Rupa Arupa
Mbah Sot menemukan manusia melorot secara pasti derajat dan maqam kehidupannya. Dari tingkat Keindahan yang ditawarkan oleh Allah untuk melakukan perjalanan menuju perjumpaan dengan-Nya, mereka turun ke dimensi Kebaikan, yang mereka simpulkan sebagai kelulusan hidup di dunia sehingga masuk Sorga.
Kemudian turun lagi ke dimensi Kebenaran, yang mereka banggakan dengan “minadhdhulumati ilannur”, dari kegelapan ke cahaya [1] (Al-Baqarah: 257). Skala ini juga utama dan manusia tidak punya kemungkinan kecuali memasukinya. Tetapi ternyata kemudian manusia melorot lagi ke lapisan yang terendah: yang disebut cahaya adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan mata. Yang kasat-mata. Ilmu Katon. Itulah yang kemudian membengkak jadi satu-satunya ideologi atau “Agama” dianut secara hampir menyeluruh oleh semua penghuni Bumi.
Materialisme yang melahirkan Kapitalisme dan Sosialisme. Pandangan “kanan” dan “kiri” yang dahsyat ini sama-sama menyembah “dialektika materialisme”. Kemudian lahir modernisme dengan Demokrasi yang indah, namun tetap juga ia hanya alat dan sarana untuk pencapaian materialisme. Bahkan dalam skala kecil orang melihat pohon dengan ambisi menikmati buahnya. Orang memakan mangga tanpa kesadaran tentang “pelok”nya. Orang melihat kemewahan bangunan tanpa mengingat fondasi dan cor tulang belulangnya. Peradaban Materialisme mendidik orang untuk meyakini yang ada adalah “rupa”, sedangkan yang “arupa” bukan hanya tidak tampak, tapi juga diam-diam disimpulkan sebagai tidak ada.
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (dan tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami” [2] (Yunus: 7). Mbah Sot wanti-wanti kepada teman-temannya agar tidak terlibat terlalu mendalam di kehidupan dunia. Dengan sejumlah alasan.