Pak Nevi Asisten Pengobatan Cak Nun
Masih dalam jadwal perjalanan memenuhi permintaan masyarakat, sore ini KiaiKanjeng bergerak ke Solo. Saya turut serta. Tapi karena tidak sedang hari Minggu, saya tidak duduk di muka di samping pak kusir yang sedang…eh!
Saya duduk di tengah di mobil Hiace ini. Hanya bersela satu shaf dari Pak Nevi Budianto yang selalu mengambil tempat di belakang. Posisi Tut Wuri Handayani. Klop, karena Pak Nevi adalah seorang guru, yang menjiwai ajaran Bapak Pendidikan Nasional kita Ki Hajar Dewantara. Tahu kapan di depan, di tengah, atau di belakang. Posisi duduk tak jauh dari Beliau itu sangat menguntungkan.
Bagaikan layar kamus, pada diri Pak Nevi tertera abjad-abjad yang apabila didudul dengan jari telunjuk akan muncul banyak lema berikut keterangan-keterangannya. Macam-macam soal, terutama menyangkut perjalanan hidupnya bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng. Jarak yang dekat, saya manfaatkan buat ndudul Beliau.
Sampai pada lema Mandar. Ya, hubungan Cak Nun dengan masyarakat Mandar. Itu hubungan panjang yang sebagian kita sudah mendengar cerita dan kisahnya dari Cak Nun maupun dari teman-teman Mandar sendiri, yang kini sudah merupakan generasi cucu.
Pak Nevi termasuk orang pertama yang diajak Cak Nun pergi ke Mandar pada fase awal hubungannya dengan orang-orang Mandar. Pak Nevi tergolong orang pertama yang pernah menjadi saksi akan bagaimana kiprah Cak Nun di sana dan bagaimana penerimaan, persepsi, keyakinan, dan perlakuan orang Mandar kepada Cak Nun.
Almarhum Alisjahbana yang asli Mandar dan sudah bekerja sebagai pegawai Pemda DIY di Yogya kala itu tentunya orang yang membuka jalan jalinan silaturahmi dan persahabatan Cak Nun dengan orang-orang Mandar. Ketika itu, Alisjahbana yang pegawai negeri itu selalu datang ke rumah Patangpuluhan. “Dia orang yang lurus, puritan, dan suka sastra,” kata Pak Nevi mengingat sosok Alisjahbana.
Bersama Alishahbana, Cak Nun pernah mengajak almarhum Agung Waskito, dan setelah itu kemudian Pak Nevi, untuk jauh-jauh berkunjung ke Mandar. Untuk apa? Memberikan worskhop teater.
Sebelum diajak ke Mandar dua kali, jauh sebelum bersama KiaiKanjeng pada sepuluh tahun kemudian, Pak Nevi sudah mendengar kesaksian dan keyakinan orang-orang Mandar mengenai sosok muda Cak Nun. Lama sekali Mandar tak mengalami hujan, saat Cak Nun datang ke sana, dan lalu mendoakan, lha kok ndilalahnya habis itu Allah menurunkan hujan. Alhamdulillah.
Lain waktu, terjadi konflik orang-orang Tinambung dengan orang-orang Pangaliali. Mereka akan bentrok. Mendengar itu, Cak Nun mengambil langkah. Dengan dibonceng motor oleh salah satu warga Tinambung, Beliau bergerak cepat ke titik di mana dua kubu ini akan tumbuk. Di titik itulah, ketika dua kubu ini datang, Cak Nun melerai, meredam, dan mendamaikan mereka.
Nama Cak Nun pun lantas tersohor dan terkenal ke segenap masyarakat Mandar. Dialah sang pendamai. Dialah yang “menurunkan” hujan. Begitu mereka menyebut. Sampai Raja Mandar Mara’dia Raja Balanipa pun mendengarnya. “Saya sempat diajak Cak Nun silaturahmi dengan Mara’dia diantar Alisjahbana.”
Tahun 1989, Pak Nevi diajak Cak Nun ke Mandar dalam rangka workshop Teater Flamboyan. Menurut Pak Nevi, boleh dikatakan yang melantik atau meresmikan Teater Flamboyan ini adalah Cak Nun dan Pak Nevi.
Dengan reputasi yang telah tertancap dalam benak masyarakat Mandar, berangkai dengan workshop tersebut, Cak Nun diminta masyarakat di sana untuk memberikan pelayanan pengobatan. Orang-orang datang ingin agar Cak Nun memberikan doa kesembuhan bagi mereka. Waktu itu belum model membawa botol atau jerigen air. Mereka datang tidak membawa apa-apa.
Saking banyaknya yang datang, Cak Nun mungkin akan tidak cukup efektif efisien dalam menangani semua “pasien”. Saat itu hanya ada Pak Nevi di sebelahnya. Tak ada rombongan lain yang dibawanya dari Yogya. Dan tibalah saatnya. Cak Nun mendapuk alias mendaulat Pak Nevi untuk ikut meng-handle sebagian dari orang-orang yang menyodorkan permohanan doa kesembuhan itu.
“Lho…Lha terus gimana Pak? Apa Cak Nun memberikan doa kepada Pak Nevi buat dibacakan atau disebulkan kepada mereka?”
“Nggak. Saya ya pake pernapasan dan keyakinan bahwa saya disuruh Cak Nun dan dipaksa oleh keadaan. Tidak bisa mengelak. Ya sebisa-bisanya. Saya pakai metode pernapasan yang saya peroleh dari latihan di Teater Dinasti. Semacam mentransfer energi. Kebetulan kebanyakan dari keluhan mereka adalah soal kesehatan dan banyak orangtua yang sambat anaknya rewel atau nakal,” cerita Pak Nevi. “Begitulah, akhirnya saya di-casting Cak Nun menjadi semacam asisten pengobatannya.”
Pak Nevi juga bercerita. Sebelum pengobatan itu, ada salah seorang pemuda Mandar yang kelak menjadi salah satu tokoh masyarakat di sana yang sedang berantem atau konflik dengan mertuanya. Sudah bawa senjata. Ingin membunuh mertuanya. Datang ke Cak Nun, dan alhamdulillah berhasil di-cooling down-kan, didinginkan, dan dicegah untuk tidak meneruskan niatnya. Entah bagaimana Cak Nun dulu membujuknya.
Agenda di sana belum selesai, tetapi Pak Nevi harus pulang ke Yogya karena istrinya telah melahirkan anak pertamanya, Tegar. Diantar Alisjahbana ke Bandara Makassar Pak Nevi segera terbang ke Mandar. Pak Nevi masih ingat situasi saat itu belum seperti sekarang. Sepanjang perjalanan dari Makassar ke Tinambung, yang tampak hanya hutan kelapa sawit, hutan kelapa biasa, laut, dan rumah-rumah panggung. Belum banyak gedung atau kantor-kantor. Jalan Tinambung-Majene pun belum aspal.
Pukul lima sore, dua mobil Hiace yang membawa KiaiKanjeng sudah tiba di Trangsan Gatak Sukoharjo tempat malam nanti Ngaji Bareng bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng digelar. Pak Nevi turun dari mobil, melangkahkan kaki bersama Bapak-Bapak KiaiKanjeng lainnya menuju ke panggung untuk cek suara.
Lain waktu, kita perlu ndudul Beliau lagi. Termasuk kecakapannya yang belum banyak diketahui, di antaranya: kecepatan plesetan kata yang selama ini membuat teman-teman di KiaiKanjeng tertawa ngakak. Lain waktu.
Yogyakarta-Sukoharjo, 1 April 2017