CakNun.com

Rama Guru Kahfiyah

Nurhasan Wirayuda
Waktu baca ± 4 menit

Membaca buku Suluk Pesisiran, buku yang berisi 10 suluk dari 41 suluk Cirebonan yang dipuitisasi oleh Mbah Nun, saya menemukan khasanah-khasanah ilmu yang sering dipakai di Maiyahan. Misalnya dalam Suluk Gedhong, tentang Kun! Maka ‘berlangsunglah’ segala yang ada di alam semesta.

Saya juga jadi teringat sebuah Pengguron di sebelah timur Keraton Kanoman, yang pada mulanya dibentuk oleh putra mahkota Sultan Kanoman I, yang lebih memilih menepi untuk menghindari kekuatan Kumpeni yang sudah masuk ke wilayah keraton. Semacam lijdelijk verzet, atau melakukan perlawanan diam-diam dengan tujuan memperkuat ketahanan budaya Cirebon serta untuk memperdalam agama Islam, khususnya melestarikan ajaran tasawuf Syatariah.

Pengguron atau tempat belajar ini dibimbing oleh seorang Rama Guru, kalau dalam tarekat disebut Mursyid. Corak ajaran tasawuf dari Pengguron ini adalah Wahdat al wujud, di mana Tuhan dipandang sebagai satu-satunya wujud dalam arti yang sebenarnya.

Pengguron ini berbeda dengan pondok pesantren yang mewajibkan santri mondok atau menetap dalam menuntut ilmu. Orang-orang datang, membawa niat dan persoalan masing-masing, menginap satu-dua malam lalu pulang.

Sedikit banyaknya Pengguron ini punya andil ketika terjadi kerusuhan besar di Cirebon yang puncaknya pada tahun 1816. Kaum petani yang sebelumnya ditindas dan dilemahkan oleh tuan tanah Tionghoa, lalu dikenai beban pajak yang sangat tinggi di zaman Raffles, melawan dengan dikomandoi oleh golongan Ulama. Sayang perang besar ini jarang orang yang tahu, seperti tersembunyi atau sengaja disembunyikan, padahal bila dilihat dari lamanya waktu, berlangsungnya perang tersebut lebih lama daripada perang Diponegoro yang terjadi sembilan tahun kemudian.

Berkaitan dengan pengguron tersebut saya kira polanya mirip dengan Maiyah. Kalau dilihat dari segi jamaahnya, jamaah Maiyah juga tidak tinggal menetap seperti pondok pesantren, tetapi datang dari berbagai penjuru ke acara-acara Maiyahan dan setelah selesai langsung bubar jalan.

Seperti halnya Pengguron tadi, Maiyah memilih menepi, mengambil jarak dan menyingkir dari pusat kekuasaan. Sejak awal Maiyah sebagai organisme menegaskan tidak akan berkembang dan memadat menjadi sebuah organisasi, tidak berafiliasi dengan kelompok-kelompok kepentingan manapun, apalagi akan menjadi partai politik untuk ikut dalam pemilu 2019.

Maiyah hanya menjadi Pengguron, tempat belajar atau sebuah majelis ilmu untuk mengembangkan pola dan cara berpikir. Kalau menurut pandangan subjektif saya, Maiyah sebagai gerakan konter kultur terhadap arus zaman. Contoh salah satunya, di tengah derasnya arus media sosial yang meniadakan pola komunikasi bertatap muka, Maiyah tetap konsisten melakukan muwajjahah. Coba tengok misalnya Kenduri Cinta di Jakarta yang sudah berlangsung selama 17 tahun, atau Padhang Bulan yang jauh lebih lama dari Kenduri Cinta, tradisi bertatap muka dalam berdialog dan berdiskusi terpelihara dengan baik sampai sekarang.

Jadi wajar bila di suatu simpul Maiyah, jamaah dilarang melakukan perekaman video baik online maupun offline, karena akan mengurangi esensi dari bertatap muka dan juga dikhawatirkan akan terjadi kesalahpahaman. Sebab, ada nuansa yang berbeda jika kita melihat dan mengalami peristiwa secara langsung dibanding dengan melihat lewat video. Apalagi video tersebut memang sengaja dipotong-potong, diadu dengan pernyataan Ulama ini dan Ulama itu demi meningkatkan viewers dan mendapat lebih banyak lembaran dollar.

Dari sekian persamaan tadi, ada juga perbedaannya. Pertama, skala wilayah Maiyah lebih luas, tidak hanya di daerah tertentu saja, bahkan ada juga simpul Maiyah di Korea Selatan. Kedua, ruang lingkup pembahasannya pun tidak melulu soal tasawuf, apa lagi perdebatan tentang halal-haram. Mulai dari perkembangan IT sampai konsep bernegara tidak luput dari pembahasan Maiyah. Ketiga, tidak ada landasan baik secara akademis maupun non-akademis untuk mengaitkan antara gerakan jamaah maiyah yang “dibimbing” oleh Mbah Nun dengan gagasan pemikiran yang berkembang dalam sufisme.

