Puasa Kebenaran,
Buka Bersama Kebaikan
Pasti kedengaran aneh bila dikatakan kepada kita jangan omong-omongkan kebenaranmu kepada orang lain, apalagi sampai kau memaksakannya. Layangkanlah pandangan ke sekeliling, tengok isi media sosial, dan simak tayangan-tayangan di televisi, amat mudah kita jumpai hal yang sebaliknya, di mana saudara-saudara kita demikian bersemangat menghendaki orang lain berpandangan seperti kita punya pandangan atau berlaku sebagaimana kita mempendapatinya harus demikian.
Entah merupakan naluri ataukah terbangun melalui pendidikan dan sosialisasi, kenyataannya kita sedari dulu punya mindset atau kesukaan mengajak orang mengikuti kebenaran yang sudah bersemayam di dalam kepala kita. Kita tidak sempat bertanya pada diri kita sendiri, tidakkah gairah kita menegakkan dan mempromosikan kebenaran kita itu akan menghasilkan perbenturan antar kebenaran .
Sesungguhnya hari-hari ini tidak terlalu sulit dirasakan bahwa kita tengah berada pada situasi seperti itu. Kebenaran masing-masing kita berposisi berhadap-hadapan dan kemudian keras berbenturan. Satu sama lain saling menegasikan. Dari kebenaran pada tingkat kecil seperti kebenaran politik memilih gubernur hingga kebenaran makro-global-sistemik tentang bangunan peradaban manusia. Sedemikian keras dan besar ongkosnya, maka sebenarnya kita pun harus berpikir meninjau kembali apa yang salah dalam kita memahami dan menempatkan kebenaran itu.
Dalam dua Maiyahan terakhir, termasuk tadi malam di UII, Mbah Nun mengajak kita untuk menata letak kembali apa-apa yang ada di dalam diri kita. Menyangkut kebenarannya, misalnya. Di sini, Mbah Nun mengajak: kebenaran itu jangan diomong-omongkan. Kebenaran itu letaknya di dapur. Yang kita bawa ke ruang tamu adalah kebaikan, kasih-sayang dan cinta kasih kepada orang, serta sikap sosial yang harmonis. Kebenaran adalah bekal di dalam dirimu untuk berbuat baik kepada orang lain. Demikian Mbah Nun merumuskannya.
***
Seperti biasanya saya mengikuti Sinau Bareng, dan tadi malam Sinau Bareng diselenggarakan oleh FPSB UII dalam rangka miladnya ke-22 dan milad UII ke-74, serta dalam rangka menyambut datangnya Bulan Ramadhan 1438 H yang tinggal dalam hitungan hari. Tema yang diusung adalah “Nilai-Nilai Ramadhan Membentuk Insan Ulul Albab.”
Acara digelar di pelataran Barat Masjid Ulul Albab UII Kampus Terpadu di Jalan Kaliurang. Untuk sampai ke sini, terlebih dahulu kita memasuki boulevard UII yang cukup indah, ber-paving rapi, bersih, dan terpampang megah di atasnya tulisan: Universitas Islam Indonesia. Hal yang sesaat saat itu segera menerbitkan rasa yang berkata inilah barangkali salah satu wujud (dan representasi fisikal) kemajuan umat Islam. Sebuah lembaga pendidikan yang menempati tempat penting dalam pembangunan peradaban Islam itu sendiri.
Saya mengambil tempat agak jauh dari panggung yaitu duduk di depan Gedung Soekiman Wirdjosandjojo yang posisinya lebih tinggi dari pelataran di mana panggung acara didirikan. Sesekali merasakan jarak yang berbeda dari biasanya. Begitu pikir saya. Dan serasa duduk di atas tribun yang tinggi, saya pun kemudian melihat digit-digit insan muda memenuhi lokasi dan menjelma himpunan “sirr” yang di dalamnya terkandung gagasan dan pikiran tentang umat Islam, seperti perasaan yang muncul tatkala memasuki boulevard kampus terpadu ini.
Siapapun yang sadar dirinya bagian dari umat Islam sedikit banyak berpikir dan prihatin manakala kondisi keummatan berada dalam keadaan berpecah-belah atau kemunduran. Siapapun di antara umat Islam semestinya memiliki cita-cita akan umat Islam yang diliputi persaudaraan dan kekompakan. Umat menjadi sebuah kerangka dan orientasi bagi pemikiran dan aksi.
