Politik Fir’auni Vs Politik Nabawi (2)
Berbeda dengan politik fir’auni yang tujuannya adalah memperoleh kekuasaan dan mempertahankannya dengan menghalalkan segala cara seperti mengkotak-kotakkan masyarakat kepada kotak-kotak atau organisasi fanatik, menciptakan susana “persaingan abadi” antar kelompok dengan cara “menginjak” kelompok tertentu dan “mengangkat” sebagian yang lain, dan menghancurkan kemandirian, keberanian, ke-kesatria-an dan kenegarawanan melalui budaya konsumtif-materialistik, kesuksesan dan prestasi semu, politik Nabawi melesat jauh kepada tujuan jangka panjang manusia hidup di dunia. Politik nabawi bukanlah “politik”nya “politik” sebagaimana saya jelaskan pada bagian pertama.
Politik Nabawi merupakan siasat, cara, taktik, dan strategi untuk menyelamatkan ummat manusia di dunia dan di akhirat. Politik Nabawi tidak memecah-belah, tapi mempersatukan. Tidak memihak sebagian, tapi memihak keseluruhan. Politik Nabawi memerdekakan masing-masing orang dari kesempitan jiwa, kegelapan pikiran, kebodohan, kekerdilan, dan keterjajahan oleh apapun dan siapapun.
Lihatlah ketika Nabi Muhammad Saw diberi “kekuasaan” untuk meletakkan batu hitam (al-hajar al-aswad) oleh penduduk Mekah saat itu. Kepercayaan pembesar Quraish yang sangat bergengsi pada zamannya, di mana sebelumnya nyaris menjadi pemicu peperangan antar suku karena memperebutkannya, beliau laksanakan dengan sangat cantik dan di luar perkiraan nalar mereka. Beliau menghamparkan selendangnya, kemudian setelah batu itu ditaruh di tengahnya, Beliau meminta masing-masing pimpinan suku agar ikut memegang bagian pinggir kain selendang tersebut dan mengusungnya bareng-bareng. Kemudian begitu tiba di depan posisinya, sesuai dengan kepercayaan yang diterimanya, Beliau sendiri yang mengambil dan menaruh di tempatanya. (Sirah ibn Hisyam, I/197)
Itulah politik atau al-siyasah al-nabawiyah. Andai saja Beliau angkat sendiri tanpa melibatkan pimpinan suku, tentu sah-sah saja karena memang demikian itu kesepakatannya. Akan tetapi bukan itu yang Beliau cari. Membiarkan suku-suku Arab terpecah-belah dan berkeping-keping, tentu sangat menguntungkan dari perspektif kepentingan politik kekuasaan, karena Beliau bisa bermain dan mempermainkannya.
Akan tetapi, politik Nabawi tidak dijalankan untuk meraih “kekuasaan” politik. Ia hanyalah salah satu “siasat” mengajak manusia untuk mengerti dan menemukan jalan keselamatan dunia dan akhirat. Politik mengabdi kepada tujuan yang jauh di atas kepentingan politik. Kalau saja beliau memiliki ambisi kekuasaan, sejak saat itu Beliau sudah bisa mendapatkannya. Tapi ummat abadi dalam kegelapan dan kebodohannya. Coba Anda bandingkan dengan apa yang terjadi sekarang. Konflik antar kelompok dibiarkan bahkan sengaja dipelihara agar masing-masing bertarung dan dengan sendirinya menjadi rapuh dan membutuhkan “pertolongan” pemegang kekuasaan tertinggi. Tidak selesainya suatu permasalahan dijadikan alat untuk memperkuat kekuasaan. Tidak menyelesaikan masalah menjadi bagian dari menyelesaikan masalah itu sendiri.
Selanjutnya kita lihat juga piagam Madinah (al-watsiqah al- madaniyah) yang terdiri dari 47 pasal itu. Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat Arab saat itu, termasuk penduduk kota Yatsrib, hidup dalam komunitas–komunitas kecil yang bernama suku atau qabilah. Kebersamaan, persaudaraan, kerjasama, tolong-menolong dan perlindungan didasarkan kepada pertalian yang sangat sempit, yaitu se-suku. Sampai ada adagium yang berbunyi “unshur akhaka dhaliman aw madhluman” (tolonglah saudaramu yang se-suku baik dalam keadaan mendhalimi ataupun didhalimi). Sedangkan dengan pihak luar yang berbeda suku, bisa bersekutu, tapi bisa juga berlaku hukum perang. Semua ditetapkan berdasarkan pertimbangan kesukuan.
Sistem suku ini sangatlah rentan konflik dengan pihak-pihak yang berbeda suku. Peperangan bisa terjadi setiap saat dan hanyalah dipicu oleh persoalan pribadi antara dua orang yang berbeda suku. Kota Yatsrib termasuk salah satu contohnya, di mana dua suku besar, yaitu suku Aus dan Khazraj terjebak dalam konflik dan permusuhan abadi dan mempengaruhi keselamatan jiwa, harta, dan kawasan. Dari segi keprcayaan masyarakat Yatsrib sebagian besar penganut tradisi penyembah berhala, dan agama Yahudi sebagai mayoritas agama samawi. Ditengah-tengah masyarakat penganut sistem kesukuan (al- nidham al-qaba’ili) itu, Rasulullah Saw hadir menjadi penyelamat yang dalam bahasa arab disebut Muslim-Islam (Muslim; orang yang menyelamatkan, Islam; penyelamatan) dengan mengubah dasar dari kebersamaan, persaudaraan, tolong-menolong, dan perlindungan kepada nilai universal yaitu keadilan dan kebenaran.
Perlu diketahui bahwa Rasulullah Saw dan kaum muhajirin serta anshar hanyalah 15% dari keseluruhan penduduk Yatsrib. Penganut Yahudi 40% dan penganut keprcayaan nenek moyang berjumlah 45%nya. Meskipun minoritas dari segi jumlah, tapi karena bersifat lintas suku, dan bertumpu kepada nilai universal, di tengah-tengah masyarakat yang terkungkung oleh ikatan sempit-kesukuan, masyarakat muslim menjadi terasa lebih besar. Dalam situasi yang demikian itu, Rasulullah Saw mengajak semua penduduk Yatsrib kepada fondasi kehidupan yang baru, yaitu keadilan dan kebenaran. Fondasi baru itu menyatakan bahwa penduduk kota Yatsrib terlepas dari perbedaan suku dan keyakinannya, adalah satu kesatuan (ummatan wahidah) dengan hak dan kewajiban yang sama untuk bersaudara, bekerja sama, saling menolong dan saling melindungi. Siapapun tidak boleh melindungi yang melakukan pelanggaran, meskipun satu suku.
Pasal terakhir berbunyi,”…piagam ini tidak membela orang dhalim dan khianat. Orang yang bepergian aman, dan orang yang yang berada di Madinah aman, kecuali yang berbuat dhalim dan khianat. Allah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Dan Muhammad Rasulullah Saw. (Sirah ibn Hisyam, I/501-504). Dan karena perubahan fondasi kehidupan kepada nilai universal ini, maka kota Yatsrib diubah namanya menjadi Madinah dan perjanjian ini disebut al-watsiqah al-Madaniyah. Demikian itulah salah satu contoh bagaimana Rasulullah Muhammad Saw menjalankan politik kenabian (al-siyasah al-nabawiyah).