CakNun.com

Penjaga Nilai Utusan Tuhan

Agus Sukoco
Waktu baca ± 7 menit

Setiap zaman memiliki tantangan dan persoalannya sendiri. Secara esensial, tantangan yang dihadapi oleh setiap ‘episode’ sejarah adalah keruntuhan moral yang berdampak menciptakan serentetan persoalan berikutnya, yaitu rusaknya tatanan hidup, ambruknya mental kebudayaan dan  lahirnya ketidak-adilan sosial. Itulah sebabnya, Tuhan senantiasa mengutus ‘penjaga nilai’ untuk mengawal perjalanan kebudayaan ummat manusia. Penjaga nilai tersebut di era Muhammad dan sebelumnya disebut nabi dan rasul.

Sejak berakhirnya kerasulan dan kenabian Muhammad SAW, penjaga nilai tidak lagi disebut rasul atau nabi. Tetapi bukan berarti era pasca Muhammad sudah tidak ada lagi orang yang secara khusus ditugasi Tuhan untuk mengawal perilaku sejarah manusia. Apapun sebutan untuk petugas Tuhan itu menjadi tidak penting, yang harus diimani bersama adalah bahwa pasti Tuhan tidak akan membiarkan zaman berjalan tanpa pengawalan.

Persoalan muncul dan menjadi error dalam sebuah tatanan hidup bersama, sesungguhnya disebabkan karena ‘inkonsistensi’ manusia dalam menjaga kedaulatan akal sehat. Karena akal yang sehat adalah alat utama manusia untuk menentukan pilihan yang tepat dalam mengambil setiap keputusan-keputusan sejarahnya.

Manusia menjadi berbeda dengan hewan itu karena ‘potensialitas’ akalnya. Perilaku manusia dan hewan memiliki perbedaan yang mendasar. Watak dan tradisi hewan adalah berebut, karena nafsu bekerja tanpa ‘dimanajeri’ oleh fungsi akal. Sementara kecenderungan manusia adalah berbagi. Jadi, ketika yang dominan dari atmosfer sejarah manusia adalah suasana ‘rebutan’, itu tanda manusia sudah kehilangan martabat kemanusiaannya. Tatanan yang mempeluangi ummat manusia berperilaku berebut adalah tatanan yang mengingkari akal sehat.

Dalam kondisi ingkar semacam itu, efek yang terjadi adalah lahirnya ketidakadilan, keserakahan, dan sikap saling mengalahkan satu sama lain. Pemandangan saling adu jodos dan saling meniadakan di berbagai konteks sosial, level masyarakat, dan segmen kebudayaan begitu gamblang terlihat dewasa ini. Sejarah sedang bergerak seperti tanpa pengemudi. Lalu di manakah utusan Tuhan yang ditugaskan untuk mengawal harmoni kehidupan manusia itu sekarang berada?

Kerinduan akan kehadiran penjaga nilai tersebut kemudian melahirkan harapan yang secara ‘imajiner’ diistilahkan dalam kebudayaan Jawa sebagai ‘satria piningit’ atau ‘satria pinandita sinisihan wahyu’. Ini menjadi rumit untuk dicarikan formula dan metode indentifikasinya. Sebuah kerinduan yang terus membentur kabut keremangan yang makin hari menjadi kian gulita.

Masyarakat yang hidup di era Nabi Nuh, Musa, Ibrahim dan hampir di setiap periode kenabian, selalu saja terlambat menyadari dan mengetahui bahwa utusan Tuhan sesungguhnya sudah hadir di tengah-tengah mereka. Bukti keterlambatan itu adalah selalu dibutuhkan kebijakan ekstrem dari Tuhan berupa fenomena bencana untuk menyudahi keremangan penglihatan ummat manusia dalam mengenali utusan Tuhan itu. Sistem politik, iklim budaya dan nilai-nilai mainstream telah menjungkirbalikkan parameter yang menandai orang yang diasumsikan sebagai utusan Tuhan penggembala sejarah dan penjaga nilai tersebut. Dampaknya adalah kekeliruan berulang-ulang sebuah negeri dalam mendapatkan pemimpin di setiap levelnya. Kesalahan massal dalam mengidolakan tokoh, mengulamakan seseorang dan mengangkat panutan di tengah masyrakat.

Nuh datang membawa kabar ‘solutif’ atas persoalan besar pada waktu itu, ditolak dengan sadis oleh masyarakat. Musa hadir menawarkan obat penyembuh sakit sosial kebudayaan tamak dan takabur Fir’aunisme, juga dilecehkan dengan semena-mena hingga Musa tersingkir ke tepi laut. Ibrahim menyodorkan arah berupa presisi orientasi bagi setiap manusia dalam menempuh perjalanan hidup, disikapi dengan kobaran api perlawanan oleh kekuasaan Namruj. Nabi Yunus juga ‘dicuekin’ seluruh orang hingga beliau mengalami keputusasaan yang berujung terdampar di perut ikan. Demikian watak umum manusia di sepanjang sejarah.

Pengalaman-pengalaman tersebut jangan-jangan juga terjadi pada sejarah kita hari ini. Jangan-jangan Utusan Tuhan yang sedang membawa mandat langit itu sesungguhnya telah lama bertandang ke tengah-tengah masyarakat. Mungkin beliau telah kita kenali wajahnya, kiprah sosialnya, dan peran kemanusiannya. Namun kita masih menganggapnya sebagai hal yang biasa-biasa saja. Pengetahuan ummat manusia selalu luput dalam membangun perangkat intelektual untuk membaca pertanda-pertanda semacam itu.

Lebih parah lagi, wacana spiritualitas sejenis ini akan dianggap sebagai klenik dan tahayul yang menyesatkan. Istilah rasul, nabi dan wali telah mengalami pemadatan dan proses pembekuan sedemikian rupa hingga menjadi sesuatu yang kehilangan kemungkinan untuk dicairkan  pemaknaannya secara lebih bumi dan kultural.

Istilah nabi dan rasul tentu sudah tidak relevan untuk dipakai menggelari orang dengan maqom setinggi apapun di zaman sekarang, karena Tuhan sendiri telah mengabarkan bahwa Nabi Muhammmad SAW adalah nabi dan rasul terakhir. Tetapi esensi mandat tersebut bukan berarti juga telah ditiadakan. Kehidupan lebah saja, selalu dianugerahi ‘ratu’ dari zaman ke zaman. Kompleksitas kehidupan manusia tentu lebih membutuhkan kehadiran orang yang ditugasi untuk menjalankan esensi peran kenabian dan kerasulan, yang akan berfungsi menjaga stabilitas nilai di kehidupan ummat manusia.

Daya intelektualitas manusia jika dipadukan dengan kejernihan batin akan membuat radar ruhani menjadi peka dalam membaca indikator orang yang membawa mandat langit untuk mengatasi darurat kebudayaan bumi. Artinya, secara rasional, orang tersebut sebenarnya bisa dideteksi identitasnya. Karena jika manusia tidak diberi perkenan untuk mengetahui pertanda-pertanda yang melekat pada diri utusan Tuhan itu, maka menjadi sia-sia orang tersebut diutus ke tengah-tengah peradaban manusia. Bahwa kemudian dalam pengalaman sejarah manusia, kehadiran utusan Tuhan itu kerap gagal dikenali, semata-mata karena manusia cenderung lebih fokus dan tertarik kepada hal-hal yang sifatnya materi sehingga enggan mengolah daya penglihatan batin dan mutu intelektualitasnya. Kecenderungan semacam itu akan membuat manusia kehilangan objektivitas dalam melihat sesuatu, termasuk dalam mengakui berbagai keistimewaan yang melekat pada diri pemegang SK langit tersebut.

Tulisan ini juga bukan sedang bermaksud mengklaim dan menggiring orang untuk menunjuk seseorang sebagai utusan Tuhan. Tetapi sekadar memberi pemikiran alternatif bahwa di tengah-tengah keruwetan dan kekacauan zaman, Tuhan sangat mungkin sudah mengirim utusan khusus, sebagaimana Nuh, Ibrahim, Musa, dan Muhammad dihadirkan menjadi penerang di kegelapan zaman itu.

Sebenarnya keyakinan adanya utusan Tuhan yang bisa mengatasi krusialitas persoalan, pada kadar tertentu sudah dilakukan. Pilkada dan pemilu dengan seluruh regulasinya adalah ikhtiar yang secara esensial dipakai untuk menemukan utusan Tuhan tersebut. Bukankah setiap pemilu dan pilkada yang dilakukan adalah mengampanyekan figur-figur yang diasumsikan sebagai pembawa perubahan? Bahwa yang kemudian terjadi adalah manipulasi ukuran, pembiasan cara pandang, dan kerancuan perspektif dalam melihat pertanda-pertanda orang yang menjadi utusan Tuhan, itu mungkin yang harus dibenahi dan dipelajari ulang.

Butuh waktu bagi sebuah masyarakat melihat keistimewaan yang indikatif dengan pembawa mandat langit. Sekali lagi, tanda-tanda itu tentu bisa dilihat oleh kewajaran pengetahuan ummat manusia. Asal kita cermat dan bersedia untuk berendah hati dalam melihat perilaku, jejak rekam perjuangan, dan konsistensi sikap moral yang menonjol pada diri orang yang kita curigai sebagai utusan penjaga nilai zaman tersebut, niscaya figur itu akan bisa kita kenali.

