CakNun.com
Catatan Sinau Bareng HUT ke-53 PT Angkasa Pura I, Sidoarjo 24 Februari 2017

Rekrutlah Semua Pekerjaan Menjadi Ibadah

Redaksi
Waktu baca ± 11 menit
Angkasa Pura Juanda 24 Februari 2017
KiaiKanjeng membuka Maiyahan dengan soran beberapa nomor lagu. Foto: Adin.

Mengikuti perjalanan Cak Nun dan KiaiKanjeng dalam banyak hal berarti keharusan untuk siap melihat dan mengalami luasnya spektrum tema yang menghampiri Cak Nun. Tak hanya luas, tapi juga spesifik, unik, tak terbayangkan oleh kebanyakan orang, dan mungkin membuat kita berkata ‘bisa ya dan ada ya yang seperti itu.’

Seperti yang berlangsung malam itu di Halaman Kantor AOB Juanda Sidoarjo. Cak Nun dan KiaiKanjeng memenuhi undangan PT. Angkasa Pura I yang sedang punya hajat memeringati HUT-nya ke 53. Jika disaripatikan, inti yang menjadi concern Angkasa Pura adalah ‘Keselamatan’. Angkasa Pura sebagai perusahaan di bawah naungan BUMN yang bergerak di bidang pengelolaan bandara sadar betul akan kebutuhan pada keselamatan penerbangan. Transportasi pesawat adalah transportasi dengan teknologi tinggi dan canggih, tetapi tetap saja ada lubang di mana kecanggihan itu bukan jaminan akan keselamatan. Mereka sadar ada satu titik di mana manusia hanya bisa bergantung pada kekuasaan Allah akan keselamatan dirinya.

Maka, cukup menarik, justru dari para profesional di bidang penerbangan dan kebandaraan ini, muncul secara mendalam kesadaran kerendahhatian terhadap peran dan kekuasaan Tuhan, dan ini mau tak mau membawa kepada dimensi rohani.

Jika dirasakan, tema keselamatan yang menjadi perhatian Angkasa Pura ini merupakan kritik pedas dan frontal kepada kondisi kemanusiaan kita, di mana saat ini mungkin mayoritas kita terserap penuh sibuk oleh mencari penghidupan di dunia yang sarwa memuja kebendaan, atau dunia dan negara-kebangsaan kita diwarnai oleh pertikaian kesempitan kelompok, oleh perebutan kekuasaan, media sosial yang sebagian dihidupi oleh caci maki, seakan semua yang terucap keluar dari mulut tak ada kaitannya dengan nasib selamat atau tidaknya kita. Kesemuanya sadar atau tidak membuat kita tak lagi punya ruang bagi kosakata ‘keselamatan’. Bibir kita jarang mengucap kata doa memohon keselamatan.

Tetapi mengapa yang terlintas dalam benak Bapak-Bapak itu adalah mengundang Cak Nun dan KiaiKanjeng untuk bicara soal keselamatan? Apakah Cak Nun dan KiaiKanjeng adalah orang-orang yang doanya gampang dikabulkan atau sekurang-kurangnya melekat pada diri dan laku mereka aura yang kompatibel dengan kemustajabahan? Tentu tak pernah sedikit pun itu ada dalam benak Cak Nun dan KiaiKanjeng hal itu. Bahkan kerap Cak Nun mengatakan bahwa boleh jadi yang dikabulkan adalah doa atau amin dari satu orang di antara kita yang potongannya malah tidak mendukung sama sekali, orang yang tidak kita sangka, dan kita harus rendah hati. Ataukah Bapak-Bapak Angkasa Pura merasa bahwa Cak Nun punya pengalaman dan reformulasi yang mudah dipahami dalam menguraikan konsep-konsep hidup berhubungan dengan bagaimana orang mencapai keselamatan. Berbagai kemungkinan bisa mencuat.

Tetapi memang malam itu Cak Nun menyuguhkan banyak hal, kisah penerbangan yang Beliau alami, pengalaman KiaiKanjeng di pesawat, perangai penumpang pesawat, ekspresi iman di pesawat, “anak-anak” Beliau yang bekerja sebagai pilot dan pekerja di Bandara, minta foto di Bandara, ekspresi orang bertemu beliau di Bandara, dan yang tak kalah pentingnya pemahaman tentang ilmu, iman, dan keselamatan.

Sebelum ke situ, keluasan dan kepekaan rasa Cak Nun hadir lewat komunikasi mesra kepada jamaah yang kebanyakan anak-anak muda. Cak Nun menyapa mereka dengan kon atau arek-arek, karena memang mereka kebanyakan dari wilayah Surabaya dan sekitarnya. Cak Nun menjangkau, menyentuh, memihak terlebih dahulu level paling bawah dari struktur sosial. “Kon iku lewat Bandara ae gak tau, opo maneh numpak pesawat (kalian itu melewati bandara saja tak pernah, apalagi naik pesawat,” akrab Cak Nun. “Ben dino arek-arek iku ngelayani wong numpak pesawat telung tahun, tapi rung tau numpak pesawat. Tak dongakno kabeh mlebu suwargo (setiap hari anak-anak itu melayani orang naik pesawat selama tiga tahun, tapi malah belum pernah naik pesawat sendiri. Saya doakan masuk surga semua),” sapa Cak Nun kepada kelompok paling kecil di bandara ini. Suatu sikap yang menggambarkan upaya dekat hati kepada wong cilik.

Rekrutlah Semua Pekerjaan Menjadi Ibadah
Hidup tidak berarti selamat, mati tidak berarti celaka. Foto: Adin.

Cak Nun coba memahami Angkasa Pura, bahwa Angkasa Pura berupaya mempersembahkan pelayanan yang baik dengan ragam ilmu, pendekatan, prosedur, dan lain sebagainya. Bapak-Bapak pimpinan Angkasa Pura dibesarkan hatinya dan diyakinkan bahwa orang yang paling dekat dengan Allah adalah orang Bandara. Beliau-Beliau dan seluruh karyawan-karyawati yang duduk berbaur dengan jamaah diajak menegaskan diri “ke dalam diri harus beres” dan “keluar diri juga mesti beres”. Hal beres ini prinsip yang ditawarkan Cak Nun adalah Tadabbur. Yakni beres tidak hidup kita terlihat pada output-nya. Orang yang tadabbur hidupnya baik, yang akan keluar dari mulutnya pasti baik. Output Angkasa Pura adalah fakta pelayanan yang baik.

Lakukan Pekerjaan Yang Kira-kira Diterima Allah

Merespons keinginan Angkasa Pura agar diuraikan arti pelayanan atau kerja sebagai bagian dari ibadah, Cak Nun menjabarkan pelan-pelan. Dalam bahasa Arab, pelayanan adalah ‘ibadah’. Rumus dasarnya jelas: “Dan Tidaklah Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah”. Ibadah yang Allah tentukan bentuk dan caranya disebut ibadah Mahdhoh. Adapun yang manusia mendapatkan kesempatan untuk menciptakan cara dan konteksnya disebut ibadah Muamalah. “Kalau hidup hanya ibadah mahdhoh, terus apa sesudah itu. Habis sholat subuh, apakah lalu diam? Untunglah ada ibadah muamalah.”

Semua kembali kepada konteksnya. Maka, bagaimana jalan keluarnya sebab manusia tidak boleh hidup kecuali untuk ibadah? Jawabnya: semua pekerjaan di luar ibadah Mahdhoh direkrut menjadi ibadah. Jadi apapun saja diniati sebagai ibadah. Caranya? Caranya adalah semua laku diarahkan ke pekerjaan-pekerjaan yang kira-kira diterima Allah. Dan, agar supaya diterima Allah maka jangan sampai pekerjaan itu melanggar aturan Allah. Inilah kunci pertama dari Cak Nun. Niati sebagai ibadah dan tentukan perbuatan supaya Allah senang.

Sebagai orang yang sudah sejak remaja berkiprah di masyarakat dan bangsa Indonesia, salah satu implikasinya kerap pergi ke banyak wilayah, maka bandara bukanlah hal asing bagi Cak Nun. “Sejak akhir 70-an saya sudah akrab dengan Juanda,” cerita Cak Nun. “Penderitaan” di bandara adalah dimintai foto bersama oleh setiap kali bertemu orang. Tapi Cak Nun tetap melayani dengan baik dan berusaha tersenyum. Namanya juga difoto, masak tidak senyum, meskipun kadang pas lagi ngantuk-ngantuknya sehabis maiyahan semalam bersama masyarakat.

