CakNun.com

Persaudaraan Manusia Sedunia

Tri Wahyu Budi Setiawan
Waktu baca ± 5 menit

Salah satu aspek ajaran Islam yang–secara normatif–ikut menentukan dalam keberhasilan misi kekhalifahan adalah persaudaraan (ukhuwah). Konsep persaudaraan menurut ajaran Islam boleh dikatakan sangat baik dan sempurna serta manusiawi. Ajaran yang dimaksud pada umumnya diyakini bersifat mutlak benar dan tidak berubah-ubah. Paham mutlak dan tidak berubah-ubah berpengaruh terhadap sikap mental dan tingkah laku penganutnya. Oleh karena itu, umat Muslim tidak mudah menerima perubahan dan cenderung untuk mempertahankan tradisi yang berlaku.

Persaudaraan adalah salah satu persoalan kemanusiaan dan tidak bisa lepas hubungannya dengan tugas kekhalifahan yang diajarkan Agama. Apabila persoalan ini ditelaah secara kritis (kritik sosial kemanusiaan), maka persoalan dimaksud berada pada konteks teologi sosial.

Ajaran tentang persaudaraan dimaksud akan berhadapan dan bersentuhan dengan kemajemukan agama, budaya, etnis dan berbagai sekte, berbagai aliran dan mazhab yang ada dalam Islam sendiri. Kondisi seperti ini sering disebut dengan pluralisme.

Secara luas, ada tiga tingkatan persaudaran, yakni: pertama, persaudaraan di antara sesama manusia (ukhuwah insaniyah) secara menyeluruh, dalam hal ini tidak melihat adanya perbedaan dari aspek apapun, yang dilihat hanyalah dimensi kemanusiaan. Kedua, persaudaraan (ikatan) di antara mereka yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini tidak menetapkan atau memastikan nama Agama, tetapi yang dilihat adalah pada dimensi kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ketiga, persaudaraan sesama umat Islam. Dalam hal ini, ada suatu keharusan bahwa hanya pada orang-orang muslim, meski demikian dalam persaudaraan sesama muslim tidak melihat adanya perbedaan etnis, jenis kelamin, bahasa, dan lain-lain.

Mbah Nun menyampaikan bahwa kulit putih, hitam, dan kulit coklat, ulama, tukang becak, pencari kodok atau pengusaha, hanyalah terbedakan secara fungsional dan terminologis. Tetapi mereka adalah manusia yang sama dan memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap kebahagiaan, kesejahteraan, hak politik serta kewajiban untuk patuh terhadap aturan main.

Persaudaraan dengan Prinsip Keislaman

Kata Mbah Nun, kebanyakan kita berpikir bahwa ukhuwah Islamiyah adalah persaudaraan (keguyuban, kebersamaan, kesatuan) di antara orang-orang Islam. Bahwa ukhuwah Islamiyah menyangkut hanya kaum Muslimin dan Muslimat.

Padahal, lanjut Mbah Nun, ukhuwah Islamiyah bukan ukhuwatul-muslimin atau ukhuwah bainal-muslim wal-muslim, atau macam-macam pertalian lagi di kalangan kaum muslimin. Juga bukan ukhuwatul-Islamiyah, melainkan ukhuwatun Islamiyatun. Jadi Islamiyah di situ merupakan kata sifat. Artinya, ukhuwah Islamiyah ialah suatu persaudaraan dengan prinsip keislaman, pola keislaman dan nafas keislaman. Persaudaraan antara siapa? Antara semua manusia.

Jadi?

Mbah Nun menambahkan bahwa kita punya cukup banyak ayat untuk ”mengafirkan” orang, ”memusyrikkan” atau ”memunafikkan”-nya, dalam arti menghakimi ”status”-nya. Tapi marilah perhatikan beberapa hal:

Pertama, apa yang sebenarnya kita maksud dengan membina ukhuwah, apa lingkaran konteksnya, mana batas-batasnya, dalam hal apa kita bisa berangkulan dan dalam soal mana kita wajib bertentang pandang. Kalau ada orang ketubruk truk jangan kita tanya dulu apa agamanya, sebab kalau dia bilang Hindu, kita bukan tidak menolongnya.

Kedua, marilah kita percaya kepada Allah yang menyebut, bahwa pada dasarnya manusia itu lemah. Jadi ada baiknya kita cari pahala dengan berpikir atas nafas allafa baina qulubihim, bahwa orang yang kita sebut kafir, musyrik, munafik itu setidaknya ”sekadar” orang yang mengandung unsur kekufuran, kemusyrikan dan kemunafikan. Hidup itu sendiri kompleks, tak terangkum oleh arti tunggal, dan kita mesti berendah hati untuk memahami seluruh segi hidup beserta latar belakang pertumbuhannya.

Misalnya kalau Oom Palon tak beragama Islam, Mbah Nun mencontohkan, itu otomatis karena tanaman lingkungannya sejak kecil (seperti kebanyakan kemusliman kita), dan komputer pikiran dan hatinya memang sudah terpola oleh satu kecenderungan keyakinan yang tiap hari membentuknya. Jadi, ia memiliki kelemahan yang tak bisa memerdekakannya dan masuk Islam.

Seperti juga kalau kita hidup terlalu mengejar uang dan kebendaan sampai mubazir dan sering tidak fungsional, maka unsur kemusyrikan kita juga besar. Dan lagi, prilaku orang non-Muslim tidak jarang lebih dari Islam di banding prilaku kita yang muslim syahadat fasih ini. Jadi kita harus siap menilai muslim-kafir lebih dari sekadar gincu bibirnya, dengan demikian kita bisa menemukan makna ukhuwah Islamiyah secara lebih luas.

Ketiga, bagaimana kalau (kewajiban Muslim) kita mencintai semua orang seperti kita mencintai diri sendiri? Kalau tetangga kita suka judi dan mabuk, maka kadar cinta mesti lebih besar agar kita cukup stamina untuk memperhatikannya dan berusaha menyeretnya untuk tak meneruskan perbuatannya. Orang-orang di luar Islam mestinya justru kita dekati, dengan ukhuwah Islamiyah, agar kita berbuat baik atas mereka dan membawa mereka ke dalam jannatun-na’im. Tetapi, yang harus diingat, menurut Mbah Nun:

Syaratnya memang mesti kuat dulu Islam kita, supaya tidak justru terseret oleh mereka. Dan kalau selama ini kita cenderung membentengi diri bergaul dengan mereka, bahkan menjauhi mereka, melihat mereka hanya sebagai kerak api neraka, maka artinya di samping kita tak mampu mengasihi manusia, kita juga kurang memanfaatkan kesempatan untuk menguji dan memperkembangkan kekuatan keislaman kita. Kelemahan kaum muslim umumnya, selama ini, ialah kurangnya kemampuan dan menghakimi dalam arti hanya menggarap orang non-Islam sebagai sekadar musuh, tidak (juga) sebagai manusia yang sesama kita; yang musti kita cintai. Karena itu jangankan berhubungan ke luar Islam, bahkan internal Islam sendiri perbedaan sering tidak menjadi rahmat, melainkan menjadi malapetaka dari ketidakdewasaan.

Bagaimana mungkin kita berdakwah dengan cara menjauhi dan membenci mereka? Ukhuwah Islamiyah, adalah salah satu aplikasi dari makna Islam sebagai rahmatan-lil-‘alamin: cahaya benderang bagi semua manusia. Maka kita jangan monopoli untuk kepentingan kita saja, sebab adalah hak setiap anggota ummat dunia untuk berproses menjadi Islam –betapapun ruwet proses itu. Kewajiban kitalah untuk memberi jalan bagi mereka.

Mbah Nun menandaskan:

Islam itu kedamaian dan keselamatan bagi seluruh manusia. Islam bukan agama pembunuh-pembunuh yang egois, meskipun Islam bisa dan layak menangani menampar pihak-pihak tertentu, sepanjang mereka sudah tak bisa lagi dicintai secara lembut dan senyuman.

Tentang perbedaan keyakinan, Mbah Nun mengatakan bahwa keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain. Ndak usah diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, mana yang lebih unggul atau apapun. Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan didalam hati.

Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah. Dan itulah sebabnya ia menjadi orang non-Islam. Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu benar, ngapain dia jadi non-Islam? Demikian juga, bagi orang Islam, agama lain itu salah. Justru berdasar itulah maka ia menjadi orang Islam. Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja di dalam hati, jangan diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau pertengkaran.

Untuk itu, lanjut Mbah Nun, biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istrinya masing-masing. Tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung hidungnya karena bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai dokter, umpamanya.

Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya.

Mbah Nun menganalogikan:

Sementara itu orang muslim yang mau melahirkan padahal motornya gembos, silakan pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar istrinya ke rumah sakit. Atau, Pak Pastor yang sebelah sana karena baju misanya kehujanan, padahal waktunya mendesak, ia boleh pinjam baju koko tetangganya yang NU maupun yang Muhammadiyah. Atau ada orang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan tetangga Budha, kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan tetangga Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya.

Tetangga-tetangga berbagai pemeluk agama, warga berbagai parpol, golongan, aliran, kelompok, atau apapun, silakan bekerja sama di bidang usaha perekonomian, sosial, kebudayaan, sambil saling melindungi koridor teologi masing-masing. Bisa memperbaiki pagar bersama-sama, bisa gugur gunung membersihi kampung, bisa pergi mancing bareng, bisa main gaple dan remi bersama.

Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik, kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco, atau apapun. Jangankan kerja sama dengan sesama manusia, sedangkan dengan kerbau dan sapi pun kita bekerja sama nyingkal dan nggaru sawah. Itulah lingkaran tulus hati dengan hati.

Lainnya

Exit mobile version