Peradaban Teks
Sekarang Junit Jitul Toling dan Seger seperti mengingat kembali dan menyadari bahwa selama ini sebenarnya banyak macam-macam tamu yang datang. Kadang yang menemui Pakde Brakodin, saat lain Pakde Tarmihim atau Sundisin. Ada yang mereka bertiga menemui dan mungkin menangani masalahnya.
Anak-anak itu terlambat menyadari bahwa peristiwa-peristiwa dengan tamu-tamu itu ternyata merupakan pembelajaran yang kalaupun tidak lebih penting, tapi lebih lengkap dimensinya, lebih empiris, lebih penuh nuansa, dibanding diskusi-diskusi mereka.
“Kita selama ini terpaku pada persangkaan bahwa ilmu itu terdapat pada kalimat, kata dan huruf, jadi kita berdiskusi melulu kalau ketemu Pakde Paklik”, kata Toling.
“Ternyata kita masih masuk angin oleh Peradaban Sekolah”, tambah Jitul, “Peradaban Kelas, Peradaban Buku, Peradaban Teks. Diam-diam kita meyakini bahwa hanya di situ letak ilmu, dan mantap bahwa ilmu teks itu segala-galanya”
Junit tertawa. “Tetapi kesadaran kita ini agak subjektif juga”, katanya.
“Subjektif bagaimana?”, Toling bertanya.
“Kita mantap dengan kesadaran baru ini demi menghibur diri dari inferioritas bahwa kita bukan anak-anak muda yang sukses dalam bersekolah…”
“Saya tidak inferior”, Seger membantah, “Saya tidak minder. Saya tidak merasa gagal. Saya tidak merasa lebih bodoh dari teman-teman yang sukses bersekolah, meskipun saya juga tidak merasa lebih pandai”
“Nggak usah ngamuk, Ger”, Junit masih tertawa.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri...”. [1] (Fushshilat: 53). Seger merespon dengan menunjukkan firman Allah itu. “Tuhan sendiri bilang begitu, kok”, katanya.