Penggalan Satu Babak “IBU” di Kadipiro, Bocah dan Sang Pamomong
Rumah Maiyah di Gang Barokah tampak lain lagi nuansanya pada sore hari tanggal 20 Desember 2017. Memang hujan deras mengguyur kota Jogja seharian ini. Deras tidak tanggung-tanggung. Malam datang lebih cepat dari biasanya, dikejar-kejar oleh gulungan awan dan bentakan petir.
Ruang tengah yang biasanya lapang menjadi penuh oleh set dan dekor panggung. Sebagian ruangan lagi menjadi backstage. Satu sisi panggung dipenuhi set gamelan dengan komposisi minimalis dengan tambahan instrumen musik modern. Sedangkan di sisi sebelahnya, terdapat panggung kecil dengan pakeliran wayang yang juga berukuran mini.
Nuansa etnik dibangun, kain bermotif batik, melapisi backdrop. Pemanfaatan ruang yang efektif, ini khas buah tangan seniman Jogja. Sedapatnya pencahayaan pun mendapat perhatian. Ini memang masih pra konser, bisa dibilang latihan atau sesi video menjelang pertunjukan berjudul “IBU” karya Nicholas Agung. Hari Ibu masih kurang dua hari, tapi rasanya tak mengapa dan tidak perlu dihubungkan juga. Karya ini melibatkan kawan-kawan siswa SD Kanisisus sebagai pemain. Musiknya diisi dengan gamelan modern, dimana Mas Nicholas Agung yang memperkenalkan diri dengan nama Agung Pramudya, menjadi sentral komando dengan instrumenya.
Segerombolan bocah masuk. Mereka bermain, sesekali tampak konflik terjadi di antara mereka. Pengaruh medernitas mulai mempengaruhi beberapa bocah. Namun syukurlah mereka kemudian memutuskan untuk memainkan permainan tradisional “jamuran” alih-alih bermain Nintendo, aduh jadul, maksudnya daripada bermain game virtual.
Konflik kecil kembali terjadi ketika seorang di antara mereka berniat pulang karena sudah malam, beberapa kawan sejawat mulai mengejeknya “jirih” sama ibu kok takut? Bingung antara takut dengan mbekti, muncullah Semar Bodronoyo dari layar kelir. Gawatnya rupanya para bocah tidak begitu mengenal siapa Ki Lurah Semar.
Semar pun memperkenalkan diri dan sang pamomong membimbing bocah-bocah zaman itu, bakti pada orang tua, pengenalan pada kebudayaan. Cerita berlanjut di dalam kelir wayang, Semar menghadapi anak angkatnya, Petruk yang sedang bertengkar hebat dengan ibunya.
Ini memang penggalan satu babak saja. Untuk kemudian dilanjut dengan proses memainkan musik-musik pengiring pementasan. Diatonik dan pentatonik bersilang-silang. Nada dieksplorasi seluas-luas dan sedalam mungkin. Denting gamelan, sayatan biola, lambaran keyboard. Kadang menghentak, kadang mencemaskan sesekali membawa haru di dada.
Pentas yang merupakan rangkaian dari ujian seni musik dan pertunjukan Mas Nicholas Agung ini masih akan melalui beberapa tahap untuk kemudian sampai pada tahap akhir pertunjukan penuh. Dua tempat masih menjadi pertimbangan apakah dipentaskan di Plaza Ngasem atau di Gereja Ganjuran.
Penggalan satu babak “IBU” apakah karena karena dibawakan di Rumah Maiyah, membuat elaborasi pemaknaannya menjadi berganda-ganda. Bocah-bocah yang tersesat di rimba modernitas, tidak terjadinya sinkronisasi antar generasi dan betapa sosok IBU, ibu manusia, ibu Nusantara, semakin terluka dan terlupa. Bocah-bocah butuh pamomong. (MZ Fadil)