Mbah Nun sendiri secara formal bukan anggota tarekat tertentu, tetapi ajaibnya gagasan apapun yang terkandung dalam literatur tasawuf lebih mudah diuraikan oleh Mbah Nun dan lebih gampang dimengerti. Misalnya dalam tarekat Syatariyah tentang wahdat al wujud, hanya dengan sekali pertemuan di Kenduri Cinta sambil santai makan cilok, akan lebih mudah masuk  daripada duduk satu semester diajar oleh Doktor pengajar tasawuf di perguruan tinggi.

Namun ketika banyak orang yang bertanya apa aliran tarekatnya, “entah serius entah guyon menjawab sambil tertawa kecil: Tarekat Kahfiyah.” — Daur II-192Tarekat Kahfiyah

Tarekat kahfiyah mungkin bisa berarti suatu jalan sunyi. Mungkin juga jalan tersembunyi atau sengaja disembunyikan oleh Tuhan. Misalnya, suatu ketika saya melihat sampul buku yang berjudul 500 tokoh muslim dunia paling berpengaruh, iseng-iseng saya buka karena ingin tahu isinya adakah nama Mbah Nun terselip di dalamnya, ternyata tidak ada.

Menjadi salah satu inisiator penggerak reformasi, tapi tidak disebut tokoh reformasi. Menulis setiap hari, hingga menelurkan sedikitnya 50-an buku tidak masuk dalam nominasi penerima nobel sastra. Mondar-mandir menyeterika bumi, menemani masyarakat kecil dan membesarkan hatinya difitnah cari rezeki. Banyak omong tentang negara, dibilang negarawan dadakan, dan banyak lagi yang lainnya. Kalau begitu apa posisi beliau kalau bukan pemimpin sebuah jalan tarekat kesunyian, tarekat kahfiyah?

Dari beliau saya belajar banyak hal. Hal paling pertama yang saya belajar dari beliau adalah tentang menekan eksistensi diri. Berusaha tidak menonjol-nonjolkan diri, bahkan siap untuk dianggap tidak ada. Karena memang aslinya saya ini nggak ada.

Bagi saya beliau adalah guru spiritual. Andaikan saya orang Aceh, tentu akan saya panggil beliau Tengku, atau Tuanku kalau saya orang Minang. Namun karena saya orang Cirebon maka bolehlah saya menyebut beliau Rama Guru. Meskipun beliau tidak akan mau dianggap mursyid dan tidak akan mau mengakui saya sebagai murid. Yang penting kan tidak menghalangi posisi Allah dan Rasulullah di hati saya.

Terakhir, apakah Maiyah akan punya andil seperti Pengguron di Cirebon yang melawan penindas dari Golongan Kumpeni dan tuan tanah Tionghoa? Saya kira jawabannya, ya. Tetapi mungkin waktunya agak lama. Karena zaman yang dihadapi berbeda, tantangannya pun jelas berbeda.

Dahulu musuhnya kelihatan jelas, siapa yang menindas siapa yang ditindas. Mana yang menginjak, mana yg dilemahkan. Kalau zaman sekarang, yang ditindas dan dilemahkan malah merasa sedang dijunjung dan dimuliakan. Kalau ada orang yg memberi tahu bahwa dia sedang ditindas, malah memaki-maki orang yang memberi tahu. Di sosial media gampang sekali diadu domba. Tawur dengan sesama, bahkan dengan saudara kandung sendiri. Hanya gara-gara satu kata PKI, atau yang terakhir tentang Pribumi.

Saya jadi teringat nasehat Mbah Nun dalam daurnya:

Maka pelajaran utama adalah menahan diri, membungkam mulut dari sesumbar dan meneriakkan amarah-amarah” Daur II-026 Allah Yang Melempar.

Sekali lagi menurut pandangan subjektif saya, di zaman ini hanya Maiyah yang punya presisi cara berpikir dan punya ketepatan dalam mengidentifikasi akar suatu masalah. Mudah-mudahan pandangan saya ini salah. Tetapi kalau yang ini kayaknya benar, hanya Maiyah yang rajin menanam, dengan prinsip segitiga cintanya membuat sesaji agar Tuhan segera mengabulkan janjinya seperti dalam surat Al-Qasas ayat 5: “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).”

Jakarta, 23 Oktober 2017

Lainnya

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i bukan menghakimi, pluralisme bukan pluralitasnya. Meng-Hakim-i maksudnya di sini adalah menempatkan kesadaran Al-Hakim kepada objek yang sedang kita bedah bersama.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil
Falyatanaffas, Falyataglobal

Falyatanaffas, Falyataglobal

Ketika membaca Daur 115, Jam Terbang Bopo Adam beberapa waktu lalu, tiba-tiba ide ini muncul.

Muhammad Humaidi
M. Humaidi