CakNun.com
Wedang Uwuh (32)

Puasa adalah Imsak

Kedaulatan Rakyat, 30 Mei 2017
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 2 menit

Pèncèng agak demam badannya. Mungkin karena emosinya tak terkendali dalam waktu cukup lama. Pikirannya bergolak, emosinya ikut naik, hatinya tak bisa mengendalikan, sehingga jiwanya agak kisruh, dan jasadnya menjadi hangat-hangat demam.

Berunding dengan Beruk dan Gendhon, kami setengah memutuskan biarkan kalau memang ia belum kuat berpuasa. Ia tidak pulang ke keluarganya, tertidur di bilik depan rumah kontrakan saya. Beruk dan Gendhon juga minta izin ke keluarganya untuk menemani Pèncèng.

Tatkala waktu sahur tiba, kami sengaja tidak membangunkannya. Tetapi tengah-tengah kami makan sahur, Pèncèng bangun dan berjalan menuju meja makan. Ekspresi wajahnya jelas belum menunjukkan bahwa ia cukup sehat.

“Kalau memang kira-kira tidak kuat berpuasa, tak perlu dipaksakan, Cèng”, kata saya.

Ia duduk di kursi menghadap meja makan dan bergumam: “Imsaaak”

“Imsak masih lama, Cèng”, Beruk merespons.

“Kalau memang belum sehat betul, tidak apa-apa ikut makan, anggap ini sarapan”, kata Gendhon.

Tapi Pèncèng mengulang-ulang lagi gumamannya: “Imsak, imsak, imsak…”

Gendhon dan Beruk saling berpandangan. Pèncèng ambil piring, nasi, dan lauk yang ada, kemudian makan. Tidak terlalu lahap, tapi coba dinikmati. Di tengah mengunyah makanan, mulutnya sesekali menggumamkan lagi “Imsak, imsak, imsak”.

Setelah selesai makan dan ia menghirup kopi yang khusus diracikkan oleh Beruk, Gendhon penasaran dan bertanya: “Ada apa tho kok ngomyang imsak imsak imsak terus dari tadi…”

“Puasa adalah Imsak”, jawab Pèncèng singkat.

“Imsak adalah teriakan dari corong masjid-masjid untuk mengonformasikan kepada masyarakat di sekitarnya bahwa waktu Subuh hampir tiba. Biasanya sepuluh menit sebelum dur Subuh berbunyi”

“Ngasih tahu siapa kamu nDhon”, kata Pèncèng, “setiap anak kecil tahu itu…”

“Saya bukan ngasih tahu. Saya cuma ngrespons omyanganmu”, kata Gendhon.

“Saya ndridhil Imsak Imsak Imsak itu kan pelan-pelan. Tidak dengan suara keras. Itu artinya tidak saya tujukan kepada siapa-siapa. Itu saya ucapkan kepada hati saya sendiri”

“Kalau untuk dirimu sendiri ya cukup dalam hati saja”, Beruk merespons.

“Kalau dalam hati, telinga saya tidak mendengar. Maka saya putar lewat mulut dulu, supaya didengar oleh telinga, kemudian telinga melaporkannya ke pikiran, lantas pikiran menyampaikannya ke hati”

“Ruwet birokrasimu”

“Setiap diri seseorang adalah sebuah Negara kecil”, jawab Pèncèng, “perlu tata kelola yang baik, distribusi informasi yang jelas, pengaturan kewajiban dan hak yang tidak serabutan…”

“Sudah tho Cèng…”, Beruk memotong, “kamu belum sehat, kalau ngomongin Negara nanti tambah sakit”

“Siapa yang ngomongin Negara?”, Pèncèng membantah, “Dari tadi saya cuma bilang Imsak Imsak Imsak tapi kalian rewel”

Beruk jadi naik suaranya: “Lho tadi waktu kamu ngomyang Imsak Imsak kan waktunya belum Imsak. Kalau didengar oleh tetangga-tetangga kanan kiri kan mereka jadi berhenti sahur”

“Suara saya kan lirih-lirih, justru supaya tidak kedengaran”

“Tapi saya kan dengar”

“Siapa yang suruh kamu mendengarkan?”

“Saya tidak mendengarkan, tapi suaramu terdengar…”.

Lainnya

Imsak Sepanjang Hari

Imsak Sepanjang Hari

Saya coba teriak dari jauh untuk melerai mereka: “Sekarang ini sudah hampir Imsak dan segera masuk Subuh, kita jangan bertengkar”

Tapi Pèncèng ngèyèl terus.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib