Perjalanan Kebahagiaan
APAKAH UNTUK mendapat kebahagiaan kita mesti menelan butiran napza atau menghisap dalam-dalam asap ganja? Bukankah itu hanya kesenangan sementara yang diada-adakan. Bisa saja engkau lari mengejar hiburan untuk melipur diri, tapi apa jadinya jika rumah tempat kembali tak lagi peduli. Buat apa sorak-sorai dan pujian-pujian dari orang di sekitarmu atas kehebatanmu, jika dibalik itu masih ada sikapmu yang mengecewakan ibumu. Popularitas, reputasi publik, kekayaan, kemewahan, ataupun nama besar boleh jadi akan terasa hampa jika tidak bersama dan didukung oleh keluarga yang bahagia.
Kesenangan sesaat tidak jarang membuat terlena bagi sesiapa yang sedang mengejar keinginannya. Peras keringat, banting tulang, sikut kanan-kiri, terjang rintangan bahkan langgar aturan tak lagi dipedulikan asalkan yang diinginkan dapat kesampaian. Nafsu kepemilikkan mengabaikan keberadaan lingkungan, yang dipentingkan hanyalah kesenangan dirinya sendiri. Disaat apa yang diinginkan tercapai, berikutnya justru muncul ketidakbahagiaan yang mencekam. Tidak jarang selebriti mengakhiri hidupnya sendiri manakala di puncak kariernya atau sesaat setelah kariernya mulai meredup.
Perjalanan kebahagiaan dapat berarti bahagianya di awal, kebahagian di sepanjang perjalanan, perjalanan menuju kebahagiaan, atau juga dapat diartikan sebagai kemampuan menerima campur-aduk dari berbagai perasaan susah- senang, suka-duka, bangga-kecewa, sedih-gembira dan berbagai perasaan yang bermunculan sepanjang pengalaman perjalanan hidup. Kebahagiaan itu dapat dibuat dengan memaknai setiap peristiwa sebagai nikmat yang diberikan dari Tuhan.
Meski ada orang yang senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang, namun istilah “only happy people can makes another people happy” sepertinya lebih layak sebagai pedoman. Belajar kepada para orang tua yang tulus bersusah payah berusaha membahagian anak-anaknya sejak bayi bahkan sejak anaknya masih di dalam kandungan dengan berusaha mencukupi kebutuhan dan keinginan mereka. Tak jarang orangtua mengesampikan kesenangan pribadinya demi keperluan anaknya. Melihat anak-anaknya senang karena kebutuhanya tercukupi juga dapat menjadi kebahagiaan tersendiri
Kesukaan, kesenangan, kegembiraan dan kebahagiaan memiliki perbedaan untuk menggambarkan keadaan suasana yang hampir sama. Orang akan merasa senang ketika mendapatkan apa yang disukai, dan bergembira ketika dapat berbagi menjadi kebahagiaan berasama.
Pada saat hasil dari sebuah usaha sesuai ekspektasi, apa yang diharapkan dapat menjadi kebahagiaan. Kecenderungan ekspektasi yang berlebihan berakibat kekecewaan jika kenyataan tidak sesuai dengan yang dihapkan. Dunia modern membuat indeks kebahagiaan untuk mengukur tingkat kebahagian masyarakat suatu negara atau wilayah tertentu. Namun indeks kebahagiaan ini lebih bersifat kuantitatif, sedangkan kebahagiaan lebih bersifat kualitatif.
Wabtaghiy fiima ataakallahu daarol aakhiroh walaa tansa nashiibaka mina dunya. Seringkali manusia terjebak dalam konsep kebahagiaan materi yang sebenarnya hanyalah kebahagiaan sesaat. Dalam Al Qur’an ditegaskan oleh Allah bahwa tujuan akhir perjalanan manusia adalah akhirat, dengan sebuah pedoman bahwa kita diberikan sedikit hak untuk kita cari di dunia, tetapi jelas bahwa dunia bukanlah akhir dari perjalanan kita.
Pencapaian prestasi dalam hitungan materi seringkali membuat manusia lupa bahwa dunia hanyalah semacam tempat transit sebelum menuju titik akhir perjalanan akhirat yang sifatnya kholidina fihaa abadaa. Begitu terpesonanya manusia dengan dunia, sehingga segala macam dilakukan agar ia meraih kebahagiaan duniawi yang sifatnya hanya sementara ini. Betapa banyak orang harus menyakiti orang lain agar ia mendapatkan uang, begitu banyak pejabat yang korupsi agar ia memiliki harta yang banyak, kartel-kartel perdagangan bahan makanan yang dikuasai oleh segelintir pihak demi keuntungan pribadi mereka yang dalam waktu bersamaan menindas para pelaku ekonomi di wilayah rakyat kecil.
Apalah arti kebahagiaan dunia jika kelak di akhirat kita tidak mendapatkan kebahagiaan untuk bertemu dengan Sang
Maha Pemberi Kebahagiaan? Bukankah puncak dari kebahagiaan manusia adalah bertemu, bertatap muka dengan Sang Maha Pencipta kelak di akhirat? Adakah kebahagiaan yang melebihi dari kebahagiaan perjumpaan seorang hamba dengan Tuhannya? Adakah kebahagiaan yang mampu menandingi kebahagiaan perjumpaan dengan kekasih Allah, Nur Muhammad?
Cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia dengan mendirikan sebuah negara yang berdaulat, adil dan makmur merupakan ekspektasi dari para pejuang kemerdekaan terhadap masa depan Indonesia. Di era globalisasi, perjuangan untuk mengisi kemerdekaan menjadi semakin berat manakala kedaulatan dibangun tanpa keadilan dan berdiri diatas pondasi kemakmuran hasil pinjaman. Masyarakat dijebak dalam kehidupan konsumtif dan produktifitasnya semakin menurun. Rakyat dan Pemerintah semakin berjarak, harmonisasi gerak semakin tidak nampak. Keberpihakan pembangunan infrastruktur cenderung untuk kepentingan investor ketimbang untuk rakyat. Sementara masyarakat ditenggelamkan dalam buaian industri kebahagiaan, hiburan, dan berbagai kemewahan semu yang bukan kenyataan.
Kenduri Cinta edisi Agustus kali ini mencoba menggali kembali, membongkar kembali pola pikir manusia abad 21 yang hari ini sangat material oriented. Seperti yang juga sering disampaikan oleh Cak Nun, sejatinya kita adalah makhluk ruhani, bukan makhluk jasmani. Kita adalah makhluk sorga yang sedang ditempa di dunia sementara waktu untuk kelak kembali ke sorga.