CakNun.com

Para Pahlawan Kopi di Maiyah

Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 6 menit

Maiyah adalah simulasi kehidupan yang sejati di surga. Itu adalah salah satu kriteria yang saya sangat yakini mengenai Maiyah. Maka tak heran apabila Jamaah Maiyah sering dipandang berbeda dari kebanyakan orang yang hidupnya masih di dunia fana. Berbeda di sini, bukan karena bermental asal beda tentunya. Tapi mau bagaimana, cita rasa dan tolok ukur manusia-manusia di Maiyah sudah terlanjur tidak bisa sehaluan dengan kebanyakan pemahaman cita rasa dan tolok ukur yang berlaku di dunia. Tolok ukur dan cita rasa yang berbeda itu bisa soal tolok ukur tingkat peradaban, maqam spiritual sampai tingkat keberdayaan diri sebagai individu.

Saya bayangkan hidup di surga nanti tentu lebih banyak kumpul-kumpul, guyub sambil ngopi mengenang betapa banyak remeh-temeh remah dunia yang kita ributkan terus-menerus. Sambil ngopi ya, tentu saja, ada orang bilang surga pun tidak akan lengkap tanpa kopi.

Ketika sedang bermaiyah, kita bisa memilih tempat duduk yang memungkinkan untuk langsung memesan kopi manakala selera memanggil, di angkringan misalnya. Namun ketika posisi tidak memungkinkan untuk menghampiri sumber kopi terdekat, di situlah jasa para pahlawan kopi di Maiyah sungguh terasa. Yah, bagaimanapun di Maiyah juga kita masih terikat pada keterbatasan jagad badaniah. Masak iya mau memesan kopi di angkringan dengan mengaktivasi signal komunikasi semacam ajian wisik sukma kayak Panji Tengkorak, nanti dikira pamer. Saya cukup kenal Jamaah Maiyah, mereka orang-orang yang agak malas untuk pamer.

Malam itu, ketika sedang acara Sinau Bareng di komplek perumaham Korem Pamungkas di Kotabaru Yogyakarta saya berkesempatan bertatap muka dengan dua pentolan kelompok pejalan sunyi kopi di Maiyah. Saya katakan pejalan sunyi, karena jarang juga terdengar mereka menjajakan jualan mereka sambil meneriakkan nama jualan mereka dan ya, mereka berjalan. Menyeberangi lautan manusia, mengalir di antara kerumunan jamaah yang selalu menolak menjadi sekadar massa, sementara di panggung hikmah-hikmah terus memancar tanpa lelah.

“Alaah, wawancara opo to Mas orang cuma dodolan kopi ae koq,” Mas Andi menyahut. Saya baru saja tadi sedang menjelaskan pada seorang teman yang tiba-tiba menghampiri ke tempat saya duduk bahwa saya sedang tengah mewawancara, jadi belum bisa ngobrol berlama-lama dengannya.  Saat itu saya duduk di antara sekitar empat atau lima galon air, di depan saya kompor gas sederhana dengan dua panci besar, gelegak air mendidih tampak jahanam dari dalam dua panci besar itu, tidak mengurangi kesejukan dalam bermaiyah, bahkan dia menjadi salah satu faktor kenikmatan.

Setting yang teaterikal itu sendiri berada di trotoar, di depan pagar kompleks. Sedang di depan kami, jajaran motor-motor terparkir, kadang di tengah obrolan Mas Andi mesti memperingatkan orang yang parkir terlalu dekat dengan kompornya agar sedikit menjauh. Tentu ini demi kemaslahatan bersama.

Siapa Mas Andi? Dia adalah salah satu dari anggota rombongan dari Jombang yang memang memiliki pengkhususan menjual kopi kepada Jamaah Maiyah terutama pada daerah Jawa Timur, lebih khusus lagi di Jombang. Bahkan menurut Mas Andi, di Padhangmbulan mereka sudah mendapat sebutan Kopiyah alias Kopi Maiyah. Semacam sapaan kemesraan dari para Jamaah di sana.

Sementara empat orang lainnya bertugas berkeliling membawa bergelas-gelas kopi ke seantero Jamaah. Mas Andi adalah yang bertugas njarang air. Inilah yang membuat obrolan saya dengan rombongan ini lebih banyak bersama Mas Andi. Sesekali anggota rombongan yang dagangannya perlu di-refill datang dan menyapa. Mas Andi sempat memperkenalkan satu per satu nama rekan kerjanya. Namun sayang, tepat ketika itu genset di balik pagar menyala dan mengeluarkan suara menderu. Rekaman saya tidak berhasil menangkap dengan jelas, dan saya sendiri, sangat buruk dalam mengingat nama. Beruntung saya bukan manusia pertama di bumi yang “diajarkan nama-nama padanya”, gawat memang kalau itu saya, ini saya perlu sampaikan sebagai permohonan maaf untuk pembaca yang budiman.