Saya pun berpendapat bahwa Maiyahan dan pikiran-pikiran Mbah Nun selama ini bermuara pada bagaimana membangun kehidupan umat yang baik, bagaimana merajut ukhuwah, bagaimana dewasa menerima perbedaan pandangan di dalam umat, serta bagaimana membenahi hubungan-hubungan yang mungkin retak atau rentan perpecahan. Cobalah tengok, sejak tema “Allah yang tahu akidahmu, masyarakat menunggu akhlakmu”, “Sesama Murid Dilarang Memberi Rapor”, “Agama adalah Input”, “Tadabbur” hingga “Silmi”, dan lain-lain pendalaman ayat-ayat Allah di dalam forum-forum Maiyah yang terus bergulir ternyata terbimbingnya adalah menuju sikap yang dengan banyak keberangkatan dan alasan akan berujung pada menyumbangkan harmoni dan kerukunan di antara umat Islam.
Benar saja, salah seorang mahasiswa pun mengungkapkan keprihatinannya. Ia bertanya bagaimana menyikapi dan mengatasi perpecahan atau keretakan umat. Mbah Nun menjawabnya dengan mengatakan kalau kita bermaksud mengatasi keadaan itu, kita sendiri harus lebih pinter, lebih jembar, lebih bijak, lebih dewasa, dan lebih tangguh. Kalau tidak bisa, maka, “Anda pribadi yang terpenting output-nya adalah kasih-sayang dan cinta serta manfaat buat orang lain di sekitar Anda.”
Mbah Nun sebagai orang tua pun tak ingin membiarkan anak muda ini larut dalam kesedihan. “Tidak berat-berat amat sebenarnya, dan nanti akan ada ajal atau momentum seperti Allah katakan “hatta ya’tiyallahu bi amrihi” (QS Albaqarah: 109). Amr atau perintah Allah di situ mungkin berwujud trigger-trigger atau pemantik, misalnya dalam bentuk sebuah gejala yang akan mengarah ke suatu titik, tapi ternyata tidak jadi, atau sebaliknya. “Atau keadaan yang kita heran sendiri kok bisa viral ya,” Mbah Nun coba menggambarkan contoh kemungkinan amr Allah tersebut.
Manajemen Kebenaran Pribadi
Nah, kalau kita berbicara tentang keadaan seperti dikeluhkan mahasiswa di atas terasa jelas bahwa salah satu sumbangan Mbah Nun terletak pada ajakan dan pemahamannya mengenai kebenaran. Yaitu jangan omong-omongkan kebenaranmu. Ini kelihatannya simpel tapi sebenarnya mengandung lompatan sikap yang tak terbayangkan oleh kebanyakan kita selama ini. Sebuah terobosan. Dengan statement itu sebenarnya Mbah Nun mengajarkan kita buat jembar hati di mana tak satu pun pihak dipandang keliru atau salah. Sebaliknya, masing-masing tetap dianggap mengandung benar, ada benarnya, atau mungkin benar. Tetapi jelas skalanya adalah kebenaran pribadi.
Jadi, di situ kita membutuhkan kemampuan melihat bahwa orang lain pun mungkin mengandung kebenaran. Tahap selanjutnya adalah jangan mempertandingkan kebenaran-kebenaran itu dan sebaliknya manage-lah kebenaran itu sedemikian rupa sampai hasil atau output-nya adalah kebaikan sosial di antara sesama umat. Hanya dengan kesediaan dan kematangan itu, kita bisa sedikit membayangkan ada secercah harapan kehidupan umat yang diwarnai persaudaraan. Sebab, jika kita ke mana-mana omong atau mengukuh-ngukuhkan kebenaran yang kita yakini, orang lain akan dengan mudah merasa bukan bagian dari kebenaran itu, dan itu merupakan defisit bagi tabungan-tabungan ukhuwwah keummatan.