Kita pernah terperangkap pada sebuah kungkungan zaman yang sedemikian pengap secara politik. Kekuasaan yang hegemonik, di mana cakar-cakar otoritasnya mencengkeram tengkuk rakyat sedemikian kuat. Seluruh sendi kehidupan masyarakat seperti tidak ada pilihan selain terpaksa bertekuk lutut kepada kekuasaan yang ‘adigang adigung adiguna’ itu. Raja besar penguasa Orde Baru seperti hampir mustahil untuk rela mengakhiri kekuasaannya itu. Segala kekuatan, modal, militer, dan centeng-centeng politiknya pada waktu itu sudah menjalar disetiap ranah kehidupan seluruh negeri.

Siapakah pemilik ‘kecerdasan’ prima dan ‘daya pengasihan’ yang sanggup merayu sang raja untuk turun tahta tanpa melawan? Sehingga ancaman benturan yang dahsyat tidak terjadi. Karena seandainya sang raja pada waktu itu marah dan melawan orang-orang yang menggugatnya untuk menyerahkan kekuasaan, dengan kekuatan dan kekuasaan yang sang raja miliki, hampir dipastikan akan sangat banyak rakyat kecil yang menjadi korban ‘brathayuda’ tersebut. Hanya dengan aura kepawangannya, lewat kalimat khas jawa timur, “ora dadi presiden ora patheken” yang dikatakannya kepada sang raja tersebut, hati raja besar itu ‘terenyuh’ dan seperti melapang sehingga memiliki kekuatan mental untuk berhenti menjadi penguasa.

Kalimat ini kemudian diucapkan oleh raja besar itu dalam upacara resmi penyerahan kekuasaan di Istana Negara tanggal 21 Mei 1998. Kalimat ‘ora dadi presiden ora patheken adalah nutrisi psikologis yang memperkuat mental seorang raja besar untuk seketika harus kehilangan kekuasaannya yang sudah ‘mendarah daging’ selama 32 tahun. Membuat orang rela melepas kebanggaannya adalah hal yang sulit. Kalimat ini tampaknya ‘layak’ untuk dicatat sebagai kalimat sakti yang pernah mewarnai sejarah tanah air. Kalimat sederhana tetapi mampu mengubah sejarah, itulah kalimat yang waktu itu dikatakan seorang cendekiawan nyentrik, Emha Ainun Nadjib kepada Presiden Soeharto dalam pertemuannya di istana bersama dengan Sembilan tokoh nasional.

Fenomena ini seperti luput dari perhatian publik, atau memang sengaja digelapkan oleh pengacau sejarah. Yang kemudian mengemuka di wajah pemberitaan nasional adalah riak-riak politik sok pahlawan yang artifisial. Peran beliau dalam proses transisi itu begitu besar, bahkan tidak berhenti pada ‘merayu’ Soeharto untuk bersedia turun tahta, tetapi dengan sigap beliau masuk ke ceruk terdalam alternatif solusi pasca Soeharto menyerahkan kekuasaannya dengan menawarkan konsep ‘ikrar husnul khatimah. Sebuah konsep yang menitik beratkan pada inti pendekatan kemanusiaan.

Mantan orang paling berkuasa yang masih lekat dengan gengsi dan harga diri harus terus dikawal menuju kesunyian hidup dengan tetap dimartabatkan. Watak raja akan melawan jika merasa tidak dimartabatkan. Namun pengawalan sunyi kemanusiaan Begawan bangsa Emha Ainun Nadjib dihadang oleh para pahlawan kesiangan yang sok jago. Ikrar Husnul Khatimah Soeharto batal dilaksanakan. Padahal isi ikrar tersebut sesungguhnya adalah jalan tol menuju harapan dan cita-cita yang selama ini diperjuangkan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Teks atau naskah ikrar husnul khatimah berisi empat sumpah Soeharto, 1.) Bahwa saya Soeharto,bersumpah untuk tidak akan pernah menjadi presiden republic Indonesia lagi. 2.) Bahwa saya Soeharto bersumpah tidak akan pernah turut campur dalam setiap proses pemilihan presiden republik Indonesia. 3.) Bahwa saya Soeharto bersumpah siap dan ikhlas diadili oleh pengadilan Negara untuk mempertanggungjawabkan segala kesalahan saya menjadi presiden republic Indonesia. 4.) Bahwa saya Soeharto bersumpah siap dan ikhlas mengembalikan harta rakyat yang dibuktikan oleh pengadilan Negara.

