Pituladhan
Entah memang karena usia dunia yang semakin menua, atau karena apa. Semakin ke sini, rasanya penalbisan semakin kentara. Semakin sulit rasanya untuk membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Mana yang hitam dan mana yang putih. Mana yang bertopeng dan mana yang menampakkan wajah aslinya. Yang hitam didandani sedemikian rupa menjadi putih untuk mengelabui sekitarnya. Yang haq disalah-salahkan, sedang yang bathil dibungkus sedemikian rupa agar terlihat benar hanya untuk melancarkan aksinya.
Wahai, apa sebenarnya yang terjadi dengan kita dan segenap ummat manusia ini? Apa memang karena kita kekurangan figur dari seorang sosok, hingga kita pun kelimpungan harus berbuat bagaimana. Tak ada lagi suri tauladan yang mengarahkan langkah kita. Kita sendiri belum tahu mana yang betul-betul benar, dan mana yang benar-benar salah. Hingga tak heran, acap kali kita pun melangkah dalam kebiasan.
Tunggu dulu. Jika ini tentang seorang sosok yang menjadi teladan, bukankah sudah disiapkan untuk kita sosok tauladan sepanjang zaman? Sudah disiapkan untuk kita, uswatun hasanah yang lakunya bisa kita jadikan panutan sepanjang zaman. Ya, Kanjeng Nabi Muhammad, sosok insan kamil yang akhlaknya tanpa tapi dan cela untuk dijadikan acuan.
Lantas, apa permasalahannya? Kanjeng Nabi bukanlah sosok yang asing bagi kita, bukan? Setiap tahun ummat Islam berlomba-lomba memeringati kelahiran beliau. Asma beliau juga tak kurang-kurang dilantunkan jutaan ummat agar memeroleh syafaat beliau. Dalam setiap mengambil keputusan pun, tak jarang sabda Kanjeng Nabi dijadikan rujukan dan dalil pembenaran.
Atau, jangan-jangan kita yang masih belum sungguh-sungguh dalam meneladani beliau. Kita yang masih belum tepat dalam meneladani beliau. Kita masih setengah-setengah dalam meneladani jejak langkah beliau. Yang inti, dasar, akarnya kita tinggalkan. Sementara kita buru-buru mengambil luarannya saja.
Sedang ‘luaran’ ini bukanlah sesuatu yang menjadi inti. Ia bisa berubah sesuai dimensi ruang dan waktu yang menaungi.
Di negeri kami ini, umatmu berjumlah terbanyak dari penduduknya. Di negeri kami, kami punya Muhammadiyah, NU, Persis, punya ulama-ulama dan MUI, ICMI, punya bank, punya HMI, PMII, Anshor, Pemuda Muhammadiyah, IPM, PII, pesantren-pesantren, sekolah-sekolah, kelompok-kelompok studi Islam intensif, yayasan-yayasan, muballig-muballig, budayawan, dan seniman, cendekiawan, dan apa saja. Yang tak kami punya hanyalah kesediaan, keberanian, dan kerelaan yang sungguh-sungguh untuk mengikuti jejakmu.” (Emha Ainun Nadjib)
Mungkin apa yang disampaikan Mbah Nun tersebut memang benar. Kita belum punya kesediaan, keberanian, dan kerelaan yang sungguh-sungguh untuk mengikuti jejak Kanjeng Nabi.
Lantas, jejak Kanjeng Nabi yang mana yang seharusnya kita ikuti? Apa dan bagaimana yang sebaiknya kita lakukan dalam upaya mengikuti jejak langkah Kanjeng Nabi, mari kita diskusikan bersama Majelis Maiyah Balitar, pada edisi 30 Desember 2017 ini. Kita sama-sama belajar nguri-nguri Sirah Nabawi.