Banyak yang Cak Nun ungkapkan ihwal perasaan dan pandangannya tentang bandara. Cak Nun mengritik dan mengusulkan agar petugas check in atau pemeriksa tidak memperlakukan penumpang sedemikian rupa dengan memberi aba-aba berintonasi kurang ramah, misal “Ya jaketnya, jaketnya!”. Alangkah baiknya kalau perintah itu diganti saja dengan rekaman suara yang lebih ramah. Soalnya, nanti kalau pas petugasnya hatinya sedang tidak enak atau lagi ada masalah, nanti penumpang yang kena efeknya yaitu dengan cara diberi aba-aba dengan intonasi kurang santun.

Angkasa Pura Juanda 24 Februari 2017
Menara ATC tegak gagah perkasa menaungi lokasi Maiyahan. Foto: Adin

Cak Nun masih punya kisah lain. Tetapi intinya Beliau memahami bahwa bandara itu semua prosedurnya ketat. Runaway selama 24 jam selalu dicek. Tetapi, ketika perjalanan penerbangan sudah di atas, kepada siapakah penumpang bergantung? Sampai-sampai Gus Mus pun takut naik pesawat sehingga kalau bisa tak usah naik pesawat kecuali terpaksa. “Jika terjadi turbulensi atau guncangan, maka biasanya puncaknya saya adzan. Dan di tengah saya panik dan adzan itu lho kok ya penumpang di sebelah saya itu tidur angler ngorok. Sebenarnya iman siapa ini yang lebih tinggi, kok saya seperti kalah iman sama yang di sebelah saya,” cerita dan seloroh Cak Nun.

Sampai diceritakan pula, pernah dalam keadaan pesawat mengalami turbulensi, sekumpulan penumpang ibu-ibu malah ketawa-ketawa. Satu di antara mereka bisanya enteng bertanya, “gini ini kalau runtuh atau jatuh terus gimana ya?”. Yang lain malah menimpali, “Jangan di komplek perumahan jatuhnya, tapi di sungai saja.” Memang jika dihayati, Cak Nun menguraikan jika terjadi kecelakaan pesawat dan ada penumpang tidak mati, sedang sebagian lain mati, tidak lantas secara hakiki di hadapan Tuhan yang hidup tidak berarti selamat, dan yang mati tidak selamat. Hidup tidak berarti selamat, mati tidak berarti celaka.

Tetapi, dengan sifat high risk pesawat sebagai transportasi udara, maka seluruh seginya harus ketat dan perfect. Di sini ada prinsip yang tak boleh berlaku yaitu ‘manusia adalah tempatnya salah dan lupa’. Maka, Cak Nun mengajak semua karyawan Angkasa Pura untuk menemukan posisi-posisi kita bersama Allah di dalam pekerjaan-pekerjaan kita. Dalam kasus pesawat, jika komitmen dan tanggung jawab maksimal, karena harus perfect dan tak boleh ada kesalahan, Cak Nun mengatakan insyaAllah Allah akan memberikan kemurahan pada gilirannya.

Lalu bagaimana yang bernama keselamatan sebagaimana kita pahami selama ini? Cak Nun mengibaratkan bahwa di antara maksimalitas kerja manusia dengan hasil yang dikehendaki ada yang bernama “ruang gelap”, ruang yang tak bisa kita duga, tak bisa kita tembus, dan itu adalah milik dan wilayah Allah. Di situlah letak tawakkal.

Edukasi Publik tentang Kebandaraan dan Penerbangan

Sebagaimana biasanya dalam Maiyahan, Cak Nun selalu meminta didampingi oleh tuan rumah dan orang-orang yang relevan, agar hal-hal yang menjadi tema, fokus, dan kepentingan dapat mereka kemukakan langsung kepada publik atau audiens. Dan hal ini wajar saja kiranya tetapi yang asik di Maiyahan adalah bagaimana interaksi dan nuansa yang terbangun di bawah panduan Cak Nun. Dari sisi muatan, apa-apa yang disampaikan oleh Bapak-Bapak dari Angkasa Pura ini menjelma menjadi pendidikan publik tentang bagaimana memahami penerbangan dan bagaimana membawa diri di bandara dan pesawat. Banyak informasi-informasi yang jamaah atau audiens baru dengar secara lebih gamblang, khususnya Bandara Juanda Sidoarjo ini.

Angkasa Pura Juanda 24 Februari 2017
Menikmati Maiyahan di Bandar Udara. Foto: Adin

Beliau-beliau yang naik ke panggung mendampingi Cak Nun adalah Bapak Yuwono (GM Angkasa Pura Bandara Juanda), Bapak Yanus (GM Angkasa Pura Ngurah Rai Bali), Bapak Dadun (Kepala Otorita Bandara), Bapak Edwin (Danlanudal), dan Bapak Nur Hasan (GM AirNav). Ada pula manajer security, Camat baru, dan Danramil baru.