Yang aneh dan ajaib adalah empat sumpah yang secara politik sangat berat dan merugikan Soeharto, berhasil dihembuskan ke lubuk hati kemanusiaan Soeharto oleh Emha Ainun Nadjib, sehingga mantan presiden yang dikenal diktator itu bersedia menjalankan ikrar tersebut. Kalau Cak Nun bukan orang yang secara khusus dipilih Tuhan sebagai penjaga nilai, mustahil seorang penguasa digdaya akan memiliki kerelaan sedemikian rupa. Keajaiban ini juga sama sekali tidak terbaca oleh mata sejarah kita.

Klimaks perjuangan tidak tercapai karena esensi ikrar yang ditawarkan sang Begawan kepada presiden Soeharto dimentahkan oleh sebagian politikus yang resah kehilangan peluang dianggap pahlawan. Toh pada akhirnya hingga Soeharto wafat belum ada bukti dari ‘sesumbar’ para jagoan yang sok pahlawan yang waktu itu menghalang-halangi pelaksanaan sumpah tersebut. Sekian kali “mukjizat” yang dipinjamkan Tuhan kepada Emha Ainun Nadjib tersia-siakan karena kekeruhan berpikir tokoh-tokoh yang waktu itu berlagak pahlawan.

Sekali lagi, tulisan ini hanya mencoba mengajak siapa saja untuk belajar melihat sesuatu secara jujur agar tidak terus menerus gagal mengenali pemeran inti dari setiap tahap-tahap sejarah. Hingga hari ini sang Begawan masih konsisten dengan prinsip nilai yang dipeganginya dalam sunyi.

Seluruh tokoh yang di era transisi 1998 berada di panggung nasional dan berteriak-teriak lantang sebagai pejuang reformasi, saat ini sudah ikut mencicipi hangatnya kekuasaan. Bahkan sebagian besar dari mereka telah terbuka kedok kerendahan moralnya dengan terbukti terlibat ‘penggarongan uang negara’.

Lain halnya dengan Begawan Emha Ainun Nadjib, sampai dengan saat ini beliau masih setia berada di tepian sejarah yang senyap. Meski dunia dan Indonesia menafikan seluruh kontribusi penyelamatan yang sudah dilakukan, kiprah sejarahnya tak pernah kehabisan tenaga. Dari dusun ke dusun, sekolah ke sekolah, kampus ke kampus, pesantren ke pesantren, terus saja beliau berjuang mengawal perjalanan manusia menuju kesejatian.

Konsistensi semacam itu juga tak pernah dipelajari sebagai apapun oleh Indonesia. Daya jangkau penglihatan sebuah bangsa yang telah sedemikian merabun. Bangsa yang sudah tidak lagi memiliki radar ruhani untuk menangkap getaran-getaran Ilahiah, sehingga kebaikan telanjang di depan mata tidak sanggup dimaknai apa-apa. Mungkin dibutuhkan banjir Nuh, entah dalam bentuk apa, untuk membuka kabut tebal yang meremangi bola mata intelektual dan spiritual bangsa ini.

Masih banyak hal yang secara rasional bisa dibaca pada diri tokoh nasional ini sebagai faktor yang menggugah rasa curiga kita atas pertanda sang penjaga nilai utusan Tuhan di zaman ini. Mohon maaf, mungkin istilah utusan Tuhan terkesan dramatik diperdengarkan. Tetapi istilah itu lahir dari logika bahwa Tuhan tidak akan membiarkan zaman ‘kalang kabut’ tanpa mengirim orang yang ditugasi dengan bekal khusus untuk menjadi penyembuh sakit sejarah, kecuali Tuhan memang sudah ‘jenuh’ untuk mencintai manusia. Atau istilah tersebut menjadi tidak perlu digunakan jika kita bersepakat untuk membuang Tuhan dari konsep berpikir kita.

Sokawera, 15 juni 2017.

Agus Sukoco
Pria kelahiran Purbalingga, 3 September 1976 memulai keaktifannya di masyarakat di organisasi kepemudaan di Purbalingga. Sejak muda menyukai buku-buku bertema sufiistik, sosial dan politik. Hingga saat ini menggiati Forum Paseduluran Tanpa Tepi di Purbalingga dan juga Juguran Syafaat di Purwokerto. Beberapa tulisannya dimuat di koran lokal Banyumas. Bersama komunitasnya merintis mini album berjudul ‘Tahta Cinta’, sebuah karya musik independen yang bercerita tentang perjalanan hidup. Aktivitas kesehariannya menjadi staf di salah satu perusahaan daerah di Purbalingga.
Bagikan:

Lainnya