Bila ditarik garis ke situasi kebangsaan nasional kita, Mbah Nun melontarkan contoh menarik, “Bhinneka Tunggal Ika adalah Anda harus bisa menemukan baiknya si A, si B, si C, si D, sampai si Z.” Tak boleh Bhinneka Tunggal Ika diklaim sendiri sebagai milik atau semangat satu kelompok saja. Pun dengan semangat lainnya seperti nasionalisme, pro-NKRI, pancasila, dan lain-lain.
Jika diringkas jadi satu, kita mendapatkan contoh, kalau kita bicara menegaskan khilafah misalnya, dengan mudah orang lain merasa bukan bagian dari khilafah; kalau kita lantang menyuarakan syariat, akan mungkin muncul perasaan pada orang lain bahwa ia tidak syar’i; kalau kita teriak Bhinneka Tunggal Ika, boleh jadi orang lain akan merasa tidak dianggap bagian dalam Bhinneka Tunggal Ika; dan contoh-contoh lain, di mana penegasan yang berimplikasi ekslusi orang lain justru dapat memunculkan resistensi atau self defence mechanism. Maka, hemat Mbah Nun, kebenaran yang telah terbentuk di dalam diri pribadi kita harus diolah agar keluarnya bukan perbenturan, atau sekurang-kurangnya dipertimbangkan untuk sesedikit-sedikitnya menimbulkan benturan yang dapat merusak atau merapuhkan bingkai keumatan. Dari sudut filsafat kebenaran, sikap dan manajemen kebenaran seperti itulah yang dapat menyumbangkan satu batu bata bagi terbangunnya ukhuwwah Islamiyah.
Ulul Albab Getaran dan Aliran
Seperti termuat dalam tema ini, yakni Nilai-Nilai Ramadhan Membentuk Insan Ulul Albab, maka jelas ihwal Ulul Albab ini akan mendapatkan porsi pembahasan. Selain disampaikan oleh narasumber dari FPSB UII sendiri, Mbah Nun juga menguraikan Ulul Albab, dan secara kontekstual tentunya.
Pembahasan mengenai kebenaran sejauh telah dikemukakan dalam Maiyahan belakangan ini sebenarnya bertitik berat salah satunya pada kenyataan bahwa pada masa kini kebenaran tidaklah mudah digenggam atau ditangkap. Kebenaran terlapisi oleh labirin-labirin. Tak bisa kita mencomot kebenaran itu langsung dan independen dari kondisi yang mengelilingi. Pendek kata, kita tak bisa meletakkan kebenaran dalam posisi hitam putih. Tidak selalu mudah mendapatkan presisi atas kebenaran.
Semua kategori nilai itu dengan ungkapan lain berada dalam gradasi. Dalam hal kebenaran, formula kesadaran yang mudah adalah pada diri seseorang mungkin ada benarnya dan mungkin ada salahnya. Tak mungkin dia benar terus atau salah terus. Ada peluang dan dinamika untuk berubah dan berkembang. Karenanya mata kita tak boleh menatap dengan sikap statis. Dalam bahasa Mbah Nun, hidup ini adalah getaran yang mengalir dan aliran yang bergetar. Ulul Albab, karenanya menurut Mbah Nun, adalah orang yang bertugas menangkap getaran dan aliran itu.
Dalam bahasa lain, Mbah Nun menggambarkan Ulul Albab adalah orang yang diberi fadhilah oleh Allah untuk mampu mencerna, menggiling, dan mengunyah informasi atau apa-apa yang datang kepadanya termasuk yang melalui medsos. Merekalah yang bertugas mengolah cara berpikir. Rasanya ini sangat sinkron dan relevan dengan keadaan yang tengah berlangsung saat ini yakni mudahnya kita jumpai kesalahan-kesalahan berpikir. Dan, itulah tantangan yang dihadapi Ulul Albab di masa kini: membenahi kesalahan berpikir.
***
Saya menggeser posisi duduk agak lebih rileks setiap kali musik dimainkan oleh KiaiKanjeng. Ada beberapa nomor dihadirkan. Dari Shalawat Nariyah, Ahluz Ziman (atau yang berjudul lain: In Jabartum Kasro Qalbi), Sayang Padaku, Ruang Rindu Letto, hingga Medlei Nusantara. Saya melihat anak-anak muda sangat mudah tersentuh oleh musik. Mereka histeris ketika dalam Medlei Nusantara itu Mbah Nun menyanyikan penggalan Imagine All The People. Mereka tak menyangka Mbah Nun cukup piawai menyanyikan lagu Barat itu. Lewat musik ini, jiwa muda mereka disentuh Mbah Nun.
