CakNun.com

Pandawayudha

Kompas, 10 Februari 2017
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 7 menit

Kalau pesawat mengalami turbulence, hati penumpangnya galau, perasaannya hancur dan pikirannya buntu. Apalagi kalau guncangannya semakin menjadi-jadi, seluruh jiwa raga serasa lumpuh.

Apa saja yang dilakukan, tidak ada benarnya. Berdiri, miring ke kanan miring ke kiri, terbanting ke depan atau terjengkang ke belakang. Semua gerakan salah. Semua inisiatif mencelakakan. Segala sesuatu yang biasanya benar, menjadi tidak benar. Ketika dilakukan sesuatu yang sebenarnya salah, bisa menjadi benar. Tidak ada paramenter, logika, proporsi, teori, pengetahuan dan ilmu, yang bisa diberlakukan sebagaimana pada keadaan yang normal.

Kalau kapal bergoyang-goyang ekstrem, mau memeluk istri malah kepala membentur kepalanya. Mau menyodorkan gelas minuman, tumpah ke badan kawan. Semua pergerakan membias, melenceng, bahkan berbalik. Kebenaran menjadi kesalahan, haq menjadi batil, kebaikan menjadi kejahatan, komunikasi menghasilkan kesalahpahaman, kasih sayang menghasilkan pertengkaran.

“Terlanjur” Pancasila

Mungkin tidak persis apalagi separah itu, tetapi kita bangsa Indonesia rasanya sedang mengalami situasi semacam itu. Berlangsung ketidakseimbangan berpikir yang semakin merata. Kemiringan persepsi serta ketidakadilan sikap satu sama lain. Mungkin karena semua pihak mengalami kepanikan subjektif, sehingga berlaku over-defensif, kehilangan presisi logika dan ketegakan analisa atas segala sesuatu. Termasuk terhadap dirinya sendiri.

Kita menjadi kanak-kanak massal, ditindih oleh rasa tidak percaya satu sama lain, sehingga terseret untuk melakukan hal-hal yang membuat kelompok lain semakin tidak percaya. Semua dirundung situasi patah hati sebagai kelompok-kelompok, sehingga egosentrisme membengkak pada masing-masing yang merasa saling terancam. Ukuran-ukuran tentang apa saja menjadi semakin kabur. Wajah kebangsaan kita menjadi tak berbentuk, seperti lukisan abstrak ekspresionis yang dihasilkan oleh tangan bayi yang meronta-ronta, yang di antara jari-jemarinya kita letakkan kuas yang kita sentuhkan pada kanvas sejarah.

Andaikan pada akhirnya terjadi chaos, entah pada tingkat tawur, sweeping, pembakaran-pembakaran sporadis atas wilayah “lawan”, atau penyerbuan-penyerbuan lokal. Atau na’udzu billahi min dzalik demi anak-cucu kita kelak jangan sampai terjadi perang sipil atau pembasmian massal seperti 1965 – kita tinggal berharap kepada “Kami” dari langit atau ekstra dimensi yang lebih lembut.

“Kami” itu maksudnya Tuhan dengan para aparat-Nya: rombongan Malaikat, Jin, makhluk-makhluk lain termasuk Komunitas Mukswa, yang juga merupakan sahabat dan tetangga kita penduduk Indonesia. Mereka yang mengawal detak jantung dan jalannya darah kita, membagi kalori, lemak, karbohidrat, protein, mineral, dll di jasad kita. Juga memastikan gravitasi, menetesnya embun, bersemainya dedaunan, hingga beredarnya matahari dan rembulan. Kenapa tidak juga ditugasi ekstra untuk menolong rakyat kecil Indonesia para kekasih Tuhan?

Sebab seluruh himpunan pengetahuan dan ilmu, dari masa silam, sekarang, maupun masa datang, yang modern maupun tradisional, dari kearifan dusun hingga kecanggihan toga kaum Sarjana – belum pernah saya temukan bagian dari itu semua yang sanggup mengatasi komplikasi permasalahan yang ekstra-unik, ultra-ruwet, dan multi-simalakama khas Indonesia Raya sekarang ini.

Saya memberanikan diri menyebut fenomena “langit” ini karena bangsa kita terlanjur melandasi kebangsaan dan kenegaraannya dengan Pancasila yang sokoguru-nya oleh Ketuhanan Yang Maha Esa.