Jika dirangkum, berikut adalah informasi dari para narasumber tersebut. Bandara Juanda adalah bandara terpadat ke-2 di Indonesia dengan 100 take off per hari, dan ada penerbangan di atasnya sebanhak anntara 400-450. Artinya setiap 2,3 menit ada pergerakan pesawat. Surabaya merupakan target wisata dengan 15 juta wisatawan pada 2017 ini. Ada 13 rute di atas Juanda, dan sebagaimana jalan-jalan di darat, rute-rute tersebut juga ada namanya, seperti W45, M65, dan lain-lain. 13 rute tersebut terbagi menjadi dua yaitu 10 rute domestik, dan 3 rute internasional. Pada skala dunia, Bandara Juanda merupakan terpadat ke-5, dari Jakarta ke Surabaya.

Terdapat 88 orang di Bandara Juanda ini yang bekerja untuk sistem navigasi, tower, radar, dan alat-alat bantu navigasi. Kesemua alat itu berfungsi untuk melihat titik-titik pesawat di mana berada, pada ketinggian berapa pesawat tersebut, bergerak ke arah mana, dengan kecepatan berapa, dan nama pesawatnya apa. “Yang tak tercatat oleh alat-alat ini adalah nama pramugari,” seloroh Pak Nur Hasan.

Jarak yang aman antar pesawat adalah 1000 kaki atau sekitar 300 meter, sementara jarak horisontalnya adalah 5 mil atau 8,6 kilometer. Intinya, tak boleh berdekatan antar pesawat karena akan menimbulkan gelombang yang mengakibatkan turbulensi. Untuk presisi, di bandara terdapat instrument landing system (ILS) agar pesawat tidak mendarat di tempat lain. ILS ini memiliki dua komponen.

Angkasa Pura Juanda 24 Februari 2017
Bersyukur dengan kegembiraan. Foto: Adin.

Hal-hal yang membahayakan penerbangan pesawat di antaranya adalah sinar laser. Ini bisa menyebabkan kaca pecah, atau keadaan di mana pilot tidak bisa melihat arah atau melihat medan di depannya. Pernah terjadi di Bandara Soetta pesawat tak bisa turun mendarat karena terkena sinar laser. Layang-layang, balon udara, mercon, dan yang terbaru drone adalah beberapa benda lain yang potensial mengganggu keselamatan penerbangan. Sebab bisa dilihat, pesawat itu senditi terdiri atas barang atau bahan yang vital. Di bawah sayap, terdapat mesin, dan kalau meledak bisa sangat berbahaya. Belum lagi barang-barang yang dibawa di dalam bagasi. Pada prinsipnya, pesawat adalah benda melayang yang tak boleh tersenggol dan tersentuh oleh benda lain.

Sekarang berbicara tentang keamanan atau sekuritas. Tugas security adalah mengecek penumpang berikut barang-barangnya demi tercapainya keselamatan di dalam pesawat. Di Bandara Juanda ini terdapat 740 orang personel keamanan yang dilengkapi dengan peralatan seperti sinar X. Ada 400 CCTV di Bandara Juanda yang merekam seluruh aktivitas yang berlangsung. Dalam catatan petugas keamanan, barang-barang yang sering dibawa dan berbahaya alias tidak boleh adalah gunting, pisau, dan korek api. Barang-barang ini seharusnya dimasukkan ke dalam bagasi. Tak selayaknya dilakukan penumpang adalah bergurau tentang bom. Ini bisa mendapat tindakan. Semua hal itu terjadi karena ketidaktahuan. Apabila terjadi ketinggalan barang, segera saja penumpang melapor kepada petugas, insyaAllah segera ketemu, karena ada alat pendeteksi yang lengkap dan canggih.

Bandara Juanda sering mendapatkan penghargaan internasional maupun nasional. Pada awal 2017, bandara ini meraih prestasi no. 1 dalam hal ketepatan waktu pesawat pada tingkat dunia. Kebersihan toiletnya pun no. 1. Untuk kecepatan dan kualitas wifi-nya no. 13 dunia.

