Remote Tangis dan Tawa
Brakodin menyaksikan paradoks pada ekspresi Markesot. Tak sengaja lewat tengah malam ia lewat dan menyaksikan bagaimana Markesot menangis mengguguk-guguk sesudah shalat. Duduk iftirasy, mengangkat kedua tangannya, sambil menangis. Kemudian bersujud dan tetap menangis. Sesudah itu hampir ia tertelungkup dan terus menangis.
Tentu saja Brakodin menjaga diri untuk tidak mengganggunya. Nanti kalau mereka duduk berdua, pasti Brakodin berlagak tidak pernah menyaksikan orang tua menangis cengeng itu. Dan ternyata setelah beberapa lama Markesot benar-benar muncul kepadanya, ketika ia melamun di pojok ruang – Brakodin kaget karena dilihatnya wajah Markesot sangat cerah.
Bahkan tersenyum-senyum. Kemudian duduk di depan Brakodin. Menatap wajahnya. Dan tiba-tiba ia menutupi mukanya dengan kedua tangannya, lantas tertawa. Tertawa terpingkal-pingkal dan berkepanjangan. Brakodin tidak mengerti apa yang terjadi pada Markesot, meskipun ia sudah sangat terbiasa dengan keanehan-keanehannya.
Di tengah tertawanya yang kelihatannya sangat menyeretnya sehingga susah berhenti, Markesot berkata: “Dan Dialah yang menjadikan manusia tertawa dan menangis…” [1] (An-Najm: 43). “Benar-benar Tuhan tidak main-main dengan setiap kata yang difirmankan-Nya. Sudah setua ini saya baru mengalami secara tunai kebenaran ayat-Nya itu….”
“Ada apa ini, Cak?”, Brakodin bertanya.
“Ada tertawa, ada menangis”, jawab Markesot, “Tuhan me-remote saya sehingga menangis dan tertawa, bukannya saya mau menangis dan tertawa”
“Kan tadi Sampeyan nangis sesudah shalat….”. Eh, kecolongan.