Akurasi, Presisi, dan Talbis

Andaikan sekarang ini era Nabi Nuh, dan kita semua ingkar kepada Tuhan, sehingga menyakiti hati kekasih-Nya, yakni Ruhullah Nuh itu, lantas menganugerahkan banjir bandang yang menenggelamkan seluruh Nusantara – juklak-juknisnya akan tidak sesederhana dan semudah Bahtera Nuh dahulu kala.

Bagaimana verifikasi siapa-siapa yang akan naik kapal? Nabi Nuh tidak memerlukan penyaringan, sebab semua yang ingkar tidak berminat naik kapal, karena yakin akan bisa selamat tanpa Bahtera Nuh. Tapi kita sekarang sudah punya referensi tentang kasus kapal Nuh. Kita tidak mau disapu habis oleh banjir, maka kita semua akan beramai-ramai mengaku beriman kepada Tuhan dan Nabi Nuh agar diperbolehkan naik kapal. Kita adalah bangsa yang sudah sangat terdidik dalam hal “kutu loncat”. Sangat banyak politisi kita yang menjadi “teladan” perilaku kekutu-loncatan, yang luwes dan dinamis.

Di dalam atmosfir itu, siapa yang menolak kutu loncat, adalah pribadi yang keras kepala, hambegugug nguthowaton, kepala batu, meskipun yang bersangkutan merasa dirinya konsisten dan teguh iman. Dalam situasi normal saja kita tidak selalu memiliki presisi untuk membedakan antara hemat dengan pelit, antara boros dengan dermawan, antara move-on dengan disorientasi, antara kemurahan sosial dengan poligami, antara kearifan dengan kompromi, antara kedewasaan dengan ketidakberdayaan, antara takut dengan mengalah. Terlebih lagi antara kapan merasa bangga kapan merasa hina, miskin itu letaknya di mentalitas ataukah harta benda, atau antara pemimpin dengan penguasa, bahkan antara penguasa dengan boneka.

Maka di tengah turbulence pesawat atau kapal berguncang-guncang hari-hari ini, kita juga kehilangan ketepatan dan keseimbangan, tidak lagi punya akurasi dan presisi ketika menggagas dan merumuskan SARA, Agama, Etnik, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI Harga Mati, Nasionalis dan Islamis. Jalan kita sangka tujuan. Sarana kita anggap pencapaian. Roh dianggap jasad. Lembaga disangka Ideologi. Pemerintah merasa dirinya Negara. Pejabat menyimpulkan dirinya atasannya Rakyat. Tak mengerti pilah antara Negeri dengan Negara. Pengkhianat dinobatkan sebagai Pahlawan.

Pengetahuan kita tinggal satu: yang pasti benar adalah kita. Yang bukan kita, pasti salah, meskipun di lubuk hati kecil ada kans 1% yang bukan kita itu punya kemungkinan untuk benar. Yang pasti benar meskipun bukan kita adalah yang membayar kita. Pesawat kebangsaan kita sedang mengalami super-turbulence. Bahtera NKRI kita sedang terguncang-guncang oleh pertengkaran kita sendiri. Semakin kapal berguncang, semakin kita bertengkar. Dan semakin kita bertengkar, semakin kapal berguncang.

Kita langsungkan itu semua dalam Deret Hitung, dan kalau yang kita lakukan adalah yang itu-itu juga yang sejauh ini kita lakukan, segera akan kita alami percepatan Deret Ukur. Terutama kalau kita terus melakukan Talbis. Talbis adalah peristiwa di surga ketika Adam dijebak dan ditipu oleh Iblis, karena menyangka yang datang kepadanya adalah Malaikat. Sang Iblis berpakaian Malaikat, sementara Adam belum terdidik oleh pengalaman untuk membedakan antara Iblis dengan Malaikat. Sebagaimana rakyat tidak pernah belajar memahami Talbis perpolitikan Negaranya.

Yang paling besar sumbangannya terhadap kehancuran NKRI adalah para pelaku Talbis. Manusia-manusia, kelompok, lembaga atau satuan yang memprogram ke-Iblis-an, mengkamuflasenya dengan kostum, formula, simbolisme dan teks seakan-akan Malaikat. Kostum nasionalisme, pewarnaan Merah Putih, serban Istighotsah dan lantunan suara surgawi. Tapi di belakang punggung melakukan rekayasa, bullying, kriminalisasi, skenario penumpasan, pembunuhan karakter, pemanfaatan pasal hukum, penyebaran meme-meme, pengaturan irama viral, serta apa saja untuk meneguhkan kekuasaan dan penguasaan.