Ada satu lagi yang bekerja untuk penerbangan, yatiu badan otorita, yang bertugas melaksanakan pengawasan atas semua yang berlangsung di bandara agar sesuai dengan peraturan nasional dan internasional supaya para pengguna atau penumpang selamat semua. Mengingat tak kurang 60 ribu orang per hari ada di Bandara ini.

Tetapi, meskipun high risk, penerbangan pesawat sebenarnya justru merupakan alat transportasi yang paling aman dilihat dari sisi ketatnya prosedur teknis atas kondisi dan pengoperasian pesawat itu sendiri. Mulai dari baut, roda, bahan bakar, kabin, semuanya melalui tahap laboratorium yang berlapis-lapis, dan setiap hendak berangkat harus dicek, demikian pula setiap kali datang. Bahkan baut yang baru umur 10 hari dan kondisinya masih bagus, tetap harus diganti. Seluruh regulasi diikuti di seluruh dunia secara seragam dan semua petugasnya bersertifikat.

Memohon Keselamatan Dengan “Washilah” Nabi Nuh

Seperti sudah dikatakan, betapapun canggih seluruh prosedur teknis, tetap saja keselamatan ada di tangan Tuhan, sebab bisa saja ada yang luput dari pengetahuan manusia. Dan sepenuhnya, Bapak-Bapak Angkasa Pura ini merasakan kebutuhan akan bergantung kepada Allah sekaligus mewakili kepentingan seluruh penumpang pesawat.

Angkasa Pura Juanda 24 Februari 2017
Dialektika komunikasi yang imbang di Maiyahan. Foto: Adin.

Selain telah menyampaikan pesan tersirat melalui cerita-cerita sebelumnya di mana perangai dan mental manusia harus dibenahi, harus rendah hati, dan tidak cengengesan saat berada di atas pesawat, merespons permohonan doa Kepala Badan Otorita agar Bandara Juanda ini berkembang dan diliputi keselamatan, serta menghubungkan dengan upaya meraih keselamatan penerbangan, Cak Nun menyebut dan menguraikan dua ayat dan satu doa. “Bismillahi Majreeha wa Mursaahaa….”, “Bismillahilladzi la yadhurru ma’asmihi syai’un fil ardhi wa la fissamaa’i wa huwas samii’ul ‘aliim”, dan “salamun ‘ala nuuhin fil ‘alamiin”. Diterangkanlah konteks masing-masing doa ini. Intinya, datangilah Allah dengan karakter-karakternya. Juga do’a yang terakhir itu intinya tak ada bahaya melebihi banjir Nabi Nuh, maka dengan doa itu, dengan doa mohon perlindungan dari bahaya sebesar bahaya banjir Nabi Nuh, mudah-mudahan terhadap bahaya yang lebih kecil dari itu di alam semesta, termasuk bahaya penerbangan di udara, ini Allah berkenan menyelamatkan kita dan menyelamatkan penumpang pesawat.

Secara apik dan kontekstual, Cak Nun menjelaskan ungkapan Man Jadda Wajada itu sebenarnya adalah presisi dan fokus. Melakukan sesuatu sampai tingkat presisi. Presisi dari ilmu adalah hikmah. Yaitu presisi yang terlembut: hakim/hikmah. “Pekerjaan yang dilakukan Pak Nur Hasan itu pekerjaan ‘hakim’, karena harus presisi,” jelas Cak Nun.

Masih ihwal pengelolaan Bandara, Cak Nun bercerita, dulu Garuda Indonesia mendapatkan penghargaan karena sikap pramugarinya kultural manusiawi. Senyumnya sungguhan. Sementara pada maskapai lain, senyumnya senyum birokrasi. Cak Nun berpesan, agar kita jangan kehilangan kesungguhan itu. Secara lebih utuh, yang dibutuhkan adalah bagaimana membuat peraturan yang tak hanya teknis, tapi bertitik tekan pada karakter.

Biar bagaimanapun, jelas Cak Nun, para penumpang itu membayar, maka pelayanan pertama itu di wajah alias ekspresi budaya, bukan di sisi teknis. Setiap karyawan perlu di-training benar karena mereka yang berhadapan langsung setiap hari dengan konsumen. Hakikat-hakikat aturan harus dikasihtahukan kepada mereka para petugas itu. Termasuk dalam hal ini, memang harus standar perlakuan kepada setiap orang, tetapi ada orang-orang tertentu yang perlu diperlakukan berbeda. Ibaratnya, Anda punya warung, kemudian orangtuamu datang ke warung itu, pasti Anda memperlakukan berbeda dengan konsumen pada umumnya. Itulah salah satu bentuk harus presisi.