“Ada ketenangan, beda dibandingkan kalau jualan di tempat lain. Kita ndak harus mengharapkan hasil harus banyak yang penting kita puas,” jawab Mas Andi, ketika saya tanyakan alasan berjualan kopi di Maiyah. Berkumpulnya ratusan hingga ribuan orang di titik-titik Maiyah memang juga ikut berperan memutar roda ekonomi, namun hasil rata-rata 200-300 gelas per Maiyah bukanlah sesuatu yang primer yang dikejar oleh Mas Andi dkk yang kesemuanya berasal dari Sumobito.

Tampaknya konsep barokah sangat dominan melambari kesadaran perdagangan beliau-beliau ini, bahwa berjualan kopi di Maiyah memberi rasa tenteram, tenang dan tidak ngoyo. Itu juga membuat mereka tidak lantas memandang pedagang kopi lainnya sebagai saingan. Bahwa setiap makhluk telah dijamin rezekinya oleh Rabb-nya menjadi landasan pikir dan tindak. Hal serupa juga saya temukan nantinya pada wawancara dengan Mas Entong, pria asal Magelang yang wilayah operasi perkopiannya melingkupi Yogya dan Jawa Tengah.

Bukan berarti di antara mereka ada pembagian wilayah penjualan seperti para kartel di negara-negara Amerika Latin, ini hanya berkaitan dengan keterjangkauan. Mas Andi dkk mengorbit di sekitaran Jawa Timur, Mas Entong di wilayah Jawa Tengah. Toh ketika Mas Andi dkk menjamah Yogya, tidak ada permasalahan apa-apa di antara mereka. Bahkan dari keduanya (yang saya wawancarai secara terpisah) terpancar rasa bahagia karena bertambah lingkar silaturrahim.

Berjualan di Yogya dan Jawa Tengah rupanya masih belum sering dilakoni oleh Mas Andi dkk, momen ketika acara Sinau Bareng di Korem pada 21 Agustus 2017 merupakan kali kedua mereka mengorbit di Yogya. “Yang pertama waktu di Krapyak,” kata Mas Andi. Itulah pertama kali rombongan ini kemudian berani melangkah lebih jauh dari wilayah Jawa Timur, dan sekali lagi berani di sini bukan karena memberanikan diri demi keuntungan. Bukan juga tipikal berani seperti penduduk desa di wilayah negeri Utara yang terpaksa berani melanglang buana menjadi imigran karena desa-desanya tidak mampu lagi menghasilkan apa-apa.

Mas Andi dan rombongannya di rumah masing-masing memiliki penghasilan sendiri juga. Beberapa punya kios dan juga beternak ikan yang mereka sebut cukup untuk hidup sehari-hari. Namun kesemuanya itu bisa mereka tinggalkan manakala ada event Maiyah yang akan mereka sambangi.

Saya sempat menanyakan apakah tidak berniat untuk berjualan kopi di wilayah pengajian lain. Sebab kita tahu basis budaya santri di Jawa Timur cukup besar, dan massa yang berkumpul dalam even-even pengajian, tabligh akbar dan sejenisnya juga tidak pernah sepi. “Ndak, di Maiyah saja,” jawab Mas Andi, dan alasannya rupanya cukup sederhana, “Ndak ada pengajian lain yang orang jumlah segitu tahan sampai menjelang subuh Mas.” Walau tanpa berniat hitung-hitungan ekonomi, mesti saya akui alasan Mas Andi cukup rasional dan presisi.

Seperti juga Mas Andi, Mas Entong yang telah sempat saya sebutkan sebelumnya juga memiliki metode penjualan yang mirip. Tidak didapati bahwa konsep mengejar keuntungan materi atau pundi-pundi rupiah adalah hal utama dalam penjualan. Tampak jelas sekali dari Mas Entong bahwa yang paling pertama dia harapkan adalah rasa saling kenal, silaturrahim. Bahkan bahwa terkadang berjualan kopinya tidak balik modal Mas Entong tidak kecewa, Mas Entong menceritakannya dengan tertawa lucu.

Mas Entong sendiri mulai bermaiyah pertama kali tahun 2012 pada Majelis Ilmu Mocopat Syafaat. Dengan riang dia bercerita bagaimana pengalaman pertama kali datang ke majelis kemesraan dan ilmu tersebut, “Yang di atas panggung kan Mas Sabrang, wah gak mudeng kulo. Ini ngomong apa ya? Ada kayak fisika-fisika gitu.” Yang mengherankan, ketidakpahaman Mas Entong ketika pertama kali bermaiyah rupanya tidak membuatnya kapok. Sejak itu Mas Entong rutin mengikuti majelis Mocopat Syafaat. Rupanya memang pemahaman bukanlah hal utama. Ada hal lain di luar apa yang manusia pikir mereka pahami atau yang mereka pikir tidak mereka pahami. Ini memang salah satu ilmu Maiyah.

Dari situ pulalah kemudian datang alasan untuk berjualan kopi. Mas Entong menjelaskan, teman yang dulu mengajaknya ke MS sudah dapat kerja di kota lain. Mas Entong sekadar ingin nyari teman untuk berangkat Maiyahan bareng. Mas Entong yang lebih banyak bergaul dengan orang jalanan tentu cukup sulit mengajak teman-temannya untuk datang ke ‘pengajian’. Kata pengajian sendiri sudah terlanjur memiliki konotasi mengerikan untuk kawan-kawannya, kecuali bila dalam pengajian tersebut mereka bisa berjualan.