Diskusi yang selalu diintervali oleh musik itu, sekalipun berkisar utama pada soal kebenaran dan Ulul Albab, mengulik pula banyak soal biarpun mungkin bersifat sekilas dan kunci-kunci saja, atau dalam bahasa Mbah Nun adalah pintu-pintu. “Sinau Bareng itu yang penting adalah menemukan pintu-pintu. Baabul ilmi. Anda harus rajin memasukinya sepulang dari Sinau Bareng ini.”
Ya, ada sedikit ulasan tentang perbedaan sabiil, syarii’, thoriiq, dan shiroth, yang kesemuanya berarti jalan tetapi dengan makna tersendiri. Ada tentang ketelanjuran kita sebagai murid Filsafat Modern berikut dampaknya dalam cara kita memandang hidup. Ada beberapa saat mendalami pesan-pesan yang terkandung dalam surat al-Baqarah 109 tadi. Ada tentang perbincangan tentang apa sebenarnya yang dimaksud otak dan akal. Tentang surga dan hidup abadi. Tentang hal ini, Mbah Nun sempat melontarkan sepotong kritik-diri, “Salah satu sumber kehancuran kita adalah walaupun kita orang Islam tetapi tidak percaya bahwa hidup kita itu abadi.”
Itu sebabnya, Mbah Nun lalu memperkenalkan ungkapan baru: latihan menjadi penghuni surga. Maiyahan dicontohkannya sebagai bentuk latihan menjadi penghuni surga. Salah satu yang menonjol sebagai ciri adalah tak adanya pertentangan (kepentingan) di surga dan di Maiyah ihwal ini menurut Mbah Nun menjadi tanda utama Maiyahan dan membuat mereka betah berjam-jam duduk bersama. Atmosfer surga terasa pula lewat mudahnya jamaah mendapatkan kegembiraan atau kesenangan tanpa banyak “perjuangan”. Artinya, kenikmatan itu mudah diciptakan atau diraih. Pada titik inilah, Mbah Nun berpesan agar kampus pun menjadi tempat yang nikmat. Tempat yang teduh. Tempat di mana orang tak hanya membangun kepandaian, tetapi juga pandai menikmati kebaikan dan kreativitas.
Masih ada sejumlah pembahasan atau diskusi. Tak terkecuali respons Mbah Nun atas permintaan Bu Wakil Dekan FPSB UII untuk menguraikan bagaimana memaknai puasa Ramadhan Di tengah angin yang mulai dingin, salah seorang sahabat saya yang kebetulan pengajar di kampus UII ini menyapa saya dan bersegera menghampiri ke tempat saya duduk. Ia datang, dan kami sejenak berbincang. Ia terlihat senang dengan acara Sinau Bareng ini. Dari bibirnya terucap kepada saya di tengah obrolan itu, “Kan kebenaran tidak harus diomong-omongkan…” Ah, Mancep. Satu poin utama yang disampaikan Mbah Nun ia tangkap dengan baik.
Dia benar, sebab Mbah Nun sendiri berpesan saat membedah mentalitas kita dalam berkebenaran di panggung Sinau Bareng itu, “Jangan sombong dengan kebenaranmu. Yang dibutuhkan orang lain adalah cinta, kasih sayang, dan keseimbangan sosial. Dan saya berpuasa itu (menahan diri mengomong-omongkan kebenaran yang diyakini).”
Mbah Nun mengungkapkan hal itu tepat sesudah mengajak hadirin mencari esensi-esensi puasa: dari ujud ketaatan kepada Allah hingga ngerem sama pandainya dengan ngegas alias tahu kapan menahan dan kapan menancapkan gas. Dari situ, serta dengan menyimakbseluruh muatan utama yang terbahas pada Sinau Bareng kali ini yakni perlunya kita menyimpan kebenaran dan memberikan output kepada masyarakat atau orang lain berupa perilaku sosial yang baik dan konstruktif, saya menemukan bahasanya: Puasa Kebenaran dan Buka Bersama Kebaikan. (Helmi Mustofa)