Banyak hal yang telah disampaikan Cak Nun sepanjang segmen paparan dari bapak-bapak Angkasa Pura ini, di antaranya karakter antropologis manusia Indonesia, tentang makna Fasiq (lupa diri), apa yang saat ini berlangsung di Indonesia yaitu bekerjanya Kilabun Naar (karakter dan perilaku orang-orang munafik), cara tasbihnya makhluk selain manusia, Angkasa Pura dalam konteks Ziro’ah, Shina’ah dan Tijaroh, susahnya Nabi Nuh kalau harus menyeleksi calon penumpang perahunya jika itu terjadi saat ini, salah kaprah logika dan budaya di Indonesia, dan cerita Beliau tentang apa yang belum lama ini disampaikannya kepada Pak Enggar Menteri Perdagangan bahwa Indonesia ini kapi’en (terlalu baik) mau saja dijajah begitu rupa.

Angkasa Pura Juanda 24 Februari 2017
Merasakan ketulusan dan kegembiraan. Foto: Adin.

Sinau Bareng malam itu benar-benar kuat rasa ketulusan dan kegembiraannya. Bapak-Bapak Angkasa Pura ini tak kelihatan sebagai orang-orang penting karena semuanya memakai baju laiknya mau pengajiannya. Beliau-beliau juga sangat takzim kepada Cak Nun. Beberapa staf beliau yang mengawal acara malahan terlihat memakai peci Maiyah. Beliau-beliau menyaksikan banyaknya orang atau jamaah yang datang ke acara ini, dan semuanya tertib, serta menyimak acara dengan baik. Suasana yang enak juga lahir oleh musik KiaiKanjeng. Beliau-beliau menikmati musik KiaiKanjeng sedari nomor awal Shalawat Badar Mandar, Ilir-Ilir, One More Night Maroon 5 ala KiaiKanjeng, Beban Kasih Asmara, dan nomor-nomor lain.

Jika saat Bapak-Bapak itu menyampaikan wawasan tentang bandara dan penerbangan, maka seluruh jamaah dan masyarakat mendengarkan tak ubahnya mendapatkan edukasi publik, maka saat tanya jawab dibuka Cak Nun, di situlah giliran Bapak-bapak dan para karyawan mendapatkan pemandangan yang berbeda. Ini suatu timbal-balik dan pertukaran ilmu dan wawasan yang unik, meski mungkin tak disadari sebelumnya. Kini, Beliau-beliau mendengarkan bagaimana dan apa muatan pertanyaan-pertanyaan yang dimintakan respons atau jawaban kepada Cak Nun, dan sebagian kepada Beliau-Beliau. Mereka melihat beragam fenomena manusia, dan lebih penting lagi adalah bagaimana Beliau-beliau melihat kesabaran dan ketelatenan Cak Nun dalam merespons pertanyaan dengan cerdas dan bijaksana. Kepada CakNun.com Pak Yuwono mengatakan, tidak membayangkan ada pertanyaan-pertanyaan seperti itu dan tidak membayangkan akan bisa menjawabnya.

Betapa tidak, pertanyaan-pertanyaan itu merentang mulai dari soal dasar agama, mengapa shalat itu menghadap Ka’bah, bisakah manunggal dengan Allah tanpa melalui Islam, tentang memahami ayat ‘9 orang yang bikin pengrusakan di bumi, mengapa Presiden Indonesia kebanyakan orang Jawa, pertanyaan seorang dokter tentang bagaimana caranya hati stabil sehingga bisa baik melayani orang, apa arti Janjuk, dan beberapa pertanyaan lainnya.

Sementara itu Pak Yanus GM Angkasa Pura Ngurah Rai yang sejak awal begitu serius menyimak Cak Nun, mengungkapkan kepada CakNun.com, salah satu yang ditangkap dari paparan Cak Nun adalah bagaimana agar manajemen dan petugas bandara mampu memadukan keketatan teknis prosedur dengan kebutuhan akan karakter kultural.

Sampai berakhirnya acara, Bapak-Bapak pimpinan Angkasa Pura tetap duduk tak beranjak hingga Cak Nun mengajak semuanya berdiri dan berdoa. Area Kantor AOB Angkasa Pura itu serasa padat, bercahaya, dan seakan telah terlingkari oleh kekuatan doa. (Helmi Mustofa)

Lainnya

Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Exit mobile version