CakNun.com

Pulang ke Kampung Halaman Berbekal Kekosongan

Hilwin Nisa
Waktu baca ± 4 menit

Sudah bukan rahasia lagi, terlebih bagi kita ummat Islam, bahwa segala apa yang ada di alam semesta ini, semua berasal dari Yang Tunggal. Karena kecintaan-Nya pada nur Muhammadlah, Dia menciptakan semesta beserta seluruh aksesorinya. Saya, Anda, dan mereka semua hanyalah perwujudan cinta-Nya kepada sosok insan kamil itu. Ibaratkan, kita hanyalah sebagai bahan tambahan, sebagai pemanis busana yang memang sudah sangat manis meski tanpa kita harus ikut mempermanis sekalipun. Dan sebagai hiasan, tentu kita tak akan ada artinya jika tidak melekat pada sang busana. Ya, kita tak akan ada artinya jika tidak gondhelan kepada Kanjeng Nabi kita.

Begitulah sedikit gambaran akan asal- muasal kita. Itulah kampung halaman kita. Dan dari sanalah titik awal lakon kita di ‘panggung sandhiwara’ ini akan bermula.

Keniscayaan Mengembara

Kalau dalam pelajaran hitung-hitungan yang selama ini diajarkan kepada kita, dari yang satu itu bisa saja ia menjelma menjadi dua, tiga, empat, dan seterusnya. Satu bisa mengembara ke mana-mana. Ia mendadak bisa menjadi bilangan positif yang tak berhingga. Pun bisa juga menjadi bilangan negatif yang tak akan ada kata sudah bila kita menghitungnya. Suka-suka si satu mau jalan ke mana.

Begitu juga dengan Sang Maha Tunggal, Yang Maha Esa. Siji-sijine sing sejatine ana. Satu-satunya yang sejatinya ada. Karena kecintaan-Nya kepada kekasih-Nya, dari ketunggalan-Nya itu Ia memancar ke mana-mana dan menjelma menjadi apapun saja, menjadi semesta dan segala apa yang ada di dalamnya.

Lebih-lebih jika yang kita sorot adalah sosok bernamakan manusia. Dari sekian banyak cipratan Sang Satu, manusia ini tergolong makhluk yang unik bin nyentrik. Ia berbeda dengan kebanyakan ciptaan lainnya. Atau, sepertinya memang hanya manusialah satu-satunya makhluk yang sengaja didesain sedemikian rupa. Ia di-setting dengan dititipi program karep dalam dirinya. Hingga ia pun sangat berpotensi untuk selalu berpindah-pindah. Ia sangat berpeluang untuk berubah-ubah. Ibaratkan bilangan tadi, detik ini ia menjelma menjadi lima, dua menit kemudian sudah menjadi sembilan, lalu balik ke satu, lari ke sembilan lagi, dan begitu seterusnya. Dinamis. Begitu orang-orang mencoba membahasakannya.

Lebih sederhananya, ada baiknya sejenak kita mengingat-ingat kembali saat kita masih bocah. Atau, kalau sudah lupa dan masih mempunyai anak kecil, coba lihat polah tingkahnya. Atau, kalau sudah lupa dan belum punya anak karena memang belum berkeluarga, coba deh kita perhatikan barang sebentar saja anak-anak tetangga kita. Hampir kebanyakan bocah-bocah itu memang sukanya mbolang. Mereka suka bermain-main ke luar rumah bersama teman-teman sebayanya. Mereka tampak sangat antusias saat akan pergi ke luar rumah, sekadar bermain ke rumah teman ataupun jalan-jalan.

Uniknya, ternyata aktivitas mengembara, mbolang, dan yang sebangsanya itu tak hanya dilakukan para bocah saja. Bahkan ketika kita sudah beranjak dewasa sekalipun, tak sedikit dari kita yang masih saja melakukan pengembaraan. Entah itu karena sekadar memenuhi keinginan atau memang karena sebuah tuntutan. Yang jelas, akan ada masanya suatu ketika kita sudah tak lagi mengembara. Kembali ke rumah ataupun kampung halaman, dan menghabiskan sisa waktu kita di sana.

Hanya saja, meskipun sama-sama kembali, tentu rasa yang dirasakan setiap kita tak akan selalu sama. Ada yang sudah sangat akrab dan merasa sangat tenang telah kembali. Karena ia telah kembali bersatu dengan yang dirindu. Ada pula yang merasa sangat canggung. Aneh. Ia merasa sudah lupa dan tidak akrab dengan rumahnya sendiri. Ia merasa asing di kampung halamannya sendiri.

