CakNun.com

Panggilan ke Tanah Maiyah

Hanifah Mustika Wati
Waktu baca ± 3 menit

“Cuti” dari Maiyah. Itulah yang saya jalani di antara dua hari raya, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Selama itu saya tidak membuka web caknun.com, salah satu tempat yang sering saya kunjungi untuk bermaiyah.

Serasa ada yang hilang, namun mencoba untuk kuat sendiri tanpa Maiyah. Di saat seperti itu, kadang setiap melihat sesuatu yang berhubungan dengan Maiyah, saya jadi senang sendiri. Ada sesutu yang saya rindukan. Seperti saat shalat Idul Adha, saya melihat ada bocah berpeci ala Maiyah, saya mendadak rindu dan merasa ingin kembali bermaiyah. Melihat kutipan maiyahan di TV lokal, pun saya langsung ingat bahwa saya pernah menjadi bagian dari Maiyah.

Di suatu grup chat ada teman yang mengungkap bahwa saya pernah menyimpan coretan di Maiyah, dan itu juga membuat saya sadar bahwa pernah bermaiyah, lalu mengapa sekarang berhenti? Cuti yang saya lakukan ini adalah pencampuran antara sengaja dan tidak sengaja. Tidak sengaja karena sok sibuk dengan hal yang saya hadapi sekarang, dan sengaja karena ingin menguji apakah saya kuat hidup tanpa Maiyah.

Pada tanggal 6 September 2017, saat membuka laptop dan membuka beberapa web, saya kebanjiran info tentang hal-hal kekinian, seleksi abdi Negara dan masalah cita-cita yang terpendam. Sampai di suatu titik saya melihat artikel, “Mengapa Susah Menulis?”, “Tips-Tips Menulis”, “Sering kali kita kehabisan ide untuk menulis…“. Saat itupun saya langsung terperenyak karena ingat pada suatu web. Web yang memberi saya kesempatan emas untuk menulis tanpa memaksakan tulisan saya harus ber-rating tinggi dan mengikuti trend pasar, yaitu caknun.com. Saya pun membayangkan rumus dadakan: menulis = caknun.com, membaca dan menulis = caknun.com, membaca dan menulis = Maiyah.

Mengapa saat membuka web pendaftaran abdi Negara, justru saya kepincut untuk membuka caknun.com, kembali ke Maiyah, padahal sebelumnya saya hanya membiarkan, tak ada target kapan akan kembali ke Maiyah. Saya akan kembali kalau Allah menakdirkan saya, begitu kata saya dalam hati. Sepertinya hari itu saya ditakdirkan Allah kembali ke Maiyah. Inilah panggilan ke tanah Maiyah. Bukankah web pendaftaran sebagai abdi Negara itu sangat dinanti oleh pemuda pemudi nusantara, adalah web yang sangat padat, kok malah saya berpaling ke web Maiyah? Web yang membuat saya belajar untuk tak berharap apa-apa dan terkesan tak mendapat apa-apa, namun sebenarnya mendapatkan banyak hal dari sini.

Saya adalah generasi milenial yang ciut dan kagok dengan kemilinealan dan kekini-kinian. Setiap ada artikel tentang tips-tips menulis, kadang saya pengen menulis tapi nyali saya hanya menulis di laptop sendiri, dan ciut update status di medsos. Tulisan saya di caknun.com, yang sebenarnya adalah curhat pribadi, yang tidak menjual sama sekali, mengapa bisa tertampung? Syukurlah ada web yang sudi menapung coretan si galau macam saya. Saya yang tidak populer dan tidak eksis di dunia maya maupun dunia nyata, terjebak di zaman yang mem-primerkan kepopopuleran dan keeksistensian ini. Tak berani curhat di medsos, tapi redaksi caknun.com dan JM dengan legawa sudi untuk menampungnya.

Inilah kata hati saya: “Di zaman yang semakin canggih dan semakin sulit membedakan yang baik dan benar di dunia maya, daripada berbual di medsos dan menulis hanya sepotong-sepotong, satu kalimat, yang artinya tak berarti, dan menjadi multitafsir, atau hanya berkomentar, yang akan menimbulkan perdebatan antar sesama komentator. Lebih baik menulis di caknun.com. Saya pun tak berani menulis di blog pribadi, meskipun mudah dan murah. Mengapa? Karena tak ada editor dan kita bisa dihujat habis-habisan di situ. Di Maiyah ada editor dan web ini dikelola dengan bijak dan profesional, maka segala tulisan di web ini bisa dipertanggungjawabkan bersama.”

Itulah yang menyadarkan saya mengapa acara Maiyah selalu lama, panjang dan bekelanjutan, seperti bermaiyah dari jam 9 malam sampai 3 pagi. Rubrik Daur yang hingga ratusan edisi, tulisan Mbah Nun hingga berpuluh-puluh buku. Kenyataan sekarang bahwa kalimat dan tulisan yang jelas, panjang dan lengkap saja masih sering dipotong-potong yang dinamakan “budaya sop buntut” apalagi yang hanya satu kalimat. Maka di Maiyah kita belajar berpikir integral, luas, dan mendalam. Segala hal boleh ditadabburi sendiri, tetapi penjelasan dari itu tak cukup hanya sejam dua jam, tak cukup hanya di suatu tempat, tapi bisa di manapun.

Selama antara dua hari raya saya merasa tertinggal di Maiyah, namun saya tetap bisa mengikutinya. Maiyah tidak membuat saya gaptek atau kudet. Tidak ada istilah kudet di Maiyah. Orang baru, orang lama, semua sama, tidak ada senior junior. Di sinilah saya sebagai generasi milenial, yang dituntut selalu “update”, aman dari julukan “kudet”. Maiyah bukan pelarian, namun di Maiyah saya merasa tenteram.

Setelah menulis ini, rasanya saya menemukan air di tengah dahaga cuti dari Maiyah. Dan hebatnya di Maiyah, tak peduli seberapa lama kita cuti, tak ada masa tenggang dan tak kan hangus, kita bisa masuk kapanpun, tak ada masa kadaluarsa di Maiyah, dan tanpa syarat untuk update-update-an. Sungguh ajaib Maiyah ini.

Lainnya

Seribu Idul Fitri Untuk Seribu Diri

Seribu Idul Fitri Untuk Seribu Diri

Pencapaian diri-rakyatmu mungkin adalah ketangguhan untuk tidak terhina oleh pelecehan, tidak menderita oleh penindasan, tidak mati oleh pembunuhan.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib