CakNun.com

Para Troubadour Kesunyian

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit

Pagi ini aku minum kopi pahit kesehatan. Suara lembut sahabat terkasih Yok Kuswoyo membasahi hatiku. Ia melantunkan lagu ciptaannya, dengan syair terjemahan Al-Fatihah, memetik gitar bolong, minimalis dan lembut. Aku merekamnya, membawanya ke manapun pergi. Kujadikan “jimat” dzikir persahabatan, persaudaraan dan kesunyian.

Kemarin aku mendengarkan lagu-lagu kakaknya di Magelang, Nomo Kuswoyo, yang akan direkam dengan KiaiKanjeng. Nomo 83 tahun dan masih berteriak dan lari-lari ketika bernyanyi. Yok 77 tahun. Aku sangat mencintai mereka, juga Yon, dan almarhum Tony yang kukagumi, pun Mury yang “marak ati”. Diam-diam memberat di hatiku rasa takut kehilangan mereka, sebagaimana beratnya penyesalan Tony kepada Allah dalam “Andaikan Kau Datang”. Seluruh duka derita kehidupan ini menindihkan pertanyaan, dan aku menirukan Tony bergumam: “Jawaban apa yang kan kuberi….”

Kemarin aku kehilangan saudara sunyiku Leo Kristi Iman Sukarno, sebelum pernah tak bersedih mengenang Gombloh dan Franky Sahilatua yang tak kalah sunyi. Karya putra-putra Begawan Kuswoyo adalah wajah sederhana dan keringat rakyat Indonesia. Lagu-lagu Franky adalah keindahan-keindahan kecil kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Karya Leo adalah nyanyian tanah air tercinta, debur ombak, dedaunan hijau dan putih-putih seluas padang. Sedangkan karya Gombloh adalah darah kita semua, cahaya mercusuar di dalam jiwa kita.

Betapa aku bersyukur Allah menciptakan mereka untuk Indonesia. Pulau-pulau penggalan sorga ini menjadi lebih indah oleh lagu-lagu mereka. Tetapi nikmat syukur yang menyertaiku kapan saja menelusuri siang dan menembus malam, dibuntuti oleh rasa cemas, yang diwakili oleh puisi lubuk jiwa kakak kami Chairil Anwar: “Kami cuma tulang-tulang berserakan, tapi adalah kepunyaanmu. Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan”. Meskipun demikian, Chairil, penyair sejati, yang seluruh kosmos dan sistem nilai kejiwaannya adalah puisi, tidak “ngersula”: “Sekali berarti, sesudah itu mati….”

Kalau aku menatap wajah Indonesia hari ini: apa yang berarti baginya? Apakah ada apapun dan siapapun yang pernah benar-benar berarti bagi Indonesia? Siapa sajakah yang telah mati dari bangsa ini, yang kematiannya berarti bagi bangsanya? Bertanyalah kepada siapa saja di sekitarmu: Apa arti Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Tjokroaminoto, Ki Hadjar Dewantoro dan sekian lagi? Berapa sentimeter huruf yang mereka deret dalam jawaban mereka? Apakah mereka tahu Muhammad Natsir, Kasman Singodimejo, Haji Agus Salim, Ali Sastroamijoyo, Haji Abdul Malik Karim Amrullah? Hari-hari ini gunung meletus tidak membangunkan bangsa Indonesia dari nyenyak tidurnya. Kalau Baginda Jibril datang menyamar, takkan lolos di pemeriksaan bandara. Jika Nabi Musa bertamu, akan dicurigai seperti teroris. Apabila Nabi Isa datang, semua akan mengenalinya sebagai gelandangan, karena tidak pakai alas kaki. Dan umpamanya Nabi Muhammad ke sini, Polsek akan segera mengamankannya karena dikhawatirkan membawa aliran sesat.

Jangankan lagi Gombloh, turunan Arab asal Jombang. Atau Franky Ambon yang sangat “arek” atau Leo yang sampai akhir hayatnya dipandang aneh oleh kebanyakan orang, karena beristiqamah membawa keyakinan kemanusiaan dan karakter keIndonesiaannya. Sampai-sampai aku, sepanjang hidupku hingga hari ini, menghabiskan waktu untuk berlatih tak diketahui orang. Membiasakan diri tak diakui. Mendadar diri difitnah dan disalah-pahami. Tekun berdzikir untuk selalu bergembira menjadi orang yang tak punya tempat duduk, tak berkoordinat sejarah, menikmati sunyi dan mentakabburi derita.

Anak-anak bangsaku juara dunia, merajai olimpiade ilmu pengetahuan apapun, dilimpahi “fadhilah” genekologis yang luar biasa oleh Tuhan. Kemudian tatkala memasuki era remaja mulai retak kepribadiannya. Beranjak dewasa terpecah terkeping perjalanannya. Lantas begitu “menjadi orang” mereka lenyap dirinya. Tersisih oleh manajemen kenegaraan yang tak mengenali mereka, atau menemukan mereka sebagai ancaman peta baku perniagaan nasional dan global.

“Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
Katakan padanya padi-padi telah kembang
Ani-ani seluas padang, roda giling berputar-putar siang malam
Tapi bukan kami punya

Kalau ke kota esok pagi, sampaikan salam rinduku
Katakan padanya, tebu-tebu telah kembang
Putih-putih seluas padang, roda lori berputar-putar siang malam
Tapi bukan kami punya

Anak-anak kini telah pandai, menyanyikan gema merdeka
Nyanyi-nyanyi bersama-sama, di tanah-tanah gunung
Anak-anak kini telah pandai, menyanyikan gema merdeka

Nyanyi-nyanyi bersama-sama:
Tapi bukan kami punya

Tanah pusaka, tanah yang kaya, tumpah darahku
Di sana kuberdiri, di sana kumengabdi
Dan mati, dalam cinta yang suci”

Sekarang seluruh bangsa menyanyikan “tapi bukan kami punya”. Bukan hanya hamparan tanah-tanah di perkotaan dan desa-desa. Bukan hanya kekayaan bumi dan laut Nusantara. Bukan hanya hak-hak pengambilan keputusan nasional. Tapi juga diri mereka sendiri. Harga diri kebangsaan dan kemanusiaan mereka. Masa kini dan masa depan anak cucu mereka. Semakin terkikis. Bukan kami punya.

Apalagi yang sudah berpindah berkalang tanah. Yang masih ada di atas bumi pun ditiadakan oleh kesadaran Indonesia. Yang menganugerahkan tanah air hamparan kekayaan darat dan laut saja tidak diingat ketika bersidang untuk mengurasnya. Tuhan, Nabi dan Agama pun diwajibkan taat kepada subyektivisme dan egosentrisme manusia Indonesia. Tatkala Chairil mengatakan “Kami cuma tulang-tulang berserakan, tapi adalah kepunyaanmu”–ia benar di anak kalimat pertama, tapi salah besar di anak kalimat kedua.

Ketika saya menggeremangkan lagu Yok “Bukan lautan, hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu…. Orang bilang tanah kita tanah sorga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman….”–Yok nyeletuk: “Itu duluuuuu”. Di akhir 1980-an saya mendayung perahu di Waduk Kedungombo, memprihatini Pak Jenggot dan masyarakatnya yang gagap berhijrah dari masyarakat agraris menjadi nelayan tak bisa berenang. Entah siapa yang merasuki hati dan pikiran Franky, tatkala menyenandungkan indahnya tanah air, langkahnya tersandung oleh masa depan:

“Kepada angin dan burung-burung
Matahari bernyanyi
Tentang daun dan embun jatuh
Sebelum langit terbuka

Apakah angin tetap bertiup
Bersama jatuhnya daun
Apakah burung akan tetap terbang
Di langit yang terbuka”

Siapa atau apa daun yang jatuh itu? Apakah langit yang terbuka itu semacam gilasan global yang melanda Negeri? Seperti yang dikawatirkan oleh penyair Malioboro-ku Umbu Landu Paranggi di tahun 1974 tentang akan mengeringnya kemanusiaan oleh industri. Akan tersingkirnya manusia oleh kapitalisme global. Akan terjajahnya cinta sejati oleh hedonisme. Tentang termarjinalisasikannya nasionalisme dan patriotisme oleh Iblis yang menyamar globalisasi:

“Apa ada angin di Jakarta
Seperti di lepas desa Melati
Apa cintaku bisa lagi cari
Akar bukit Wonosari

Yang diam di dasar jiwaku
Terlempar jauh ke sudut kota
Kenangkanlah jua yang celaka
Orang usiran kota raya

Pulanglah ke desa
Membangun esok hari
Kembali ke huma berhati”

Jauh-jauh hari Umbu sudah wanti-wanti. Dini hari sebelum siang panas kehancuran, Umbu memanggil-manggil hati nurani: Pulanglah ke desa, kembali ke huma…. Tapi generasi ini tidak punya pengalaman huma, mereka dibesarkan di perumahan. Tak mengerti beda antara “home” dengan “house”. Tak merasakan jarak antara hakekat desa dengan kota. Tak masuk Sekolah yang membedakan “keluarga” dengan “rumahtangga”, antara “Negara” dengan “Pemerintah”, antara “ekonomi” dengan “kesejahteraan”, antara “Agama” dengan “cinta”.

Pada 1976 saya menjadi Juri Lomba Teater Lima Kota di Surabaya. Duduk termangu dari pukul 20.00 malam hingga 03.00 dinihari, karena durasi pentas 3 grup dalam satu malam bisa hamper 3X3 jam. Lewat tengah malam tiba ada lelaki tinggi kurus rambut panjang datang menghampiri, mengambil gelas teh di meja saya, kemudian langsung meninumnya, lantas ngeloyor pergi tanpa sepatah kata pun. Itulah perkenalan awal saya dengan Gombloh. Adegan radikal yang dilakukannya itu adalah kemesraan tingkat tinggi. Siangnya saya antar dia naik becak, sesudah keluar dari Pasar membeli sekitar 500 BH. Becak itu membawa kami berdua memasuki kompleks “Dolly”. Gombloh sangat sibuk melempari setiap wanita di sepanjang gang-gang itu dengan sedekah BH.

“Kebyar-kebyar, pelangi jingga
Biarpun bumi bergoncang
Kau tetap indonesiaku
Andaikan matahari terbit dari barat
Denganmu… Indonesia…
Kaupun tetap indonesiaku
Tak sebilah pedang yang tajam
Dapat palingkan daku darimu
Kusingsingkan lengan
Rawe-rawe rantas
Malang-malang tuntas
Merah darahku, putih tulangku
Bersatu dalam semangatmu”

Yogya 22 Mei 2017.

Lainnya

Tony Yon Selubang Berdua (3)

Tony Yon Selubang Berdua (3)

Yon Koeswoyo dimakamkan selubang dengan Tony Koeswoyo kakaknya. Tony sudah menantikannya dengan wajah berbunga-bunga, kemudian menerimanya, memeluknya dan meletakkan kepala adik tersayang itu di pangkuannya.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version