Begitu juga dalam hidup. Memang sudah menjadi sebuah keniscayaan, bahwa kita manusia yang mendapat stempel dinamis ini suka mengembara. Entah itu pengembaraan jasmani maupun rohani. Dan yang pasti, suatu saat kita pun pasti akan kembali pada titik asal kita. Kita akan kembali pada asal muasal kita.

Hanya saja, ada banyak macam rasa yang berkemungkinan akan kita rasakan saat kembali. Mungkin saja kita akan merasa senang, karena telah bertemu dengan Puncak Kerinduan. Selain itu, karena kita memang masih tetap saja akrab dengan-Nya. Kita masih akrab dengan ‘kampung halaman’ kita. Ada pula kecanggungan yang tak kalah berpotensi hadir dalam benak kita. Karena kita merasa asing dengan asal-muasal kita. Kita merasa asing dengan rumah dan kampung halaman kita.

Pulang ke Kampung Halaman

Lagi-lagi pilihan tetap ada di masing-masing kita. Apakah kita menginginkan ketenangan dan kenyamanan yang akan menemani detik demi detik saat kita kembali nanti. Ataukah kita lebih memilih nuansa serba keterasingan yang tentu saja tidak akan mengenakkan. Sedang kita tahu, di sanalah tempat kembali yang paling abadi. Tak ada lagi tempat singgah lain saat kita telah benar-benar kembali.

Jika berkaca pada kisah di atas, masalah rasa tersebut lebih cenderung muncul karena keakraban. Sedang akrab dan tidaknya itu bisa muncul karena kebiasaan. Kita sudah terbiasa saling bercengkrama. Atau, kalaupun tidak biasa bercengkrama, ada ikatan kuat yang masih tetap berusaha kita jaga. Ikatan antara kita dengan asal-muasal kita. Dan jika mengingat sifat dasar kita yang tidak statis, pilihan kedua ini dirasa lebih berat daripada yang pertama. Meskipun tetap saja ada peluangnya.

Katakanlah kita mengarah pada pilihan yang pertama. Kita lebih cenderung untuk mengasah kebiasaan sebagai sumber keakraban yang akan memberikan kita ketenangan dan kenyamanan, saat kita berpulang nantinya. Saat kita telah benar-benar kembali pada kampung halaman kita yang sebenarnya. Yang namanya kebiasaan, sudah barang tentu kita pun membutuhkan latihan juga. Lalu, latihan seperti apa yang bisa kita lakukan? Apa kita harus latihan bunuh diri, lalu meminta pinjaman nyawa lagi, dan begitu seterusnya kita lakukan berkali-kali.

Tunggu sebentar. Jika tujuannya adalah kembali kepada Yang Satu, kembali pada asal muasalnya segala sesuatu, kenapa juga kita tidak berguru pada barisan bilangan-bilangan itu. Sekalipun satu bisa menjelma menjadi bilangan berapa pun saja, nyatanya bilangan-bilangan itu tak kehilangan akal untuk bisa segera kembali pada yang satu. Ya, bilangan-bilangan itu mempunyai jalan pintas untuk bisa segera kembali menjadi satu. Bukankah berapapun bilangannya, jika ia dipangkatkan ‘nol’, ia akan menjadi satu?

Pun juga dengan manusia. Siapapun dan di mana pun kita, nyatanya kita juga bisa menyapa Yang Satu, sebagai latihan sebelum benar-benar terjadi perjumpaan agung itu. Dengan terus belajar mengosongkan diri, mengerjakan apapun saja tanpa ada pamrih selain hanya karena-Nya. Terus berusaha mengikis apapun saja yang selain-Nya dalam diri kita. Terus berusaha memperbarui syahadat kita, bahwa hanya Dia-lah satu-satunya yang menjadi tujan kita.

Sekali lagi, agar kita bisa berpulang ke kampung halaman sejati kita dalam keadaan ridla lagi diridlai, tak ada salahnya kita mencoba untuk terus latihan. Latihan mudik berkali-kali sebelum benar-benar mudik yang sejati. Terus berusaha mengosongkan diri agar tetap bisa menjadi fitri. Dan kita benar-benar bisa menjumpai hari raya yang fitri, hari agung perjumpaan kita dengan Yang Sejati.[]

Lainnya