Akhirnya Mas Entong memutuskan untuk berjualan kopi. “Biar ada alasan ngajak temen itu lho Mas.” Maksudnya Mas Entong bisa mengajak teman-temannya untuk membantunya berjualan.  Perihal ternyata pada kelanjutannya banyak kawannya yang malah rutin bermaiyah, bukan sesuatu yang diperhitungkan oleh Mas Entong sendiri.

Mas Entong pun pada kelanjutannya juga mulai menjajal kemampuan pengelanaannya hingga ke majelis-majelis Maiyah, Sinau Bareng, di kota-kota lain. Sama seperti Mas Andi dkk yang setiap bermaiyah bertambah lingkar persaudaraan dan silaturrahimnya, begitupun Mas Entong. Beliau sempat bercerita ketika ingin berangkat Maiyah di sebuah kota yang cukup jauh dan tidak ada kawan yang bisa menemani. Beliau berangkat sendiri, namun yang tidak disangkanya ketika seorang Jamaah Maiyah (JM) kenalannya menjamunya di rumahnya, menyediakaan segala keperluannya bahkan tanpa sepengetahuan Mas Entong, memperbaiki motornya yang rusak dalam perjalanan ke kota tersebut. Ada kemesraan dalam sikap saling melayani seperti ini, hal yang semoga tidak menjadi langka di zaman sekarang.

Dalam berjualan di majelis Maiyah, Mas Entong sendiri memiliki etika yang beliau terapkan khusus untuk dirinya sendiri. Biasanya sebelum mulai berjualan, Mas Entong akan menawarkan kopinya secara gratis pada seluruh personel dan kru di atas panggung. Ini disebut oleh Mas Entong sebagai “bentuk kulo nuwun saya Mas.” Pertanyaan mengenai hitungan untung-rugi pun sudah tidak perlu saya ajukan. Bahkan sering tidak hanya yang di atas panggung, beberapa JM yang telah dikenalnya pun akan ditawarinya. Selama wawancara ini berlangsung? Jangan ditanya. Tentu sedulur-sedulur JM yang membaca ini tidak akan jadi oportunis yang akan memanfaatkan hal ini untuk mendapat kopi gratisan kan?

“Kenal akrab masak njaluk duwit yo ra kepenak to Mas,” kata Mas Entong sambil tertawa. Pria mungil ini memang periang. Tapi ketika saya alihkan materi pembicaraan mengenai asal biji kopi yang dijualnya (rasa kopinya beda dengan kopi pabrikan), Mas Entong pun menjelaskan dengan gamblang peta perkopian di wilayah Jawa Tengah, bagaimana produksinya, hingga berkisah bagaimana Ia sendiri selalu memastikan untuk mengambil kopi dari petani-petani kopi di sekitar Gabag, Temanggung, dan Magelang.

Jenis Robusta tentu saja menilik dari asal wilayahnya, dan jenis ini juga dipilih karena tingkat kafein yang lebih tinggi dibanding Arabica sehingga cocok untuk begadang semalaman suntuk. Secara otodidak, penguasaan Mas Entong mengenai dasar-dasar ilmu perkopian selalu berkembang. Kemampuan untuk belajar, memeras tetes terlembut hikmah itu yang selalu menjadi ciri JM di mana pun.

Alasan Mas Entong untuk mengambil kopi langsung dari petani pun, seperti yang diutarakannya tidak jauh dari konsep shodaqoh yang pernah Mas Entong dengar dari Mbah Nun. Mas Entong dengan segala keterbatasannya memiliki tekad dan mental kuat untuk selalu lebih bermanfaat pada sesama, dalam hal ini petani kopi.

Obrolan saya dengan Mas Entong sendiri berlangsung seru dan penuh canda-tawa, di sebuah papan peringatan yang ditandatangani oleh HB IX. Peringatan tentang sebuah peristiwa kepahlawanan. Papan peringatan itu semestinya tidak boleh dijamah sembarangan, ada rantai pembatas yang mengelilinginya. Tapi kami berdua, beserta beberapa sedulur JM duduk di atasnya bahkan terkadang rebahan. Dan kalau di sela-sela wawancara saya rebah dan sempat tertidur (wawancara macam apa yang pewawancaranya sempat tertidur begini ya?) saat terbangun di samping saya selalu terhidang secangkir kopi panas buatan Mas Entong. Betapa keras pun saya berusaha membayar, tetap ditolak olehnya.

Mungkin sebaiknya memang tidak duduk di atas papan peringatan kepahlawanan ini pada hari-hari biasa. Tapi saat kami melakukannya toh tidak ada niatan untuk menghina para pahlawan yang diperingati. Saya bahkan yakin, saya saat itu sedang mengumpulkan data dari para pahlawan juga. Pahlawan kopi di Maiyah ya, Mas Andi, Mas Entong dan kawan-kawannya tentu saja.

Lainnya