul Di tengah Hutan Belantara dan Beralamat Hutan Rimba. Maka manusia dibangkitkan secara global naluri kebinatangannya. Tidak hanya perihal fitnah memfitnah, tuding menuding, celaka-mencelakakan tetapi juga tampilan jasmaniahnya. Namun, yang paling membuat agak gedèk-gedèk alias mak dek adalah sindiran Tuhan bahwa manusia kalah sama hewan. Pasalnya hewan punya kesadaran tentang pagar rumah, manusia malah menghancurkan pagar-pagar negara, ikut dalam kontestasi ketidakberadaban global.

Syukur yang tiada habisnya terus saya rasakan, sampai-sampai kalimat Alhamduliiahirobbil’alamiiin tidak bisa mewakili rasa syukur itu, karena saya diperkenankan dan diberi hidayah untuk ikut segelombang, sefrekuensi dengan Maiyah sehingga saya diberi nikmat untuk punya krenteg hadir di acara-acara Maiyahan. Mungkin kalau tidak, saya tidak akan sadar bahwa di luar Maiyah saya hidup di hutan belantara, hutan rimba.

Lainnya

Fuadus-Sab’ah

Fuadus-Sab’ah

Qadla dan Qadar Menturo

Kalau kakak sulung kami bukan Cak Fuad, belum tentu kita punya kenikmatan Padhangmbulan dan Maiyah seperti ini.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib