Pancasila Setengah Hati
Tulisan ini rencananya berjudul “Khilafah Yesus”, tetapi tidak dengan setiap kata kita siap bersilaturahmi. Beda satu huruf, bisa tawur. Habibi dicintai, kalau Habib dibenci, padahal hanya huruf “I”, atau “I”nya ditaruh di sela huruf yang lain: Habaib – banyak orang merasa ngeri. Indonesia sedang sangat berkabut. Penglihatan kita samar-samar. Mau bela yang anti Allahu Akbar, ada maklum-maklum juga tapi salah. Mau bela yang teriak Allahu Akbar, kebenarannya cedera oleh ketidaktepatan di baliknya.
Begitulah. Gara-gara sekilas saya menyebut tentang situasi Keraton Yogya hari ini, sahabat-sahabat saya memprotes. Padahal saya belum menyebut Serat Suryorojo HB-II yang diijtihadi oleh HB-V menjadi Serat Purwokondho, yang menyatakan “kalau sampai Rajanya….maka Keraton akan ambruk”. Paugeran itu secara resmi berlaku sampai hari ini. Belum lagi kalau melebar sampai ke Serat Srimpi Jemparingan, Serat Tapel Adam, Kitab Tuhfat An-Nafis, sampai Kiai Sangkelat, Kiai Kopek dan Kiai Joko Piturun.
“Kenapa muatan tulisanmu tidak ditata dengan tertib. Kenapa lebay dengan ketidakteraturan 1>8>2503>4>519, bukannya yang wajar saja: urut 1-2-3-4. Kemudian kamu mencipratkan kata, idiom, konteks dan informasi yang tidak kamu tuntaskan, sehingga menjadi PR bagi yang membaca?”, saya digugat.
Saya sendiri pun sering mempertanyakan kenapa tulisan-tulisan saya random dan serabutan seperti hutan belantara. Kenapa tidak belajar menggambar kebun atau taman, yang jelas pagarnya, jenis tanamannya, dalam dan luarnya. Kenapa konteks tulisan saya melompat-lompat, materi tematiknya zig zag ke sana kemari. Kenapa tidak belajar berdisiplin dengan pembatasan topik, lingkar famili informasi, rangka dan perspektif yang gamblang?
Mungkin karena kita ceroboh dalam berkebun, sehingga sekarang makin jadi hutan rimba. Mungkin kita tidak benar-benar menghormati taman, sehingga malah Finlandia yang belajar kepada Tamansiswa. Kemudian kita meng-epigoni Finlandia, lantas bikin fullday school, padahal Pesantren sejak dulu sudah full day and night school.
Saya sendiri sedang menyelidiki ada kenakalan macam apa yang “loading” di dalam diri saya. Sesudah erupsi gunung Merapi, di lerengnya sampai melebar ke wilayah sekitar Merapi, tumbuh tanaman-tanaman baru yang sebelumnya tidak ada. Ada sangat banyak benih kehidupan yang pengetahuan kita menyangka itu semua tidak ada, serta ilmu kita berpendapat itu semua mustahil. Kalau yang sekarang diwaspadai bukan Merapi melainkan Merbabu, yang selama ini dianggap sudah tidak aktif – sesungguhnya yang berlangsung di alam dan kehidupan ini bukanlah 1>8>2503>4>519, melainkan SOP 1-2-3-4-5. Hanya saja kita menyangka kenyataan hidup ini sebagaimana yang kita ketahui. Padahal jelas hakikat dan kasunyatan hidup lebih banyak terletak di area yang tidak atau belum kita ketahui.
Mereka bertiga marah karena dalam tulisan saya menyebut mereka “sahabat”, padahal sebenarnya kami adalah “saudara”, bahkan saudara kembar. Mereka lahir bersamaan waktunya, bahkan menit dan detiknya.
Kami Sedulur-4, merupakan salah satu cipratan atau manifestasi dari yang-Maha-1, dan menjalani kehidupan untuk di ujungnya nanti tidak meng-4 lagi, melainkan men-1. Saya selalu menghindar untuk tidak menyebut men-1 itu dengan kata “Tauhid”. Sebab semakin banyak kata yang bias, syubhat, bahkan najis, karena kegagalan komunikasi nilai antara manusia.
Kata “Tauhid” dipadatkan menjadi “Islam”. Yang direduksi pula menjadi “Agama Islam”. Kemudian dipersempit menjadi Ummat Islam. Dikeping-kepingkan lagi menjadi Ahlussunnah Waljamaah, Syiah, NU, Muhammadiyah, HTI, Majelis Ulama dan banyak lagi. Yang semua itu dilembagakan, dikasat-matakan, dimaterikan, diduniawikan.
Kalau satu kata terpeleset atau dipelesetkan oleh pelaku ilmu, produknya adalah kebenaran menjadi cedera. Kalau dilakukan di ranah moral, kebaikan menjelma keburukan. Kalau terjadinya di ‘walayatur-ruh’, area rohani, anak panah kehidupan tidak meluncur dan menancap di jantung cinta hati Tuhan. Kalau kasusnya fiqih, hasilnya najis. Kalau perkaranya hukum, buahnya ketidakadilan. Kalau dalam olahraga, namanya tidak sportif. Kalau dalam musik, itu fals sebutannya. Kalau meleset persuami-istrian, tidak jadi hamil.
Orang men-Sunni, agar Islam pelakunya lebih Islami. Juga Syiah, NU, Muhammadiyah, adalah tarikat atau sarana agar Muslim lebih meng-Islam. Tetapi keterpelesetan kata bisa membuat orang memprimerkan Sunni-Syiah NU-Muhammadiyah dibanding Islam. Mereka tak mau kehilangan korpsnya, kalau perlu dipertahankan dengan cara melanggar Islam. Membubarkan HTI merasa telah menumpas Khilafah. Organisasi dipadankan dengan esensi dan substansi. Tubuh diidentikkan dengan ruh. Jasad dianggap sama dengan nyawa. Karena terpeleset mengidentikkan Khilafah = HTI, maka kegembiraan HTI bubar dipahami sebagai berakhirnya Khilafah. Anti HTI = anti Khilafah.
Ketika Tuhan mengumumkan kemauan-Nya tentang Khilafah, Ia tidak menyebut individu (Adam). Atau tingkat kualitas kepribadiannya (Nabi Adam). Juga bukan jabatannya di bumi (Rasul Adam). Tuhan langsung menyebut fungsi manajerialnya, tata kelolanya, skala tanggung jawabnya: yakni Khalifah. Tapi karena peradaban ahmaq, penglihatan mata kuda, persepsi sepenggal, kompor tanpa sumbu – gara-gara capek oleh “kementhus”-nya kader-kader HTI di kampus-kampus dan kampung-kampung: orang lantas anti-Khilafah.
Orang bikin tempe tanpa ingat bahwa kedelai bikinan Tuhan. Orang tak mau makan gethuk lantas anti ketela. Orang pegang gadget lupa siapa yang menciptakan logam, SOP frekuensi, ide tentang jarak dan resonansi. Tetapi mungkin itu terlalu jauh. Yang urusan hardware dan materialisme perekonomian saja Nenek kita bikin sambal, Konimex Belanda dan restoran Cina yang memproduksi: kita yang beli. Pemuda-pemudi bikin sepatu, celana, baju, dikirim ke Italia, distempel “bukan made in Indonesia”, lantas kita yang beli.
Orang makan kolak isi pisang, nangka, ketan dan ketela – mengklaim bahwa pisang nangka ketan ketela adalah kelompok-kelompok anti-Kolak. Mengibarkan bendera Pancasila, pikirannya steril, tidak tahu bahwa di dalam bendera itu terdapat Kejawen, Kebatinan, Budha, Hindu, Kristen, Islam, local wisdom dan substansi peradaban sejak puluhan abad silam.
Bagaimana ummat manusia abad 21 ini, apa yang bisa diandalkan dan diharapkan dari mereka. Berjuang, kerja keras, Jihad, diresmikan = terorisme. Mushaf disebut Al-Qur`an. Bekerja, berbuat, amal, diartikan sedekah. Bikin Negara tapi pasar bebas. Mendirikan pagar tapi merobohkan pagarnya sendiri. Memeluk Agama tapi meributkan institusinya. Omong berbusa-busa tentang Ketuhanan Yang Maha Esa tapi tidak memperjelas bahkan tidak punya konsep ketuhanan. Seolah-olah Pancasila mensila-pertamakan Tuhan, padahal yang diambil cuma sifat-Nya, bukan Maha Subjeknya. Tidaklah sama Putih dengan Keputihan. Sangatlah berbeda antara Malu dengan Kemaluan.
Tidak dipikirkan kalau Esa atau Eka ada Dwi, Tri, Catur dan Pancanya. Beda dengan Tunggal, tiada duanya, apalagi tiganya. Sudah terlanjur bukan Ketuhanan Yang Maha Tunggal. Disangka Ika adalah satu, lantas memberi anjuran nasional “Mari kita jaga Ke-Bhinneka-an dan Ke-Ika-an kita”. Para pakar tidak menolong Negara dengan menjelaskan bahwa Ika bukan Satu. Kenapa ada dua N dalam Bhinneka. Kalau Bhinneka sudah Tunggal, ia bukan Bhinneka lagi. Kalau Bhinneka Esa atau Bhinneka Eka, lebih rasional dan aplikatif. Apa perlu Ika di ujungnya kalau yang dimaksud adalah Bhinna Itu (iko, kuwi, itu) Eka.
What is in a name. It’s just a word. Proklamator kita adalah Bung Karjo, penerusnya Presiden Suharti. Hantu ditakuti, Tuhan dicurigai. Kecuali orang Madura salah ucap Indonesia menjadi Indonasua, Sumpah Lapa-lapa menjadi Palapa, Internet menjadi Eternit, Gus Dur menjadi Gus Dor, atau kota Ronto-ronto menjadi Toronto, atau pelesetan menjadi peli-setan. Mending selamatkan anak-anak dengan menyebut “pentung” jangan “il”, “tempolong” jangan “ik”, atau ikan “tongkol” jangan dibalik.
Jadi kenapa “saudara” disebut “sahabat”? Kembali ke serbuan para “sahabat” saya di atas, dan saya tuntaskan.
Seberapa penting bagi manusia sekarang persahabatan dan persaudaraan? Apa manusia sekarang merasa perlu mempelajari “keanehan” kenapa Adam Syafi’ullah (evakuator) Allah? Ibrahim “Kholilullah” sahabat karib Allah? Ismail “Dzabihullah”, sembelihan Allah? Nuh “Najiyullah” pengharap rahmat Allah? Musa “Kalimullah” jubirnya Allah? Isa (Yesus) “Khalifatullah”, pemegang mandat Khilafah dari Allah?
Apa penting ada kurikulum yang mengolah pendidikan persaudaraan dan persahabatan di Sekolah dan Universitas? Pelajaran tentang hewan saja Guru-guru banyak memilih memperkenalkan Dinosaurus, bukan Bebek dan Ayam sahabat para murid sehari-hari. Kita tidak realistis terhadap diri kita sendiri, yang disebut kemajuan adalah mimpi dan mitologi untuk menjadi orang lain. Kita tidak serius terhadap beda keberangkatan budaya dari abjad, huruf dan aksara. Kepada Tuhan kita juga main-main. Terhadap Pancasila kita setengah hati.
(Bersambung)