Pandawayudha

Dalam peristiwa Bahtera Nuh terdapat polarisasi antara Kaum Beriman dan Kaum Ingkar. Dalam perang Bharata Yudha bertarung antara Pandawa yang mewakili kebenaran dan kebaikan, melawan Kurawa yang mewakili kebatilan dan kejahatan. Yang kita alami dengan NKRI hari ini adalah Pandawayudha.

Masing-masing pihak yang berhadap-hadapan merasa dirinya Pandawa. Bahkan sangat yakin dengan ke-Pandawa-annya. Masing-masing juga memiliki landasan nilai dan argumentasi yang kuat bahwa mereka Pandawa. Kwa-nilai dan substansi, keduanya bisa menemukan kebenaran dan kebaikannya. Ini Pandawayudha. Permusuhan antara Pandawa dengan Pandawa untuk dirinya masing-masing, atau Kurawa lawan Kurawa untuk penglihatan atas musuhnya masing-masing.

Mereka berhadap-hadapan dalam eskalasi kebencian dan pembengkakan permusuhan. Kalau didaftar, disensus, masing-masing adalah NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Tuhan menggambarkan dengan kalimat “tahsabuhum jami’an wa qulubuhum syatta”: mereka berada di satu bulatan NKRI, dengan hati mereka terpecah belah.

Padahal titik krusialnya terletak pada turbulence pesawat dan guncangan kapal. Yang satu bersikukuh bunyi kokok ayam adalah “kukuruyuk”, lainnya bersikeras “kongkorongkong”, lainnya diam-diam menyimpulkan “kukeleku”, “kukurunnuk” atau “cock-a-doodle-doo”. Padahal yang benar sejati adalah si ayam itu sendiri.

Ada konstelasi Pribumi dan Non-Pribumi. Ada Arab, Habib, Sayyid, Syarif, Ahlul-Beyt. Di kejauhan sana ada Kiai, Yai, Ustadz, Ajengan, Tuan Guru. Di sekitar kita ada Cina Daratan, Cina Perantauan, Cina Benteng, dan Cina Toko. Padahal substansial menghampar juga Jawa Benteng dan Jawa Toko, Batak Benteng dan Batak Toko, pun Arab Benteng dan Arab Toko. Sebagian dari konstelasi itu kini sedang incar mengincar dan bermusuhan dengan parameter simbolik, bukan ukuran substansial dan hakiki kasunyatan perilaku. Pelaku SARA menuduh lainnya SARA, yang dituduh SARA terpojok untuk juga berlaku SARA.

Berlangsung dengan marak turbulensi alam pikiran, melahirkan guncangan sikap dengan pilihan kemiringan masing-masing. Ada yang miring karena diakibatkan oleh turbulensi, ada yang nempel ke salah satu dinding karena terlempar oleh guncangan. Tapi ada juga yang memanfaatkan kemiringan, mendayagunakan turbulensi, dan memanfaatkan guncangan. Bahkan ada yang pro-aktif merekayasa turbulensi, merancang guncangan, dan memperdaya para penumpang dengan meyakinkan bahwa itu tegak, bukan miring. Bahwa yang ini NKRI, yang itu makar. Yang ini Bhinneka Tunggal Ika, yang itu radikal.

Padahal pada hakekat dan kenyataannya, menurut tradisi terminologi Al-Qur`an, musuh utama Islam dan manusia adalah keingkaran (kufur), kemusyrikan (selingkuh), kemunafikan (hipokrisi, oportunisme), kefasiqan (lupa Tuhan sehingga lupa diri), juga kedhaliman (kejam dan mentang-mentang). Di antara semua itu yang ratusan kali lebih berbahaya dan sangat menyulitkan adalah kemunafikan: “mungsuh mungging cangklakan” (musuh yang nempel di ketiak) alias musuh dalam selimut.

Di dalam golongan-golongan yang saling bermusuhan terdapat Munafiqun-nya masing-masing. NKRI dan Bangsa Indonesia ini sendiri diperlakukan secara munafik oleh sebagian penghuninya. Dan itulah the true turbulence, guncangan sejati sejarah kita hari ini.

Pawang Kambing dan Sanggar Kenegarawanan

NKRI adalah abstraksi garis lurus vertikal gravitasi. Tetapi semua yang berdiri miring dan bermusuhan satu sama lain, meyakinkan dirinya sendiri bahwa mereka tegak gravitatif. Terjadilah saling-silang garis-garis yang masing-masing adalah klaim gravitasi. Atau NKRI adalah patok kayu di mana kambing-kambing diikat lehernya dengan tali. Panjang pendeknya tali dari kambing ke patok itu bervariasi sesuai dengan potensi dan pencapaian masing-masing. Tetapi masalah NKRI hari ini adalah masing-masing kambing menancapkan patoknya sendiri-sendiri.

NKRI hari ini adalah kambing-kambing (bhinneka) berlarian pada kepentingan diri (tunggal)nya sendiri dan membikin patok (ika)nya masing-masing atau sendiri-sendiri. Sungguh kita para kambing ini butuh Penggembala, Negawaran, Panembahan, Punakawan, Begawan. Kalau semua pihak, Polisi, Tentara, Parpol, Ormas, Presiden, Menteri, Kiai dan Ulama, bahkan alam pikiran rakyat, tercampak di kurungan arena politik (praktis) – maka tidak perlu waktu lama bagi kambing-kambing itu untuk kehilangan lapangan rumput.

Telah berdatangan “Pawang-pawang Kambing” dari luar memasuki lapangan, bekerjasama dengan “Pawang-pawang Toko” yang sejak lama ada di lapangan. Secara bertahap dan sangat strategis gravitasi NKRI dikaburkan dengan diperbanyaknya gravitasi-gravitasi di sana sini, untuk pada akhirnya – sesudah sempurna delegitimasi gravitasi NKRI – akan dimapankan tancapan gravitasi baru, yang mungkin tetap bernama NKRI tapi sesungguhnya bukan lagi NKRI.

Dengan rancangan yang seksama dan hampir sempurna, kambing-kambing dirangsang dengan rumput-rumput di berbagai area, kemudian dipandu untuk menancapkan patoknya masing-masing. Telah berlangsung hampir menyeluruh amandemen atas gravitasi dan patok. Bangsa Indonesia sedang bergerak menuju bukan Bangsa Indonesia, dan Negara Indonesia menuju Indonesia baru yang hanya namanya saja.

Saya pribadi sedang merekapitulasi seberapa cacat Negara kita ini dulu ketika lahir. Misalnya dalam hal formula kenegaraan, kadar kontinuasi dari masa lalu Bangsa Indonesia yang tua, serta adopsi, copas, epigon, atau bahkan plagiat dari suplai nilai-nilai para penjajah. Sangat banyak nilai-nilai mendasar yang mau tidak mau akan harus kita pertimbangkan kembali, demi kemaslahatan anak cucu.

Kalau para orang tua Bangsa ini, para Sesepuh, para Negarawan dan Begawan-Begawan nilai, tidak bersegera untuk duduk bersama, berunding dengan kelengkapan kulit dan isi, langit dan bumi, kesementaraan dan keabadian, kebendaan dan kemanusiaan, kebinatangan dan kemalaikatan – di dalam lingkup kesaktian dan keindahan Pancasila – kita semua harus bersiaga untuk mengalami lonjakan dari Pandawayudha ke Bharata Yudha – yang untuk jenis karakter Bangsa Indonesia, bisa amat sangat mengerikan dan membuat penduduk dunia menggigil terpana.

Presiden dan para figur kunci Pemerintahan, pendekar Sipil maupun Militer, pemuka-pemuka semua kelompok, para sesepuh masyarakat, semua lingkaran kebhinnekaan, ojo dumeh, anak cucu memerlukan para Paduka duduk melingkar bersama di Sanggar Kenegarawanan, untuk semacam Musyawarah Darurat Keselamatan Bangsa.

Saya berlindung kepada Tuhan Yang Maha Penyayang dari Indonesia yang kehilangan Pusaka, dan tersisa di tangannya hanya Pedang, Pisau, Parang, Peluru, Tenung, Santet, dan Senapan. Siapa saja yang hendak menguasai suatu Negara sekalian Bangsanya, menggunakan kecerdasan, limpahan uang dan keserakahan: sungguh tidak sukar. Fakta dan buktinya sedang berlangsung. Tetapi penguasaan atas kehidupan, manusia dan sejarah, berhadapan dengan tantangan-tantangan yang tidak sesederhana yang bisa dihitung oleh akal dan strategi. Juga dengan “kekejaman” waktu dan “min haitsu la yahtasib” atau “devine authority”, yang kalau meremehkannya, jangan 100%.

Lainnya

Maiyah untuk Pembebasan

Perubahan sosial dan budaya menuju keadilan, kesejahteraan, kesetaraan dan kemakmuran bangsa, bisa dimulai dari penggalangan jamaah.

Toto Rahardjo
Toto Rahardjo
Exit mobile version