Perjalanan Puisi ke Brussel
23 Desember 2016. Kereta ICE (InterCity Express) datang di stasiun utama Frankfurt 15 menit sebelum keberangkatan. 08:16 CET kereta dijadwalkan berangkat menuju Brussel. Terlihat mbak Hana dan juga mas Tito mengantarkan saya, mas Gandhie, Cak Nun, dan mbak Via ke gerbong. Hujan gerimis sudah turun sejak awal pagi. Suhu saat itu cukup dingin, 4 derajat celcius. Untungnya kereta ini dilengkapi pemanas yang sampai-sampai membuat mbak Via harus menanggalkan jaketnya karena cukup merasa kepanasan.
Kereta melaju tepat waktu. Butuh waktu 3 jam 16 menit untuk bisa sampai ke Brussel. Tak banyak penumpang pagi itu. Selepas petugas menge-check tiket kami, aku mengeluarkan buku catatan dan sebuah pena dari dalam tas. Tiga jam perjalanan itu melahirkan dua buah puisi bersambungan. Puisi yang terinspirasi dari elegi kehidupan berbangsa yang sering diceritakan Cak Nun dan yang juga disinggung malam sebelumnya saat sinau bareng di Masjid Indonesia Frankfurt.
BENDERA (1)
Ketika lorong gelap disegerakan dan detik bunuh diri di kolom sebuah koran
Kamu muncul sebagai iklan kecil berderet atau papan reklame dengan daya pikat dan daya jilat yang mempesona
Kamu itu super artis
Hingga saat aku sekedar minum kopi dan lesehan di angkringan biasa bukan di pinggir Malioboro, mbok Bakul, pakdhe parkir, lik tukang becak, serta mbah sapu jalanan ganti-gantian sholawat kepadamu dan wirid atasmu
Kamu cocok didendangkan jazz atau dinyanyikan siulan
Dipuisikan penyair, dirupakan pelukis dan paling indah adalah saat kamu diabadikan kotak TV
Ujarmu celoteh yang disabdakan, ditinggikan, dan diikat tiang bendera
Saat lepas tengah hari dahaga
Aku bernafsu mencecap sari buah belimbing
Kupanjat pohonnya dan menyusu saripati tanah dengan buas
Dan tanpa sengaja, kutatap ribuan tiang bendera warna-warni lengkap dengan logo perusahaan
Di bawah, si pemilik saham metheti bendera
Sial-siul agar bendera yang celotehnya adalah pandhita ratu tetap lebih unggul dari bendera lain
Kelak, saat peradaban sudah maju
Tiang-tiang bendera itu berganti tower BTS
Agar petitah-petitih nya tinggal disetel on-off lewat tombol radio
Saya hanya menulis puisi di sela senggang waktu. Tentu dengan tegas saya sampaikan saya bukan penulis puisi. Saya hanya kagum kepada Gusti Allah yang berpuisi lewat ayat-ayatNya di Al Qur`an dan di semesta. Sampai-sampai Kanjeng Nabi Muhammad disebut sebagai penyair dan penyihir saat melantunkan Al Qur`an. Karena kekaguman saya tersebut, saya sering menuliskan refleksi pikiran saya dalam bentuk puisi. Meskipun pastilah jauh dari syarat untuk bisa dikatakan puisi.
Melihat Indonesia dewasa ini seperti melihat kesempitan ruang dan waktu berpikir. Bagaimana tidak, arus informasi yang digelontorkan lewat media sosial yang tak terbendung justru mempunyai efek kontraproduktif, menciptakan penjara dalam pikiran manusia. Manusia melihat kepada yang hanya diperbolehkan untuk melihat, mendengar hanya kepada yang diizinkan untuk didengar, dan bahkan ber-analisa hanya dari data yang boleh untuk ditafsirkan. Bukan karena manusia itu tidak mengerti bagaimana cara mencari informasi, tapi ketangkasan dan keuletan manusia untuk memilih dan menyaring informasi rupanya sudah sangat menurun. Jarang sekali ditemui konsep tabbayun atau re-check informasi. Entah karena kemalasan yang sangat atau karena memang sudah terlalu percaya terhadap berita-berita yang muncul sehingga dirasa tak perlu untuk mengkroscek ulang. Manusia kemudian membuat penjaranya sendiri dengan pikiran-pikirannya. Fenomena ini sering kita dapati dengan semakin merebaknya para analis-analis koran dadakan. Yang analisisnya berkutat tentang informasi yang hanya datang kepada dirinya, tanpa riset mendalam. Parahnya, sebagian mereka selalu menganggap bahwa analisisnya adalah representasi kebenaran.
Rule the news then rule the world. Mungkin demikian tepatnya. Penguasaan informasi menggiring kita untuk merestui apa-apa yang dikabarkan oleh media. Bahwa si A adalah pemimpin yang merakyat dan didzolimi serta harus dipilih di pilpres atau pilkada, bahwa perusahaan B adalah perusahaan yang sangat peka pada kemiskinan, bahwa tokoh C adalah tokoh agama yang mumpuni merupakan gambaran kebrutalan media. Jika pada akhirnya si A adalah pemimpin tanpa konsep yang membawa ke jurang kehancuran, perusahaan B merenggut lahan-lahan pertanian dan mengubah jadi kondominium purwarupa dengan harga fantastis, dan si C adalah tokoh yang tersangkut kepentingan politik itu tidak menjadi tanggung jawab media. Tanggung jawab adalah sepenuhnya milik penerima informasi.
Sebagian media tak ubahnya seperti lomba celotehan para tokoh media. Ya, tokoh media yang naik turunnya, didengar tidaknya sekehendak sang pemilik media. Jika si tokoh yang kadung digandrungi masyarakat dan diikuti setiap omongannya sudah tidak sejalan dengan kepentingan pemilik media, maka RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) akan segera dilaksanakan untuk menurunkan tokoh tersebut dari tiang-tiang bendera dan digantikan dengan tokoh lain yang diorbit ke masyarakat. Toh tak lama lagi, dengan kadar pemikiran sebagian besar rakyat yang masih malas untuk menyaring informasi, si tokoh baru akan segera meroket dan menjadi idola baru di masyarakat.
Lebih ekstrem lagi, media adalah senjata. Senjata untuk merubah peradaban, dan menghilangkan asal-usul ayah ibu di masa mendatang. Sehingga anak-anak yang lahir kelak di masa depan, akan lebih sedih dan menangis tergugu jika tokoh idola di TV mati daripada menangis karena tak pernah bisa kenal dengan nama asli ayah atau ibunya.
BENDERA (2)
Pasca diketemukannya facebook, WA, line, dan twitter
Tiang-tiang diturunkan
Langit bersih dan mega mendung jelas tanpa samar
Bendera telah habis masa, sudah reinkarnasi
Ini jaman kaos sablon
Tidak pakai adalah udik, kampungan, dan blo`on
Bukan bendera sabda adalah perlu
Tapi hakim adalah hukum baku
Setiap kaos adalah hakim, penimbang kebijaksanaan
Dan untuk satu kaos, kita harus sedekah, menyumbang suka rela kepada para pemegang saham
Ayo kamu segera beli! Agar ada kesibukan untuk saling menghakimi!
Dalam suatu perjalanan dari Denhaag, Cak Nun meminta saya untuk menuliskan puisi tersebut dalam prosa, agar lebih mudah diterima masyarakat luas.