Puasa di Depan Wader Goreng
Sekalipun orang yang menempuh perjalanan mendapatkan keringanan boleh tidak berpuasa, dan menggantinya di luar bulan Ramadhan, tetapi ketika mereka memutuskan tetap berpuasa, saya suka tersentuh melihatnya.
Suatu hari, sekian tahun silam, saya sedang dalam perjalanan pulang kampung menaiki bis kecil tak ber-AC melewati medan naik turun. Bus umum ini rutenya adalah dua kota berjarak sekitar 60 kilometer yang apabila siang hari hawanya sangat terik terutama sewaktu melewati hutan-hutan kering tandus. Bus kecil ini jangan Anda bayangkan berkualitas bagus. Tidak. Biasa saja, bus “cetakan” lama, yang skok-nya keras sehingga kalau terpaksa ketemu jeglongan pasti akan bikin suara gelodak dan tak nyaman bagi yang menumpanginya.
Sehari mungkin bisa beberapa kali Pulang-Pergi setiap armada bus ini. Membayangkan menjalankan puasa sebagai sopir atau kenek bus seperti sudah tentu saya tak sanggup. Sampai suatu ketika mata saya terbentur pada pemandangan yang menyentuh. Adzan maghrib tiba dalam perjalanan bulan Puasa itu. Saya lihat sang kenek muda, gelap warna kulitnya terbakar sengatan matahari, dari tadi naik turun bersuara keras untuk mengunggah dan menurunkan penumpang, seketika segera meraih botol minuman dari bawah kursi.
Ia berbuka puasa. Hati saya nyes melihatnya.
Bekerja di jalanan yang panas sesiangan, berat secara fisik, tetapi ia tetap melakoninya dengan berpuasa.
***
Sekian tahun kemudian. Tepatnya beberapa hari lalu. Turut sertalah saya dalam perjalanan KiaiKanjeng menuju kampus Polinema untuk Sinau Bareng “Satuhati, Waspodo!”. Jarak antara Yogyakarta dan Malang terentang tak kurang dari 337 kilometer. Berangkat usai subuh. Perjalanan lumayan jauh meskipun menggunakan bus pariwisata besar yang nyaman ber-AC. Kebanyakan personel KiaiKanjeng memanfaatkan waktu buat istirahat atau tidur sejak lepas Jogja.
Terbayang oleh saya ini perjalanan tak biasa. Sebab selama ini dalam setiap tur KiaiKanjeng akan terhiasi oleh momen-momen yang dalam pandangan saya adalah peristiwa kultural. Mampir di pom bensin sambil ngopi duduk jegrang ngobrol dan ngudud beberapa saat. Atau sarapan pagi di Warung langganan. Kelucuan atau kehangatan om-om KiaiKanjeng akan muncul saat-saat seperti ini.
Selain tak biasa, juga perlu dicatat bahwa perjalanan jauh ini pun sesungguhnya agak berat, mengingat balung-balung beliau-beliau sudah mulai tua (hehe, maafkan), walaupun sejauh ini dalam agenda perjalan ke manapun mereka cukup tangguh. Tapi toh tetap tak bisa diingkari Beliau-beliau sudah bukan muda lagi, terlebih seperti sosok Pak Nevi Pak Jokam Pak Bayu. Apalagi perjalanan di bulan puasa siang hari. Badan mungkin lemes. Perut agak tertusuk-tusuk. Senikmat-nikmat tidur di atas kursi bus tak ada bandingannya dengan tidur di rumah meskipun nglesot di lantai melewati jam-jam puasa.
Semua kenikmatan ngopi, ngrokok, dan makan di tempat-tempat biasanya itu harus “terampas” untuk sementara waktu. Lha kok, tiba-tiba selepas beberapa jam perjalanan dari Jogja itu, bus menepi ke kanan masuk ke sebuah kawasan warung makan di pinggir telaga Ngantang. Ini juga tempat yang sering dikunjungi KiaiKanjeng bila perjalanan ke Malang. Tapi kali ini bukan untuk makan melainkan istirahat saja. Pipis-pipis dan berganti suasana dari suasana bus ke suasana luar.
Biarpun bulan puasa, siang hari beberapa warung di situ ternyata tetap buka, dan tampak beberapa orang sedang menikmati makan siang di situ. Tetapi saya tidak melihat anggota KiaiKanjeng yang melangkahkan kaki ke salah satu warung itu. Para personel KiaiKanjeng tetap berpuasa. Sebagian mereka memilih ngobrol di mushalla kecil dekat toilet. Ada yang duduk-duduk di dekat bus atau di depan warung. Sementara aroma wader yang sedang digoreng menggoda selera makan, menghembus ke mana-mana. Tapi semua godaan itu harus ditahan.
Hanya terlihat satu orang yang mendekat ke warung, tapi rupanya bukan untuk memesan makanan yang akan disantapnya. Orang itu hanya membeli iwak wader goreng ukuran kecil-kecil yang dibungkus plastik ukuran sekilo. Ternyata buat dibawa pulang. “Buat sahur di rumah. Neng Yogjo ora ono ngene iki,” katanya. Wah, suami dan ayah yang baik. Dialah Mas SP Joko.
Begitulah siang itu Bapak-Bapak KiaiKanjeng menjalani puasa dalam perjalanan menuju Malang. Karena tak mungkin makan, mungkin sebagai gantinya, mereka akhirnya melanjutkan perjalanan untuk menyempatkan diri mampir di Coban Pitu. Sebuah objek wisata kecil.
Air melimpah di situ, tapi mereka tak boleh nyawuk dan memasukkannya ke tenggorakan yang telah kering. Hehe. Jadilah mereka adalah rombongan puasa yang hanya bisa berfoto-foto saja, atau menikmati pemandangan alam pegunungan. Hanya itu. Kemudian melanjutkan perjalanan lagi menuju Kampus Polinema. Sampai di sana masih siang, baru akan menjelang ashar. Waktu berbuka masih jauh. Bapak-Bapak KiaiKanjeng pun setelah istirahat sebentar di ruang transit justru menjadwal diri sound check pada pukul 4 sore. Padahal bisa saja cek suara usai berbuka.
Bagi KiaiKanjeng mungkin itu semua hal biasa saja buat dijalani. Tetapi, kita perlu ingat, setiap orang yang puasa apapun latar belakangnya mengalami saat-saat beratnya. Termasuk berat karena berada dalam perjalanan jauh. Jangankan itu, sedang kita yang tidak ke mana-mana, kalau siang-siang terik seperti ini naik motor saja dalam kota pasti akan merasakan berat dan ngentang-ngentang juga.
***
Barangkali karena itu, saya pun lalu jadi ingat, Kanjeng Nabi pernah menyampaikan: bagi orang yang berpuasa, ada dua kegembiraan. Kegembiraan nanti ketika berjumpa Allah dan kegembiraan ketika berbuka puasa. Dan bagi saya, yang sangat menyentuh hati (dan mengagumkan) saya adalah menyaksikan proses dari jam ke jam orang-orang yang berpuasa. Termasuk beratnya puasa dalam perjalanan. Seperti yang saya lihat pada Bapak-Bapak KiaiKanjeng. Mereka tengah menapak kegembiraan atau kebahagiaan yang hakiki.